Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ganjalan di Segmen Hunian

Pengembangan bisnis PLTS atap untuk segmen perumahan dan properti residensial masih lambat. Pengembang belum tertarik.

25 Januari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejumlah Panel Listrik Tenaga Surya terpasang di Kawasan Senayan, Jakarta. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Layanan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap dianggap masih sulit berkembang di segmen residensial atau perumahan. Belum banyak pengembang properti yang berminat mengadopsi sistem panel solar ke dalam proyek hunian.

Presiden Direktur PT Pakuwon Jati Tbk, Alexander Stefanus Ridwan Suhendra, mengatakan salah satu bentuk implementasi energi baru terbarukan itu tak cocok untuk penggunaan listrik rumah. “Karena PLTS cenderung untuk penggunaan pada siang hari. Sedangkan listrik hunian, seperti apartemen, dibutuhkan saat malam hari,” tutur dia kepada Tempo, kemarin, 24 Januari 2023.

Produk PLTS atap pun dianggap belum menarik karena teknologi baterainya masih terlalu mahal. Harga tinggi itu dipicu oleh produksi baterai yang masih mengandalkan impor. Padahal, kata Ridwan, pangsa hunian membutuhkan baterai untuk menyimpan listrik yang diserap pada siang hari. Pengembang perumahan pun ragu akan kegunaan panel solar di area polusi seperti Jakarta. “Langitnya sering terhalang kabut polusi sehingga energi surya kemungkinan tidak efektif.”

Meski begitu, Ridwan memastikan entitasnya yang berkode saham PWON tetap mendukung tren transisi energi. Hanya, kata dia, butuh waktu panjang untuk beradaptasi dan beralih ke skema listrik surya. Pemakaian PLTS atap yang direncanakan Grup Pakuwon sementara ini hanya 3-5 persen dari total kebutuhan setrum di sejumlah properti milik manajemen. Salah satu proyek yang dipasangi panel solar adalah Gandaria City—blok terintegrasi di Jakarta Selatan yang luasnya menembus 564 ribu meter persegi. “Kami tetap mengusung semangat EBT lewat proyek green building,” kata dia.  

Panel listrik tenaga surya terpasang di kawasan Senayan, Jakarta. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini



Vice President Sales dan Marketing PT Suryacipta Swadaya, Abednego Purnomo, juga masih meninjau kegunaan panel surya untuk kluster hunian di Subang Smartpolitan. Di kawasan industri, energi anyar cenderung dipakai di pabrik dan perkantoran yang aktif pada siang hari, alih-alih untuk perumahan. “Skala penggunaan listrik residensial sangat kecil, mungkin hanya berkisar 10.500 watt. Penyedia PLTS atap lebih berminat ke segmen pabrik,” ucapnya.  

Di area industri terintegrasi kedua—setelah Suryacipta City of Industry seluas 1.400 hektare di Karawang—Grup Suryacipta akan membangun area rumah tinggal seluas 40 hektare. Adapun lebih dari 1.069 hektare lahan di sana akan menjadi penyangga kegiatan industri. Sisanya untuk kegiatan komersial, ruang hijau, serta fasilitas publik.

Berbeda dengan konsumen dari kalangan pabrikan, kata Abednego, untuk pelanggan rumah tangga tidak ada tawaran skema sewa dari para pengembang PLTS atap. Dalam skema yang diistilahkan sebagai "zero capex" atau nihil investasi itu, konsumen membayar tagihan pembangkit listrik tersebut dengan potongan dari penghematan listriknya. Jadi, bila pelanggan bisa menghemat tarif listrik PLN hingga Rp 1.000 per kilowatt jam (kWh), nilai penghematan itu yang dibayarkan kepada operator PLTS. 

“Pemilik rumah tidak diberi zero capex karena masa tinggalnya tidak pasti, bisa berpindah kapan saja,” kata Abednego. Sedangkan pabrik berdiri untuk jangka panjang sehingga operator PLTS Atap merasa lebih terjamin.

Grup Intiland Belum Pakai PLTS Atap untuk Bisnis Propertinya

Adapun Sekretaris Perusahaan PT Intiland Development Tbk, Theresia Rustandi, memastikan perusahaannya mendukung segala teknologi energi hijau. Namun Grup Intiland belum secara khusus memakai PLTS atap dalam bisnis propertinya. “Tapi tetap mengusung konsep green. Kami mempunyai Intiland Sustainable Guideline sebagai panduan dalam pengembangan proyek.”

Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa, mengatakan batasan pemasangan PLTS atap hingga maksimum 10-15 persen dari kapasitas listrik PT PLN (Persero) pun menurunkan permintaan di kalangan residensial. Kapasitas yang terlalu kecil membuat pemasangan panel surya di perumahan menjadi tidak ekonomis.  “Kalau pelanggan golongan 3.300 watt dibatasi 15 persen, berarti panel solarnya hanya untuk 500 watt. Untuk apa pasang PLTS?”

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, menyebutkan Vietnam berhasil mengembangkan bisnis PLTS atap untuk perhotelan dan perumahan lewat insentif. “Ada diskon pajak untuk setiap pembelian perangkat PLTS atap di sana. Jadi, pasar bisa dipancing dengan kredit khusus,” katanya.

Sementara itu, Chief Commercial Officer Sun Energy, Dion Jefferson, memastikan 10 persen portofolio pelanggan perusahaannya berasal dari kalangan residensial. Dia membenarkan bahwa perangkat panel surya dibeli putus oleh konsumen rumah tangga, bukan berupa leasing. “Memang benar kapasitas per proyek kecil. Jadi, kami menawarkan solusi baterai seharga sekitar US$ 400 per kWh,” kata Dion. Manajemen pun terus memburu konsumen perumahan yang membutuhkan daya besar agar cocok dipasangi PLTS atap. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YOHANES PASKALIS

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus