Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Perjalanan Bayi Ajaib Itu

9 November 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dilahirkan pada awal 1970-an, Bogasari tumbuh seperti bayi ajaib. Om Liem, yang sejak zaman revolusi telah berkawan akrab dengan Presiden (kala itu) Soeharto, dengan jelinya memanfaatkan hak monopoli penggilingan gandum. Ketika itu perekonomian Indonesia tengah menyongsong bonanza minyak. Pekonomian Indonesia sedang melaju seperti mesin turbo. Dengan cepat pengusaha kelahiran Fujian, Cina Selatan, ini membangun rantai bisnis makanan yang berbahan baku terigu. Cikal bakal kerajaan mi instan sudah mulai dirintis pada 1979. Saat itu Salim mendirikan pabrik mi PT Sarimi Asli Jaya. Melalui hak monopoli penggilingan terigu, gampang ditebak, Bogasari mestinya punya kekuatan untuk mendikte: siapa yang berhak membeli terigu dan siapa yang tidak. Kekuatan ini agaknya menjadi senjata utama Salim. Menurut sejumlah analis, para kompetitor industri mi instan yang tadinya menjamur itu harus mengambil pilihan: menerima pinangan Salim untuk berkongsi atau terpaksa menutup operasi. Tak tahan menghadapi persaingan yang timpang, pelan-pelan sejumlah industri mi instan bertekuk lutut. Tanpa bisa dicegah, Salim merajai pasar mi cepat saji itu. Bisnis makanan Salim makin berkembang. Tiga tahun kemudian, 1982, kedua belas perusahaan makanan Salim--mulai dari bisnis penggilingan gandum, Frito-Lay, makanan bayi, sampai bumbu-bumbuan--bergabung dalam payung Indofood Sukses Makmur. Gerak payung ini justru makin agresif. Malahan PT Supermie, perintis industri mi cepat saji di Indonesia, juga diakuisisi. Indofood pun berhasil merampas pasar mi instan sampai 90 persen. Selain bergerak sebagai gurita usaha yang terus membesar, Bogasari juga membengkakkan kantong Salim melalui sejumlah akuisisi internal. Bogasari dipingpong dari satu kelompok usaha Salim ke kelompok yang lain, sambil nilainya terus digembungkan. Pertama, Indocement Tunggal Perkasa--perusahaan publik yang mayoritas sahamnya dikuasai Salim--mengambil alih Bogasari dari tangan Salim. Tentu saja aneh, sebuah perusahaan semen mengambil alih perusahaan terigu. Karena itu, akuisisi tersebut meletupkan kontroversi: Salim dinilai merugikan kepentingan pemegang saham publik lantaran menjual perusahaan pribadi dengan harga kemahalan. Tapi itu bukan yang terakhir. Akhir Mei 1995 Bogasari ganti dipingpong ke Indofood. Seperti yang pertama, ini juga mengundang perdebatan. Bogasari yang dihargai Rp 1,9 triliun (waktu itu setara dengan US$ 852 juta) lagi-lagi dinilai kemahalan. Akuisisi ini harus disetujui pemegang saham publik. Tapi Salim akhirnya lolos lantaran 53 persen pemegang saham publik setuju. Menurut para analis, transaksi itu merugikan Indofood. "Bagi Indofood," kata seorang analis, "Bogasari lebih menjadi beban ketimbang aset." Akhir 1997, rencananya, Bogasari (bersama seluruh keluarga besar Indofood) akan dipingpong lagi. Pembelinya kali ini adalah Quality Asia Food (QAF), perusahaan roti dari Singapura--yang 70 persen sahamnya dikuasai Salim. Harga yang ditawarkan mencapai S$ 2,75 miliar. Sialnya, rencana itu gagal lantaran harga saham Indofood makin lama kian tersuruk--digembosi krisis moneter.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus