Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Peran sucofindo terpangkas akhirnya

Peran sucofindo mengamankan importir nakal ternyata bemuara pada ekonomi biaya tinggi. paket oktober 1993 mempersingkat dokumen ekspor hingga penerimaan pemerintah ikut terkatrol.

13 November 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MULAI 1 Januari tahun depan, campur tangan PT Sucofindo dalam proses ekspor akan dibatasi. Ini merupakan salah satu ketentuan penting semula luput dari perhatian pers dari Paket Deregulasi 23 Oktober 1993. Selain itu, dana produsen eksportir yang biasanya ''disandera'' Pemerintah melalui Sucofindo dan Bapeksta di bank, mulai November ini, bisa cepat dicairkan. Prosedur pengurusan laporan ekspor (LE) kini memang jadi lebih sederhana. Dulu produsen eksportir harus mengisi tiga formulir yang kemudian diteliti Bapeksta (Badan Pelayanan Kemudahan Ekspor dan Pengolahan Data), tapi kini barulah pada tahap akhir hal itu dilakukan. Tepatnya, saat eksportir mengurus proses penyesuaian jaminan, dan produsen eksportir mengisi sendiri (self assessment) bagian mengenai pajak-pajak bahan baku impor, yang bisa dimintakan restitusinya. ''Kalau dalam perpajakan berlaku prinsip self assessment, kenapa di sini tidak?'' begitu alasan Pemerintah sebagaimana dikatakan M. Tjoek Soeroso, yang baru dua bulan menduduki posisi Ketua Bapeksta. Dalam prosedur ini, toh Sucofindo masih akan diberi peranan. Namun, perusahaan ini tidak perlu lagi memproses pemeriksaan bahan serta mengeluarkan daftar konversi bahan. Artinya, para produsen eksportir tak perlu lagi menunggu tamu-tamu tak diundang dari Sucofindo untuk berkunjung ke pabrik. Kemudian, seminggu sebelum ekspor, perusahaan juga harus mengajukan pemberitahuan pemeriksaan barang ekspor (PPBE) kepada Sucofindo. Dulu PPBE harus disertai daftar pemakaian barang (DPB) sekarang tak perlu lagi. Kini, setelah prosedur ekspor menjadi lebih singkat, eksportir bisa lebih cepat mengklaim fasilitas bea masuk (BM) dan pajak pertambahan nilai (PPN) dari Bapeksta. Dengan begitu, dana eksportir yang berbentuk garansi bank dan custom bonds yang dipegang Pemerintah bisa lebih cepat dicairkan kembali. Dengan pembabatan tugas Sucofindo tadi, apakah kasus manipulasi oleh eksportir tidak akan terulang? Ketua Bapeksta mengakui bahwa kenakalan yang sama bisa saja terjadi lagi. Misalnya, para produsen eksportir itu mengimpor bahan baku yang katanya untuk produk ekspor, padahal barang itu begitu saja beredar di pasar domestik. Atau, banyak barang ekspor yang dijual di dalam negeri. Jadi, walaupun Pemerintah tetap meragukan produsen eksportir, Bapeksta tetap akan melakukan post audit atau pemeriksaan belakangan. Tahun ini saja (JanuariSeptember) fasilitas BM serta PPN yang dibebaskan Bapeksta tercatat Rp 590 miliar, sedangkan nilai pengembalian BM melalui Bapeksta ada Rp 110 miliar. Itu berarti, total nilai pembebasan dan pengembalian kedua pos penerimaan Pemerintah tadi kepada eksportir mencapai Rp 705 miliar atau sekitar US$ 340 ribu. Padahal, kata Tjoek, nilai impor kita untuk periode yang sama berjumlah US$ 1,9 miliar. Sementara itu, nilai ekspor yang mendapatkan fasilitas Bapeksta adalah US$ 7,6 miliar. Dengan kata lain, Ketua Bapeksta itu menyimpulkan, pengorbanan Pemerintah sebesar US$ 340 ribu tadi telah menjadi umpan untuk meraup keuntungan negara sebesar US$ 5,6 miliar (ekspor US$ 7,6 miliar minus impor US$ 1,9 miliar). Tjoek tampaknya yakin, pembebasan BM dan PPN bisa memacu industri ekspor, yang secara tidak langsung menciptakan kesempatan kerja. ''Nilai umpan yang kita berikan cuma 6% dari keuntungan yang kita tarik,'' katanya. Pekerjaan memeriksa barang memang sudah diserahkan Pemerintah kepada Sucofindo sejak 1986, tak lama setelah Direktorat Jenderal Bea & Cukai dikesampingkan dalam pemeriksaan ekspor- impor. Yang diminta Pemerintah sebenarnya adalah SGS, perusahaan penyelia dari Swiss yang bekerja sama dengan Sucofindo. Adapun peran Sucofindo memeriksa komoditi ekspor, itu baru dilakukan pada Oktober 1992. Tujuan Pemerintah hanya satu, yakni menertibkan eksportir yang nakal. Soalnya, fasilitas Bapeksta ini telah menjadi salah satu sumber manipulasi yang merugikan negara. ''Sama seperti fasilitas SE (sertifikat ekspor) beberapa tahun lalu,'' kata seorang pejabat tinggi. Setelah Sucofindo BUMN di bawah Departemen Perdagangan mengeluarkan laporan pemakaian bahan (LPB), barulah Bapeksta bisa mengeluarkan surat pemberitahuan penyesuaian jaminan (SPPJ). Tapi kini LPB tak diperlukan lagi. Hanya, setelah Sucofindo dilibatkan, prosedurnya berkepanjangan. Buktinya, dari 113 ribu dokumun LPB yang harus diselesaikan Sucofindo selama setahun, baru 20% yang tergarap. Bahkan, ada dokumen yang diajukan tahun 1992 belum selesai sampai sekarang. Padahal, LPB sudah harus keluar 24 jam setelah kapal berangkat. Akibatnya, klaim eksportir tertunda. Padahal, barang mereka sudah diekspor. Akibatnya kemudian, dana mereka di bank tertahan sehingga menjadi biaya tambahan yang bisa mengurangi daya saing. ''Saya yang baru masuk kena getahnya,'' kata Ketua Bapeksta. Tak aneh jika ada suara di kalangan pengusaha yang berteriak supaya Bapeksta dibubarkan saja. ''Padahal kelambatan sudah ketahuan dari Sucofindo. Bagaimana mungkin saya keluarkan SPPJ kalau Sucofindo belum keluarkan LPB?'' ujarnya menggerutu. Yang jelas, dalam Sucofindo juga terdapat kelemahan, khususnya untuk tenaga yang mampu meneliti komoditi ekspor, misalnya ahli sepatu dan ahli tekstil. Apakah pejabat Sucofindo memang sengaja mengulur-ulur waktu menunggu uang pelicin? Itu bisa saja terjadi. Buktinya, kini, setelah Pemerintah siap mengalihkan tugas pemeriksaan konversi barang kepada Bapeksta, Sucofindo menyatakan siap membereskan pengurusan PPBE dan DPB yang sudah masuk sebelum 31 Oktober. Kendati masih ada 83 ribu dokumen, Sucofindo harus menyelesaikannya paling lambat 31 Desember 1993. Mereka sudah berjanji akan menyelesaikan 1.500 dokumen per hari. Nah, kalau selama 10 bulan BUMN ini cuma bisa mengerjakan 20%, jelas aneh kalau pekerjaan 80% yang terbengkalai akan diselesaikan cuma dalam tempo dua bulan.Max Wangkar dan Sri Wahyuni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus