NERAKA ternyata tidak kekal. Paling tidak itulah kesimpulan
berbagai ulama besar, termasuk almarhum Dr. Mahmud Syaltut,
bekas Syekh Al-Azhar Mesir yang terpandang.
Masalah itu muncul dalam ujian doktor di Institut Agama Islam
Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta (pertama kalinya
oleh IAIN) 8 Maret. Promovendus (kemudian Doktor) Ahmad Daudy
MA, 5 3 tahun, dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniri Banda
Aceh maju dengan disertasinya tentang pahan tasauf mistikus
Islam abad ke-17 Aceh, Syeikh Nuruddin Ar-Raniri, di bawah
promotor Prof. Dr. H.M. Rasjidi.
Salah seorang penguji, Prof. Bustami A. Gani (para penguji lain:
Prof. Dr. H.A. Mukti Ali, Dr. Mulyanto Sumardi, dan Rektor IAIN
Jakarta Prof. Dr. Harun Nasution yang memimpin sidang)
menanyakan kepada Daudy pengertian 'kekal dalam neraka' seperti
yang disebut-sebut dalam risalahnya. Daudy menjawab, tentu
saja, kekal berarti tanpa akhir.
Bustami: Kalau begitu sama dengan Allah, yang tanpa akhir?
Padahal Quran mengatakan, 'segala sesuatu musnah kecuali Dia'.
Daudy: Tetapi kekalnya neraka dan roh di dalamnya tidak karena
dat-nya masing-masing, melainkan karena Allah.
Bustami: Apa arti kata khalada?
Daudy: Kekal, abadi.
Sang profesor lalu menunjuk kamus besar Arab, Al-Munjid, yang
menerangkan kata khalada sebagai 'tinggal dalam waktu yang
(sangat) lama'. Jadi bukan kekal.
Lalu membacakan satu bagian dari buku Syaltut, Al Islam 'Aqidah
wa Syari'ah. Syaltut menerangkan, tidak ada ayat Quran yang
secara eksplisit menunjukkan bahwa neraka memang dimaksudkan
Allah untuk kekal.
Daudy Tapi bagaimana neraka tidak kekal, kalau yang tinggal di
sana kekal?
Bustami kembali kepada Syaltut: "Mereka itu tinggal kekal di
sana, selama neraka itu masih ada" . . .
Ini adalah perbincangan tentang nasib manusia yang dihukumi
sebagai kafir -- yang, menurut Syaltut (tidak dibicarakan waktu
itu), berarti mereka yang "mengakui kebenaran kerasulan Muhammad
s.a.w. tetapi mengingkariya dan memusuhinya". Bukan nasib
sekedar orang nonmuslim. Bukan pula orang mukmin pendosa yang
"hanya" akan tinggal di neraka untuk sementara kecuali bisa
dibebaskan oleh taubat dan perimbangan dengan amal baik.
Tetapi Syaltut tidak sendirian, dalam hal 'umur' neraka. Filosof
Ibnu Sina (980-1037) yakin, azab Tuhan itu mauqut, berjangka
waktu. Kata 'kekal', yang disebut 25 kali dalam Quran, dan
beberapa kali ditambahi 'abadi', sebenarnya hanya sesuatu yang
dalam sastra Arab dikenal sebagai mubalaghah, hiperbola alias
pembesaran gambaran.
Bahkan, katanya dalam karyanya AnNajah (Keselamatan),"boleh jadi
siksa itu bukan siksa dalam keadaannya, melainkan siksa jika
dibanding anugerah surga". Dengan kata lain neraka dan surga
hanya majazi, kiasan. Sebab kebangkitan sendiri kiasan: hanya
roh.
Ghazali (1058-1111) tak setuju kebangkitan hanya roh. Tapi ia,
mistikus yang begitu 'streng' dan yang ajarannya "menolak
hidup", sama-kesimpulan bahwa ahli neraka sebenarnya tidak
menempati 'api membara' benar-benar, seperti yang dilukiskan.
Itu dikutip Abdul Karim Al-Khatib dalam Qadliyyatul Uluhiyyah
bainal Falsafah wad Din: Allah wal-Insan, jilid II.
Masih ada Muhammad Iqbal (1877-1938). Seakan mempertegas
kesimpulan dua pendahulunya, pemikir dunia Islam asal Pakistan
itu menyebut surga dan neraka sebagai 'hal'. Bukan tempat. Bukan
barang, jadi bukan makhluk.
Tidak Abadi
Dalam The Reconstruction of Reliious Thought in Islam
diterangkannya, surga dan neraka ada karena manusia ada. Kedua
'hal' itu (salah-satunya) lengket pada 'diri', dan mustahil
bahwa Tuhan, yang telah menciptakan manusia sebagai "kawan
sekerja"-Nya (khalifah) akan mengutuknya secara abadi. "Dalam
Islam tidak ada laknat yang kekal". Itu tentunya pengertian dari
hadis qudsi (kudus), ucapan Nabi yang mengantarkan sabda Tuhan
"Bahwa rahmat-Ku menang atas kemurkaan-Ku".
Tetapi bila neraka ada akhirnya, bukankah surga juga? Prof.
Bustami mempertanyakan kekekalan neraka itu sehubungan dengan
kedudukan neraka sebagai makhluk, yang harus berbeda dari Khalik
yang maha baka. Lagisnya, surga juga tidak abadi--meski ini tak
muncul dalam sidang.
Tapi Ibnu Sina bilang: tidak. Surga akan abadi. Sebab ia percaya
roh benar-benar kekal, dan, hampir seperti Iqbal, surga itu
diperuntukkan bagi roh.
Tapi alasan yang menarik untuk itu baik diambilkan dari Maulana
Muhammad Ali dalam The Holy Quran. Menafsiri ayat Quran
11:106-108, tentang akan tinggalnya orang kafir di neraka dan
orang mukmin di surga "selama langit dan bumi, kecuali kalau
Allah menghendaki," ia menunjukkan penutup ayat tentang surga
yang berbunyi: "anugerah yang tiada putus-putusnya". Itu, kata
Muhammad Ali, menunjukkan kekekalan surga, lawan dari
ketidakkekalan neraka.
Juga dibeberkan beberapa hadis, antaranya dari Sahabat Umar,
yang mengesankan akhir masa neraka -- sementara tak sebuah hadis
bicara tentang akhir surga.
Apa pun kesimpulan yang akhirnya diyakini, dari para ulama itu
satu hal menjadi bertambah jelas. Memahami Quran memang
memerlukan 'keahlian'. Tidak asal copot.
Dan bagaimana pula dengan gambargambar neraka dalam beberapa
komik dari sementara penerbit Islam?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini