Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berteman dengan Merapi

Gunung Merapi kembali aktif hingga kondisi Awas Merapi. Sangat berbahaya. Tapi penduduk tetap tenang.

18 Februari 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masih subuh, Sabtu dini hari, 10 Februari lalu. Warna fajar belum menampakkan semburatnya. Tiba-tiba muncul semburan asap cokelat kehitaman, seperti raksasa bergulat di langit, di mahkota Gunung Merapi. Lalu, awan panas itu merosot ke lereng barat Merapi, siap "menerkam" siapa saja. Sangat menakutkan. Tapi pemandangan seram itu lumrah saja untuk pengamat Merapi di Pos Babadan, pos tertinggi yang hanya berjarak 4,4 kilometer dari puncak gunung. "Saya tenang setelah dibisiki Mbah Guna agar tidak takut karena wedhus gembel-nya (kambing gimbal, kiasan untuk awan panas yang cokelat kehitaman itu) tidak akan ke sini," kata Eko, seorang pengawas di Babadan. Eko punya pengetahuan ilmiah tentang bahaya si wedhus gembel yang pada letusan tahun 1994 menelan korban 60 orang, tapi ia lebih "nyaman" dengan wisik yang didengarnya dari Mbah Guna. Sebab, si Mbah 60 tahun itu sudah sangat akrab dengan kebiasaan Merapi. Penduduk Dusun Trayem, Krinjing, Kecamatan Dukun, Magelang itu sudah 40 tahun naik-turun Gunung Merapi. Dia bekerja sebagai pembawa aki, yang beratnya 15 hingga 30 kilogram, untuk peralatan pos pengamat gunung. Merapi seakan teman akrabnya, yang akan memberinya aba-aba kalau sang gunung sakit atau marah. "Sang teman" Merapi ini sering diminta saran "profesional"-nya oleh lembaga-lembaga peneliti gunung berapi, bahkan oleh lembaga peneliti dari Jerman dan Prancis. Sebenarnya, penduduk desa di sekitar Merapi, yang sudah tinggal di sana turun-temurun, juga sudah terbiasa dengan gelagat Merapi seperti Mbah Guna. Mbah Partorejo, warga Desa Sumberejo, Kaliurang Lor, Srumbung, misalnya, tampak santai di rumahnya, sambil mengisap rokok kretek. Padahal, pemerintah daerah baru meningkatkan status antisipasi dari Waspada Merapi menjadi Awas Merapi, setelah kemunculan wedhus gembel. Status bahaya ini tak penting benar untuk Mbah Parto. "Saya sama sekali tidak takut, karena saya bisa merasakan di dalam hati," kata kakek dengan tiga anak dan seorang cucu itu, sembari menyedot rokoknya dalam-dalam. Memang, letusan Sabtu dua pekan lalu itu tidak seperti biasa. Letusan terjadi tanpa ada suara ledakan yang disusul luncuran awan panas hingga 6.500 meter dari puncak. Kondisi serupa terulang Rabu minggu silam. Penduduk yang tinggal di daerah bahaya sempat diungsikan. Terakhir kali Merapi meletus pada Juli 1998. Berdasarkan pengamatan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK), kondisi kubah lava sangat mengkhawatirkan. Hujan yang turun terus-menerus memicu banjir lahar dingin dan debu. Menurut Syamsul Rizal, Kepala BPPTK, volume lava tahun ini diperkirakan sekitar 1,3 juta meter kubik, yang masih berada di dalam kubahnya. Sewaktu-waktu, cairan itu bisa meluncur menimbuni desa-desa sekitar Merapi. Itu artinya bahaya longsor mengintai. Toh Mbah Parto tetap tak peduli, selama ia belum mendapat aba-aba "dari atas". "Kami di sini sudah rasulan (berdoa bersama), membuat nasi tumpeng dengan ayam ingkung," kata Partorejo dengan wajah serius. Dengan melakukan selamatan, penduduk di sekitar Merapi yakin bahwa Tuhan akan melindungi mereka dari bahaya Merapi. Itu keyakinan mereka, turun-temurun. Bina Bektiati, L.N. Idayani (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus