DI sela-sela peringatan Hari Pers Nasional di Bandung, kembali terselip pertanyaan yang sudah lama dikaji: bisakah pers berterus-terang? Jawabannya, barangkali: tidak. Ahli komunikasi Doktor Harsono Suwardi berpendapat bahwa sikap tidak terus terang dalam pers kita berkaitan dengan self censorship. Kesimpulan ini dikemukakan ketika mempertahankan disertasinya di Universitas Indonesia bulan lalu, dan didasarkan pada penelitian penulisan berita pemilihan umum (pemilu) tahun 1987. Upaya menahan diri yang muncul sebagai self censorship itu, menurut Harsono, tidak terbatas pada Pemilu 1987 saja. Di balik self censorship ini ada sikap yang lebih mendasar, yaitu sikap mencari aman. Dalam rangka Hari Pers Nasional, wartawati TEMPO Sri Pudyastuti R., mewawancarai sarjana ilmu politik lulusan Cornell University, AS, itu di rumahnya yang sarat dengan buku. Di bawah ini petikannya. Bisa lebih spesifik menunjuk sikap mencari aman dalam pemberitaan? Misalnya kecenderungan mengandalkan tulisan dan pendapat pakar. Sebetulnya bagus-bagus saja, tapi ini menunjukkan sikap pers yang karena tidak berani menulis keras, lalu meminjam mulut orang. Mengapa self censorship muncul? Kontrol Pemerintah. Kalau ditanya, Pemerintah memang tidak mengaku. Pemerintah akan mengatakan tidak melakukan kontrol terhadap pers. Tapi kenyataannya rasa takut itu ada. Takut ditegur, takut diberi peringatan yang bisa berakhir dengan pencabutan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Akibatnya, pers tak berani memuat berita yang kontroversial. Daripada nanti ada apa-apanya. Berita-berita penting, khususnya yang menyangkut politik dan ekonomi, biasanya bersumber dari Pemerintah. Berita- berita itu kan sudah disensor. Itu dilema self censorship. Bukan wartawan di lapangan yang takut. Mereka melaporkan apa yang diperoleh di lapangan. Berita yang sudah disensor maupun yang belum disensor. Self censorship terjadi di meja redaktur atau pemimpin redaksi. Dilakukan terhadap semua laporan yang masuk, yang sudah disensor Pemerintah maupun yang tidak. Memang pimpinan yang biasanya berhati-hati. Mereka yang bertanggung jawab atas berita yang dipublikasikan. Apakah proses editing ini bukan sikap berhati-hati karena ingin menurunkan beArita yang sesuai dengan faktanya? Sensor karena rasa takut tidak sama dengan kesadaran mempertanggungjawabkan berita secara faktual. Kalau hanya faktanya yang diragukan, mudah, ada mekanisme recheck. Self censorship berakar pada keadaan yang lebih sulit. Soalnya berita yang faktual sekalipun bisa kena tegur. Seberapa jauh self censorship itu menyalahi penulisan jurnalistik? Kesalahannya adalah kecenderungan pemberitaan yang harus sama dengan pernyataan Pemerintah. Padahal berita surat kabar tidak bisa disamakan dengan pernyataan Pemerintah. Angle surat kabar dan pengumuman Pemerintah berbeda. Bisa memberi contoh kongkret? Kan ada saja sumber berita yang bilang, ''Saya tidak merasa ngomong begitu, kok.'' Padahal sudah jelas inti persoalannya sama. Ini tanda tuntutan supaya pers menyesuaikan diri, mengutip mentah-mentah seperti membuat laporan umum. Penulisan jurnalistik kan selalu harus punya angle dan stressing, jadi tidak bisa sama dengan pengumuman. Tapi kenyataannya kan lain. Makanya di Indonesia ini orang cukup membaca satu surat kabar. Toh isinya sama saja. Tidak ada angle yang lain. Karena perbedaan itu justru banyak pejabat yang takut terhadap pers. Untuk apa takut? Kalau faktanya ada, berikan saja. Kalau dia takut, berarti ada sesuatu yang tidak benar. Sebagai sumber berita, pejabat seharusnya bersedia memberi bahan baku yang diperlukan masyarakat. Ini untuk membantu pembangunan juga. Kalau terjadi bentrokan, pers akhirnya takut juga. Maka saya bilang, kalau tidak mau berjuang, pers kita jadi banci. Mengaku independen tetapi tak punya pendirian. Padahal pers punya jembatan, Dewan Pers. Nah, Dewan Pers itu seharusnya independen, sebab harus memperjuangkan kepentingan kedua belah pihak. Di Dewan Pers tidak boleh ada unsur Pemerintah. Jangan seperti tahun 1974, waktu Jenderal Soemitro banyak mengadakan dialog terbuka dengan pers. Akibatnya lalu Kopkamtib ikut mengatur pers. Itu gawat. Jadi kontrol pers tidak perlu? Pers jangan dikontrol. Sebab, tanpa rasa ketakutan, pers bisa melahirkan mekanisme memperbaiki keadaan. Saya lihat pers sekarang ini kurang punya inisiatif mengungkapkan apa yang tidak benar. Pandangan Anda tentang pencabutan SIUPP? Nah ini. SIUPP dibuat untuk mengatur bisnis media cetak. Tapi ketentuan pencabutan SIUPP ditakuti bukan karena masalah bisnisnya. Pencabutan itu dilakukan memang setelah berkonsultasi dengan Dewan Pers. Tetapi Pemerintah jelas berpengaruh terhadap keputusan itu. Maka, bagaimana mungkin keputusan tersebut objektif? Pandangan saya, susunan personel Dewan Pers perlu ditinjau kembali agar mekanisme kerjanya lebih demokratis. Dewan pers seharusnya terdiri dari orang-orang independen. Bukan dari Pemerintah, bukan dari surat kabar. Jadi, macam apa wajah pers kita sebetulnya. Toh ada kemajuan. Pada pemilu 1987 liputan berita Golongan Karya mendominasi semua surat kabar. Kurangnya isu politik mendorong surat kabar menyajikan berita pemilu dalam gaya sloganistik. Liputan semacam ini menunjukkan hubungan paternalistik pers dengan elite penguasa. Tapi pada pemilu 1992, berita kampanye jauh lebih baik. Surat kabar menonjolkan topik yang mempunyai substansi pemilu, seperti dialog, diskusi, atau analisa. Pemberitaan tentang partai minoritas juga lumayan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini