RASA lega mencuat dalam diri terpidana Ibariansyah alias Joni. Bukan karena setelah 15 kali sidang ia divonis 7 tahun, Jumat dua pekan lalu. Tapi, karena tiga tersangka lain, yaitu Edy Susanto, 56 tahun, istrinya, Nyonya Sulihati, 48 tahun, dan pacar anaknya, Candra Koyma, 28 tahun, kini ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Samarinda sehari setelah Joni divonis di pengadilan negeri kota itu. ''Saya benci sekali pada mereka. Karena bujukan dialah saya sampai terlibat. Kalau saya bisa bertemu muka dengan Edy, pasti saya pukul dia,'' kata Joni yang berusia 30 tahun ini. Bekas penjaga malam bergaji Rp 100 ribu pada tetangga Edy itu membunuh Sri Rahayu, mahasiswi Politeknik Universitas Mulawarman. Ayah satu anak yang ditinggal minggat istrinya itu membunuh Sri atas suruhan Edy. Joni dibayar Rp 50.000. Sri menetap di rumah keluarga Edy bekas pegawai Dinas Kehutanan Kalimantan Timur karena abangnya, Sudarlan, dosen di Universitas Mulawarman, adalah menantu Edy. Sri mengaku tidak betah tinggal di situ. Tak jelas alasannya. Pada 2 April lalu mayatnya ditemukan tak jauh di belakang rumah Edy. Kondisinya mengenaskan. Jaringan otak retak, tubuh memar, kelaminnya berdarah dan ditemukan sperma hidup. Dalam pemeriksaan polisi, baik Edy, istrinya, maupun Chandra menolak tuduhan ikut membunuh Sri. Maka, setelah ditahan 90 hari, mereka dibebaskan. Sedangkan Joni tetap diadili. Buntutnya, massa unjuk rasa mendesak ketiganya ditahan. Rumah Edy dilempari dengan kotoran manusia. Poster disebarkan. Surat kaleng dikirim ke PO Box 5000, Jakarta. Dan polisi dituding ada main (TEMPO, 11 September 1993). Tudingan itu dibantah Letnan Kolonel Suprihadi Usman, Kepala Kepolisian Resor Kota Samarinda. Ia tak berniat mendeponir kasus tersebut. Berkasnya sudah kelar. Kemudian berkas itu tidak diteruskan karena pihak kejaksaan yang memintanya. ''Itu strategi kami,'' kata Zainuddin Rasyid, Kepala Kejaksaan Negeri Samarinda, kepada Rizal Effendi dari TEMPO. Kalau berkas ketiga tersangka diserahkan sebelum vonis Joni, mungkin Jaksa kesulitan pembuktian. Sebab, ketiganya menyangkal ikut membunuh. Tapi dengan adanya vonis Joni, pegangan dalam surat tuduhan makin kuat. Hakim Asngad Damanhuri menyebutkan, Joni membunuh Sri tidak sendirian, tapi bersama Edy, Sulihati, dan Chandra. ''Jadi, Pasal 55, penyertaan bisa dipakai,'' kata Zainuddin. Dalam pemeriksaan disebutkan, Sulihati menusuk kelamin gadis itu ketika sekarat di kamarnya akibat pukulan Joni. Lalu Chandra mengangkat dan menelanjangi korban, sebelum dibuang. Di persidangan, Joni membantah membunuh. ''Saya hanya mengangkat mayat itu,'' katanya. Itu sebabnya, tak terungkap motif pembunuhan. Konon, pembunuhan itu berlatar cemburu. Sulihati menganggap Sri merebut suaminya. Versi lain: Edy ketahuan menyebadani Sri. Untuk menutupi aib keluarga, ia dibunuh. Dalam pemeriksaan, Edy mengaku sering ke kamar Sri, tapi untuk menyeterika pakaiannya. Atas vonis itu, pengacara Joni naik banding. ''Hukuman itu terlalu berat. Apalagi, keterlibatan Joni karena suruhan orang lain,'' kata Oni Sukirno, pengacara Joni. Sementara itu, Sulihati dikabarkan sering histeris di tahanan. Ia sering berteriak-teriak, ''Saya tidak membunuh.'' Pengacara tiga tersangka, Herry Tombeng, yakin kliennya tidak terlibat pembunuhan Sri. Pengakuan saksi Sudarlan di persidangan, yang melihat korban Sri diangkat Joni dan Chandra dari celah pintu, diragukannya. Kalau betul Sudarlan melihat, mengapa pagi harinya ia ikut mencari dan melaporkan kehilangan adiknya kepada Ketua RT? ''Sebagai seorang abang kandung, apalagi dosen, pasti daya nalarnya kuat, dan punya keberanian untuk melapor kepada polisi,'' kata Herry. Sudarlan melapor ke RT setempat atas suruhnya istrinya, Ir. Elok, setelah malam itu Sri lenyap dari kamar tidurnya. Selain itu, adanya percikan darah di dinding kamar korban juga dianggapnya lemah. ''Itu rekayasa saja,'' kata Herry. Tapi siapa yang merekayasa? WY
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini