BENARKAH Coca Cola berbahaya -- bagi perusahaan minuman dalam
negeri? Banyak yang menyatakan demikian, mengingat perusahaan
multi nasional itu punya promosi hebat dan pemasaran yang
agresif. Tapi pekan lalu seorang anggora DPR dikutip mengatakan
bahwa bukan begitu soalnya (lihat nasional). Tak urung, soal
industri minuman asing ini disoroti kembali.
Menurut Peter Nainggolan, Ketua Umum Asosiasi Industri Minuman
(ASRIM), kapasitas industri minuman ringan Indonesia saar ini --
di luar bir -- sekitar 3 juta botol per hari. Dari jumlah ini,
45% dikuasai merk internasional seperti Coca Cola, Seven Up dan
Green Spot. Selebihnya dibagi antara Teh Botol Sosro dan merk
lain minuman lokal.
Berdasar angka 1979, penjualan minuman ringan di seluruh
Indonesia sebesar 23 juta peti atau 552 juta botol per tahun.
"Jadi konsumsi per kapita hanya 4 botol per tahun," kata
Nainggolan. Konsumsi Singapura menurutnya 280 botol per kapira,
sedang Malaysia 79 botol. Karena itu ia optimistis potensi pasar
di sini besar.
Tapi apakah pasar yang besar ini akan bisa dinikmati oleh
perusahaan domestik, masih tanda tanya. Yang paling
mengembangkan sayap agaknya kelompok Coca Cola -- yang juga
menghasilkan merk Sprite dan Banta. Pemekaran ini terutama
setelah beroperasinya pabrik pembuatan esens (concentrate) di
Cilangkap, Bogor pada 1977. Pabrik ini milik P.T. Coca Cola
Indonesia (CCI) yang 100% modal asing. Tapi yang menarik ialah
bahwa ia tidak melakukan pembotolan sendiri. Ia hanya menjual
esens pada pabrik pembotolan. Dan pabrik pembotolan ini, menurut
pihak Coca Cola, milik pribumi.
Sasaran Coca Cola, rupanya mengikat lebih banyak pengusaha
pribumi untuk mendirikan pabrik pembotolan. "Kami prioritaskan
pada pribumi dan tak akan memberikan izin pada pihak asing,"
kata Pirnadi, Direktur Pemasaran CCI kepada wartawan TMPO yang
mengikuti kunjungan ke pabriknya. Tapi tentu saja yang disebut
"pribumi" tidak berarti pengusaha lemah.
Setelah Jakarta dan Medan, pada 1976 di Palembang berdiri
pabrik pembotolan milik kelompok Tigaraksa. Menyusul pada 1977
di Semarang (milik kelompok Panatraco) dan Surabaya, yang
dimodali pengusaha besar Eddy Kowara. Dalam persiapan ialah
pabrik di Ujungpandang, Manado, Padang dan Bandung.
"Boleh dikata Coca Cola sekarang sedang diusahakan menjadi milik
bangsa Indonesia, meski nama itu masih menimbulkan image asing,"
kata Moeraryanto, Direktur Pelaksana P.T. Tirtalina Bottling
Company di Pandaan, Jawa Timur yang membotolkan Coca Cola.
Hubungannya dengan CCI menurutnya murni hubungan dagang.
Diakuinya pabriknya akan tetap tergantung pada CCI selama
membuat Coca Cola, tapi bisa saja suatu waktu pabriknya
memproduksi minuman jenis lain.
Namun bila dari industri ini timbul usaha pembotolan pribumi,
bagaimana dengan usaha pabrik minuman dalam negeri? Betulkah
merk internasional ini mematikan industri minuman lokal seperti
limun? Nainggolan yang juga pimpinan dari P.T. Pan Java
Bottling Company di Semarang yang membotolkan Coca Cola keras
membantah ini. Masing-masing merk mempunyai konsumen yang
berbeda. "Sejauh ini persaingan yang mengakibatkan tertutupnya
pengusaha kecil tidak ada," lanjutnya.
Survei tentang masalah ini memang belum pernah ada. Tidak semua
pengusaha limun lokal menganggap Coca Cola sebagai ancaman.
Nurhasan Lukman, 37 tahun, pengusaha limun lokal di Bekasi
mengatakan "Kami tidak merasa disaingi oleh Coca Cola. Harga
kami lebih murah dan yang beli kan lain orangnya." Pabriknya
yang becek dan jorok mempunyai 16 pekerja. Produksinya sekitar
5000 botol sehari. Keuntungan bersihnya Rp 3 per botol. "Yang
namanya ini sudah bagian kita," ujar pengusaha non-pri ini.
Betapapun suara ASRIM nampaknya mewakili pengusaha kuat di
bidang industri minuman ringan Anggota asosiasi ini baru 17
pabrik. Tak satupun industri kecil minuman yang menjadi anggota.
Namun tak berarti industri kecil bukan tanpa pembela. Dirjen
Industri Kecil Gitosewoyo tatkala membuka pameran makanan dan
minuman industri kecil seluruh Indonesia Februari lalu mengajak
masyarakat untuk meninggalkan kebiasaan minum dan makan a la
Barat yang kurang cocok dengan lidah Indonesia. Selama 10 tahun
terakhir ini, menurut Dirjen Gitosewoyo, rakyat Indonesia telah
menghabiskan ratusan milyar rupiah untuk membeli minuman produk
perusahaan Barat seperti Coca Cola dan Fanta. "Jangan harapkan
saudara datang ke kantor saya mendapatkan minuman Coca Cola dan
Fanta," kata Gitosewoyo, yang disambut tepuk tangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini