Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Neraka, kekal tak kekal

Soal keimanan hari akhirat tentang neraka muncul dalam ujian doktor di iain, jakarta berdasarkan disertasi achmad daudy (dosen fak. ushuluddin iain banda aceh). (ag)

20 Maret 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NERAKA ternyata tidak kekal. Paling tidak itulah kesimpulan berbagai ulama besar, termasuk almarhum Dr. Mahmud Syaltut, bekas Syekh Al-Azhar Mesir yang terpandang. Masalah itu muncul dalam ujian doktor di Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta (pertama kalinya oleh IAIN) 8 Maret. Promovendus (kemudian Doktor) Ahmad Daudy MA, 5 3 tahun, dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniri Banda Aceh maju dengan disertasinya tentang pahan tasauf mistikus Islam abad ke-17 Aceh, Syeikh Nuruddin Ar-Raniri, di bawah promotor Prof. Dr. H.M. Rasjidi. Salah seorang penguji, Prof. Bustami A. Gani (para penguji lain: Prof. Dr. H.A. Mukti Ali, Dr. Mulyanto Sumardi, dan Rektor IAIN Jakarta Prof. Dr. Harun Nasution yang memimpin sidang) menanyakan kepada Daudy pengertian 'kekal dalam neraka' seperti yang disebut-sebut dalam risalahnya. Daudy menjawab, tentu saja, kekal berarti tanpa akhir. Bustami: Kalau begitu sama dengan Allah, yang tanpa akhir? Padahal Quran mengatakan, 'segala sesuatu musnah kecuali Dia'. Daudy: Tetapi kekalnya neraka dan roh di dalamnya tidak karena dat-nya masing-masing, melainkan karena Allah. Bustami: Apa arti kata khalada? Daudy: Kekal, abadi. Sang profesor lalu menunjuk kamus besar Arab, Al-Munjid, yang menerangkan kata khalada sebagai 'tinggal dalam waktu yang (sangat) lama'. Jadi bukan kekal. Lalu membacakan satu bagian dari buku Syaltut, Al Islam 'Aqidah wa Syari'ah. Syaltut menerangkan, tidak ada ayat Quran yang secara eksplisit menunjukkan bahwa neraka memang dimaksudkan Allah untuk kekal. Daudy Tapi bagaimana neraka tidak kekal, kalau yang tinggal di sana kekal? Bustami kembali kepada Syaltut: "Mereka itu tinggal kekal di sana, selama neraka itu masih ada" . . . Ini adalah perbincangan tentang nasib manusia yang dihukumi sebagai kafir -- yang, menurut Syaltut (tidak dibicarakan waktu itu), berarti mereka yang "mengakui kebenaran kerasulan Muhammad s.a.w. tetapi mengingkariya dan memusuhinya". Bukan nasib sekedar orang nonmuslim. Bukan pula orang mukmin pendosa yang "hanya" akan tinggal di neraka untuk sementara kecuali bisa dibebaskan oleh taubat dan perimbangan dengan amal baik. Tetapi Syaltut tidak sendirian, dalam hal 'umur' neraka. Filosof Ibnu Sina (980-1037) yakin, azab Tuhan itu mauqut, berjangka waktu. Kata 'kekal', yang disebut 25 kali dalam Quran, dan beberapa kali ditambahi 'abadi', sebenarnya hanya sesuatu yang dalam sastra Arab dikenal sebagai mubalaghah, hiperbola alias pembesaran gambaran. Bahkan, katanya dalam karyanya AnNajah (Keselamatan),"boleh jadi siksa itu bukan siksa dalam keadaannya, melainkan siksa jika dibanding anugerah surga". Dengan kata lain neraka dan surga hanya majazi, kiasan. Sebab kebangkitan sendiri kiasan: hanya roh. Ghazali (1058-1111) tak setuju kebangkitan hanya roh. Tapi ia, mistikus yang begitu 'streng' dan yang ajarannya "menolak hidup", sama-kesimpulan bahwa ahli neraka sebenarnya tidak menempati 'api membara' benar-benar, seperti yang dilukiskan. Itu dikutip Abdul Karim Al-Khatib dalam Qadliyyatul Uluhiyyah bainal Falsafah wad Din: Allah wal-Insan, jilid II. Masih ada Muhammad Iqbal (1877-1938). Seakan mempertegas kesimpulan dua pendahulunya, pemikir dunia Islam asal Pakistan itu menyebut surga dan neraka sebagai 'hal'. Bukan tempat. Bukan barang, jadi bukan makhluk. Tidak Abadi Dalam The Reconstruction of Reliious Thought in Islam diterangkannya, surga dan neraka ada karena manusia ada. Kedua 'hal' itu (salah-satunya) lengket pada 'diri', dan mustahil bahwa Tuhan, yang telah menciptakan manusia sebagai "kawan sekerja"-Nya (khalifah) akan mengutuknya secara abadi. "Dalam Islam tidak ada laknat yang kekal". Itu tentunya pengertian dari hadis qudsi (kudus), ucapan Nabi yang mengantarkan sabda Tuhan "Bahwa rahmat-Ku menang atas kemurkaan-Ku". Tetapi bila neraka ada akhirnya, bukankah surga juga? Prof. Bustami mempertanyakan kekekalan neraka itu sehubungan dengan kedudukan neraka sebagai makhluk, yang harus berbeda dari Khalik yang maha baka. Lagisnya, surga juga tidak abadi--meski ini tak muncul dalam sidang. Tapi Ibnu Sina bilang: tidak. Surga akan abadi. Sebab ia percaya roh benar-benar kekal, dan, hampir seperti Iqbal, surga itu diperuntukkan bagi roh. Tapi alasan yang menarik untuk itu baik diambilkan dari Maulana Muhammad Ali dalam The Holy Quran. Menafsiri ayat Quran 11:106-108, tentang akan tinggalnya orang kafir di neraka dan orang mukmin di surga "selama langit dan bumi, kecuali kalau Allah menghendaki," ia menunjukkan penutup ayat tentang surga yang berbunyi: "anugerah yang tiada putus-putusnya". Itu, kata Muhammad Ali, menunjukkan kekekalan surga, lawan dari ketidakkekalan neraka. Juga dibeberkan beberapa hadis, antaranya dari Sahabat Umar, yang mengesankan akhir masa neraka -- sementara tak sebuah hadis bicara tentang akhir surga. Apa pun kesimpulan yang akhirnya diyakini, dari para ulama itu satu hal menjadi bertambah jelas. Memahami Quran memang memerlukan 'keahlian'. Tidak asal copot. Dan bagaimana pula dengan gambargambar neraka dalam beberapa komik dari sementara penerbit Islam?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus