KEBOLEHAN profesional PT Sucofindo (Superintending Company of Indonesia) mungkin sudah waktunya diuji. Persero di bawah naungan Departemen Perdagangan, yang bergerak di bidang jasa penilaian mutu, ini sekarang dipersilahkan mencari nasabah di luar proyek-proyek Pemerintah. Padahal, sumber penghasilan utamanya berasal dari jasa menghitung dan membuat laporan bahan-bahan produk ekspor. Dulu, untuk jasa itu, Pemerintah membayar 0,3% dari total nilai ekspor kepada Sucofindo. Dari situ, selama satu tahun (1992- 1993), Sucofindo menikmati imbalan sampai Rp 40 miliar berarti 70% dari total penghasilannya. Kendati dibayar mahal, Sucofindo ternyata tak mampu memperlancar ekspor. Maka lewat satu tahun, tugas yang bergengsi dan berlumur uang itu akhirnya dicopot dari Sucofindo. Akibatnya? Hampir tak ada. Direktur Keuangan Sucofindo, Toga M. Sitompul, menyatakan bahwa selama ini Sucofindo sudah mandiri. ''Jangan salah tafsir. Sucofindo itu bukan aparat Pemerintah. Kami tidak minta pada Pemerintah. Kalau kami dapat pekerjaan dari Pemerintah atau swasta, itu kami kerjakan sama baiknya,'' kata Toga. Status Sucofindo berubah dari PN menjadi PT pada tahun 1975. Tapi nama BUMN itu baru berkibar sejak dasawarsa lalu, ketika Pemerintah meluncurkan paket-paket deregulasi yang merangsang ekspor nonmigas. Tahun 1986 Sucofindo diberi kedudukan terhormat sebagai mitra SGS, konsultan Swiss yang disewa Pemerintah untuk mengambil oper peran Bea Cukai. Pada tahun 1992 peran ini dialihkan kepada PT Surveyor Indonesia (SI). Namun, sejak tiga tahun silam, SGS mendapat order untuk memantau realisasi kuota ekspor tekstil. Untuk itu setiap eksportir dikenai pungutan Rp 3,11 per meter. Menurut perhitungan FITI (Federasi Industri Tekstil Indonesia), dari ekspor tekstil sebanyak 330 juta meter, dana yang dipungut bisa mencapai Rp 1 miliar. Lalu ketika BPPC ditunjuk sebagai pemegang monopoli perdagangan cengkeh, Sucofindo dilibatkan jasanya untuk menimbang cengkeh, menetapkan mutunya, dan menggudangkannya. Menurut seorang pejabat BPPC, untuk itu Sucofindo dibayar Rp 15,5 per kg. Sedangkan untuk pengawasan gudang, ia dibayar Rp 553,8 juta. Sumber tadi mengungkapkan, BPPC telah membayar tak kurang dari Rp 4,4 miliar kepada Sucofindo (1991-1993). Sumber di BPPC itu memujikan kerja Suconfindo yang katanya cukup bagus. ''Cara kerja mereka ketat,'' katanya. Hanya pernah terjadi, cengkeh dari Sulawesi yang dikirim ke pabrik rokok, ternyata berisi cengkeh campur sampah. Akibatnya, BPPC rugi Rp 12 miliar dan kerugian itu tak bisa diklaim ke Sucofindo. Itulah, mengawasi mutu produk, ternyata, tak mudah. MW, Diah Purnomowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini