Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Suara dari yang kuat

Coca cola, suara dari yang kuat, pemekaran kelompok coca cola yang 100% modal asing mempengaruhi industri kecil.

12 April 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENARKAH Coca Cola berbahaya -- bagi perusahaan minuman dalam negeri? Banyak yang menyatakan demikian, mengingat perusahaan multi nasional itu punya promosi hebat dan pemasaran yang agresif. Tapi pekan lalu seorang anggora DPR dikutip mengatakan bahwa bukan begitu soalnya (lihat nasional). Tak urung, soal industri minuman asing ini disoroti kembali. Menurut Peter Nainggolan, Ketua Umum Asosiasi Industri Minuman (ASRIM), kapasitas industri minuman ringan Indonesia saar ini -- di luar bir -- sekitar 3 juta botol per hari. Dari jumlah ini, 45% dikuasai merk internasional seperti Coca Cola, Seven Up dan Green Spot. Selebihnya dibagi antara Teh Botol Sosro dan merk lain minuman lokal. Berdasar angka 1979, penjualan minuman ringan di seluruh Indonesia sebesar 23 juta peti atau 552 juta botol per tahun. "Jadi konsumsi per kapita hanya 4 botol per tahun," kata Nainggolan. Konsumsi Singapura menurutnya 280 botol per kapira, sedang Malaysia 79 botol. Karena itu ia optimistis potensi pasar di sini besar. Tapi apakah pasar yang besar ini akan bisa dinikmati oleh perusahaan domestik, masih tanda tanya. Yang paling mengembangkan sayap agaknya kelompok Coca Cola -- yang juga menghasilkan merk Sprite dan Banta. Pemekaran ini terutama setelah beroperasinya pabrik pembuatan esens (concentrate) di Cilangkap, Bogor pada 1977. Pabrik ini milik P.T. Coca Cola Indonesia (CCI) yang 100% modal asing. Tapi yang menarik ialah bahwa ia tidak melakukan pembotolan sendiri. Ia hanya menjual esens pada pabrik pembotolan. Dan pabrik pembotolan ini, menurut pihak Coca Cola, milik pribumi. Sasaran Coca Cola, rupanya mengikat lebih banyak pengusaha pribumi untuk mendirikan pabrik pembotolan. "Kami prioritaskan pada pribumi dan tak akan memberikan izin pada pihak asing," kata Pirnadi, Direktur Pemasaran CCI kepada wartawan TMPO yang mengikuti kunjungan ke pabriknya. Tapi tentu saja yang disebut "pribumi" tidak berarti pengusaha lemah. Setelah Jakarta dan Medan, pada 1976 di Palembang berdiri pabrik pembotolan milik kelompok Tigaraksa. Menyusul pada 1977 di Semarang (milik kelompok Panatraco) dan Surabaya, yang dimodali pengusaha besar Eddy Kowara. Dalam persiapan ialah pabrik di Ujungpandang, Manado, Padang dan Bandung. "Boleh dikata Coca Cola sekarang sedang diusahakan menjadi milik bangsa Indonesia, meski nama itu masih menimbulkan image asing," kata Moeraryanto, Direktur Pelaksana P.T. Tirtalina Bottling Company di Pandaan, Jawa Timur yang membotolkan Coca Cola. Hubungannya dengan CCI menurutnya murni hubungan dagang. Diakuinya pabriknya akan tetap tergantung pada CCI selama membuat Coca Cola, tapi bisa saja suatu waktu pabriknya memproduksi minuman jenis lain. Namun bila dari industri ini timbul usaha pembotolan pribumi, bagaimana dengan usaha pabrik minuman dalam negeri? Betulkah merk internasional ini mematikan industri minuman lokal seperti limun? Nainggolan yang juga pimpinan dari P.T. Pan Java Bottling Company di Semarang yang membotolkan Coca Cola keras membantah ini. Masing-masing merk mempunyai konsumen yang berbeda. "Sejauh ini persaingan yang mengakibatkan tertutupnya pengusaha kecil tidak ada," lanjutnya. Survei tentang masalah ini memang belum pernah ada. Tidak semua pengusaha limun lokal menganggap Coca Cola sebagai ancaman. Nurhasan Lukman, 37 tahun, pengusaha limun lokal di Bekasi mengatakan "Kami tidak merasa disaingi oleh Coca Cola. Harga kami lebih murah dan yang beli kan lain orangnya." Pabriknya yang becek dan jorok mempunyai 16 pekerja. Produksinya sekitar 5000 botol sehari. Keuntungan bersihnya Rp 3 per botol. "Yang namanya ini sudah bagian kita," ujar pengusaha non-pri ini. Betapapun suara ASRIM nampaknya mewakili pengusaha kuat di bidang industri minuman ringan Anggota asosiasi ini baru 17 pabrik. Tak satupun industri kecil minuman yang menjadi anggota. Namun tak berarti industri kecil bukan tanpa pembela. Dirjen Industri Kecil Gitosewoyo tatkala membuka pameran makanan dan minuman industri kecil seluruh Indonesia Februari lalu mengajak masyarakat untuk meninggalkan kebiasaan minum dan makan a la Barat yang kurang cocok dengan lidah Indonesia. Selama 10 tahun terakhir ini, menurut Dirjen Gitosewoyo, rakyat Indonesia telah menghabiskan ratusan milyar rupiah untuk membeli minuman produk perusahaan Barat seperti Coca Cola dan Fanta. "Jangan harapkan saudara datang ke kantor saya mendapatkan minuman Coca Cola dan Fanta," kata Gitosewoyo, yang disambut tepuk tangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus