Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Persaingan Media Cetak Yang Intelektual dan yang Cerdas

Harian Kompas dan Jawa Pos terus berekspansi ke berbagai daerah dengan suplemen khusus yang mengangkat isu-isu lokal. Masing-masing mengandalkan dukungan pembaca yang setia, distribusi yang luas, dan dana yang mantap.

18 Februari 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA raksasa media cetak terbesar di Indonesia sekarang sedang adu kuat di "Kota Pahlawan" Surabaya. Ibu kota Jawa Timur itu sebenarnya terlalu kecil untuk "pertarungan" antara kedua raksasa: Kompas dan Jawa Pos. Namun, apa yang kini terjadi di Surabaya hanyalah kelanjutan dari apa yang terjadi di Jakarta beberapa tahun lalu. Pada masa itu, Kelompok Jawa Pos (KJP) seolah menghadang Kompas dengan menerbitkan koran Radar Bogor dan Cirebon serta mengambil alih Rakyat Merdeka, Metro Pos, dan Glodok Standar, yang terbit di Jakarta. Sekarang, menurut H.M. Siradj, Direktur Pemasaran KJP, koran mereka sudah merebut 19 persen pasar Jakarta. "Kami ingin naik menjadi 25 persen, agar KJP diperhitungkan di Jakarta," ungkapnya. Untuk mencapai target ini, KJP menggarap kawasan Pecinan di Jakarta, lewat Glodok Standar, di samping Metro Pos dan Rakyat Merdeka, yang naik kelas menjadi koran umum. Walaupun tak kehilangan pangsa?baik di Jakarta maupun di daerah?Kompas tampaknya lebih suka bermuka-muka dengan Jawa Pos langsung di Surabaya. Pilihan ini diambil, mungkin sekali, karena di Surabayalah terletak markas KJP, konglomerat media terbesar kedua setelah Kelompok Kompas Gramedia (KKG). Dari kota itu, dikendalikan 67 media cetak, yang terdiri atas aneka koran, tabloid, dan majalah. Secara nasional, koran Jawa Pos beroplah 370 ribu eksemplar dan 60 persen pangsanya diserap di Surabaya. Sebaliknya Kompas, dari total oplah 500 ribu eksemplar, 80 persen beredar di Jakarta, 5 persen di Jawa Timur, dan sisanya di kota-kota lain. Berarti, di luar Jakarta, pasar Surabaya adalah prioritas terpenting untuk Kompas. Survei AC Nielsen tahun lalu menunjukkan pembaca Kompas di Surabaya ada 56 ribu orang, sementara pembaca Jawa Pos 1,4 juta orang. Menurut Suryopratomo, Pemimpin Redaksi Kompas, oplah mereka di provinsi paling timur Pulau Jawa itu, hingga September tahun lalu, tinggal 10 ribu dari 35 ribu eksemplar sebelum krisis. Jadi, masih ada peluang menaikkan oplah, "Target kami minimal sama dengan sebelum krisis," ungkap Tommy, panggilan akrab Suryopratomo. Menurut seorang agen koran di Surabaya, Kompas juga sedang membangun sebuah percetakan di Gempol, dekat Surabaya. Dengan prestasi sebagai peraih pangsa iklan terbesar secara nasional?empat kali lebih besar dari Jawa Pos?wajar bila Kompas siap masuk ke mana pun. Dan ini tak sulit dilakukan, terutama dengan dukungan jaringan distribusi dan dana yang solid. Kompas juga menerapkan pemasaran gaya baru sejak awal Oktober 2000 dengan paket promosi 6 bulan. Selama promosi ini, pelanggan baru Kompas di Surabaya akan mendapatkan bonus satu tabloid terbitan KKG, ditambah suplemen khusus Surabaya dan Jawa Timur, Senin hingga Sabtu. Dan Tommy optimistis oplah 35 ribu eksemplar akan tercapai. Promosi ini memang berhasil menaikkan oplah menjadi 28 ribu eksemplar per hari dalam 3 bulan. Buat Kompas, inilah angka kenaikan terbesar di Jawa Timur sejak 4 tahun lalu. Supa'at, pemilik agen surat kabar Terbit Agency, membenarkan hal ini. "Sehari, setiap pengecer bisa menjual 150 eksemplar," katanya. Jumlah itu tercapai sejak suplemen khu-sus Jawa Timur diluncurkan. Menghadapi gebrakan Kompas, KJP segera mengubah taktik. Uniknya, KJP tetap memakai model koran lokal, kecuali Rakyat Merdeka, sedangkan Kompas tetap dengan konsep koran nasional. KJP segera menerbitkan Radar Surabaya (RS), metamorfosis koran Suara Indonesia, yang awalnya berberita nasional. Seperti seri Radar lainnya, RS menyajikan berita lokal Surabaya dan Jawa Timur. Pemimpin Redaksi RS, Nany Wijaya, mengatakan bahwa oplah korannya sudah 20 ribu eksemplar. Apakah RS akan membendung suplemen Kompas? "Ah, rasanya terlalu muluk kalau dikatakan seperti itu," ujarnya. Selain itu, Jawa Pos menambah halaman dari 28 menjadi 32. Dengan kiat itu, Jawa Pos, kata Siradj, mencatat kenaikan oplah dari 320 ribu menjadi 370 ribu eksemplar, Januari berselang. Kini, KJP bersiap-siap menerbitkan Radar Bali di Denpasar. Siradj menjuluki Jawa Pos sebagai koran smart alias koran yang cerdas?karena lebih mudah dalam pengembangan pasarnya dibandingkan dengan Kompas, yang dikenal sebagai koran intelektual. Citra koran intelektual sejalan dengan tekad Kompas untuk menjadi koran nasional. "Dan kami akan tetap berada di jalur itu," ungkap Tommy. Ia mengaku tak takut dengan koran lokal. Sebab, dengan suplemen khusus, berita-berita daerah tetap bisa diangkat. "Kompas ingin memenuhi kebutuhan pembaca terhadap berita yang berimbang dan tak memihak," ujarnya. Karena itu, ia yakin jumlah pembaca koran nasional akan terus bertambah. Awak redaksi Kompas akan ditambah, dari 170 orang saat ini, dengan belasan orang di setiap kota besar di Indonesia. "Untuk kota sekelas Surabaya, kami butuh minimal 15 orang," ujar Tommy. Suplemen khusus pun akan hadir berbeda di setiap daerah. Jelas, ini perkembangan sekaligus persaingan yang menarik, inovatif, dan ujung-ujungnya pembaca juga yang akan diuntungkan. Mengapa? Melalui persaingan, terpaculah kreativitas, yang semuanya bermuara pada produk berkualitas. I G.G. Maha Adi, Jalil Hakim (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus