Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Trik Menikmati Roller Coaster Bursa

Pasar modal sedikit menghangat. Ada sejumlah saham yang menjanjikan keuntungan lumayan.

9 November 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIBA-TIBA pasar modal Indonesia mulai menghangat. Harga saham-saham melejit. Grafik Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), yang mencerminkan pergerakan harga saham di Bursa Efek Jakarta (BEJ), cenderung terus menanjak. Setelah sebulan berada pada posisi 300-an, akhir pekan lalu IHSG ditutup pada 355.

Sekilas, lonjakan ini mestinya terdengar aneh. Soalnya, menurut hasil riset sejumlah perusahaan sekuritas, lebih dari 70 persen perusahaan yang terdaftar di BEJ, secara teknis, sudah bangkrut. Mereka tak mampu lagi membayar cicilan pokok dan bunga utang. Artinya, investasi dengan membeli saham di pasar modal sangat berisiko. Bukannya untung, jangan-jangan malah cuma mendapat bangkai perusahaan.

Selain itu, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) masih tergolong tinggi, lebih dari 50 persen. Walaupun cenderung terus menurun, pengembalian investasi di pasar uang masih sulit dikejar dengan wahana investasi lain. Apa gampang mencari saham yang bisa memberikan keuntungan lebih dari 50 persen dalam setahun?

Karena itu, tetap saja menjadi pertanyaan, mengapa pasar modal Indonesia tiba-tiba agak hangat. Menurut Leksono Widodo, analis senior dari ING Baring Securities, kegairahan di bursa Jakarta didorong oleh turunnya suku bunga rupiah dan masuknya sejumlah investor asing. Tingkat suku bunga SBI yang masih tinggi itu sebenarnya sudah turun 18 persen dibandingkan dengan bunga SBI tiga bulan lau.

Sementara itu, investor asing mulai memasuki bursa-bursa Asia karena suku bunga di Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa sedang menurun. Dibandingkan dengan di negara berkembang yang lain, menurut Leksono, pemulihan harga saham di bursa Jakarta tergolong lamban. Karena itu, harga sejumlah saham unggulan di Jakarta masih lebih murah. Persoalannya: apa serbuan ini bakal berumur panjang? Atau cuma seumur jagung?

Menurut Lin Che Wei, Direktur Riset SocGen Global Equities, kegairahan bursa Jakarta belakangan ini sangat sementara dan sifatnya sangat spekulatif. "Ini bukan waktu yang tepat untuk investasi jangka panjang," katanya. Lin melihat risiko investasi di pasar modal masih cukup besar--kecuali dengan memilih saham yang sangat selektif.

Bagaimana caranya? Dalam pasar yang gonjang-ganjing, yang nilai mata uangnya terus berubah, sebenarnya ada aturan umum investasi saham. Jika nilai dolar sedang menguat, perusahaan yang tak punya utang dolar, berbiaya produksi dengan rupiah, dan berpenghasilan dolar akan sangat diuntungkan. Saham-saham industri perkebunan, kehutanan, tambang, dan perikanan merupakan pilihan yang baik.

Tapi hati-hati. Tak semua perusahaan seperti ini akan diuntungkan dengan melemahnya rupiah. Perhatikan struktur utangnya. Jika utang dolarnya besar, boleh jadi pendapatannya dari ekspor akan habis hanya untuk membayar utang.

Sebaliknya, jika dolar melemah (rupiah menguat), yang diuntungkan adalah perusahaan yang utang dolarnya gede. Perusahaan seperti ini sebenarnya sudah terancam bangkrut. Para investor sudah "membenamkan" harga saham perusahaan seperti ini. Tapi, begitu nilai tukar rupiah menguat, beban utang mereka langsung menurun. Kemungkinan mereka untuk bangkrut menjadi mengecil dan ini memberi kesempatan harga saham mereka naik. Perusahaan seperti Astra Internasional, Sampoerna, Citra Marga Nusaphala Persada, Indocement, Semen Cibinong, London Sumatra, dan Indofood merupakan perusahaan yang sangat diuntungkan jika rupiah menguat.

Lalu, apakah investasi saham akan selalu bergantung pada gejolak nilai tukar? Lin Che Wei mencoba memberikan resep lain: cobalah mencari saham perusahaan yang bisnisnya tak terpengaruh fluktuasi kurs. Lin memberikan contoh, perusahaan seperti Gudang Garam dan Ramayana relatif lebih kebal terhadap pergerakan nilai tukar.

Berikut ini sebagian saham yang dipilih para analis sebagai salah satu alternatif investasi:

Gudang Garam (GGRM)

Tak terpengaruh fluktuasi kurs, pendapatannya tetap, biaya produksi dan pengeluaran dalam rupiah, jumlah utang dolar kecil, sehingga arus kas kuat. GGRM layak beli lantaran harganya masih tergolong murah. Menurut riset SocGen, harga wajar GGRM ada di Rp 8.000. Cocok untuk investasi jangka panjang.

Ramayana Lestari (RALS)

RALS diuntungkan oleh biaya produksi yang rendah dan kecilnya utang. Walaupun sewa tempat dalam mata uang dolar, RALS tetap mampu menggaet laba. Terbakarnya beberapa toko akibat kerusuhan Mei lalu tak mempengaruhi penjualan.

PT Aneka Tambang (ANTM) dan PT Timah (TINS)

Pendapatan dolar. Sekitar 90 persen produk Antam diekspor. Tapi Antam punya tanggung beban utang yang bisa mengganggu pendapatan. Sedangkan PT Timah, walaupun ekspornya menurun, utang dolarnya rendah, maka saham BUMN ini masih menjanjikan keuntungan.

Bina Bektiati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus