Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Cacuk, Awas Kebobolan

Dengan "diskon", sejumlah pengusaha tiba-tiba berhasil memperbarui perjanjian utangnya kepada pemerintah. Menguntungkan atau merugikan negara?

9 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IBARAT pembalap, Cacuk Sudarijanto jago menyalip di tikungan. Diam-diam, lalu... wuss. Dalam sekejap, ia menggarap konglomerat agar melunasi utangnya kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Tak sampai enam bulan sejak menjabat Ketua BPPN, Cacuk telah menyusun ulang perjanjian pelunasan kredit milik 14 konglomerat. Hingga pekan lalu, Rp 31 triliun utang debitor raksasa dapat direstrukturisasi. Ini merupakan 35 persen dari kredit macet 21 debitor kakap yang ditangani BPPN. Dengan hasil itu, BPPN melampaui target yang dibebankan Dana Moneter Internasional. Sukses ini tentu bukan prestasi Cacuk seorang. Tapi harus diakui, sebelum Cacuk, perundingan pelunasan utang para konglomerat berjalan seperti keong. Tapi, soalnya, jurus-jurus yang dipakai Cacuk dianggap ajaib, sembrono, terlalu murah memberi diskon, dan karena itu terkesan merugikan keuangan negara. Lihat saja bagaimana Cacuk menggarap perjanjian utang kelompok usaha Bimantara, Rajawali, Timor, dan tak lama lagi Texmaco. Bimantara, kelompok usaha yang dikuasai Bambang Trihatmodjo, sepakat melunasi utang US$ 61,6 juta secara tunai. Namun, menurut Pejabat Hubungan Masyarakat Asset Management Company BPPN, Franklin Richard, anak ketiga Soeharto itu cuma membayar lunas utang pokoknya. Bunganya? "Dapat diskon 50 persen," kata Franklin. Praktek semacam ini sebenarnya jamak dalam dunia keuangan. Yang tidak jelas, mengapa diskonnya sampai 50 persen. Sementara itu, kelompok Rajawali (milik Peter Sondakh) sepakat membayar utang Rp 2,7 triliun dengan tiga cara: sebagian dibayar tunai, sebagian dijadwalkan kembali, dan—ini yang seru—sebagian lagi dibiayai dengan obligasi. Maksudnya, Rajawali "membayar" utangnya kepada pemerintah dengan kertas (surat utang) yang diterbitkan kepada BPPN. Tak jelas betul, berapa bagian yang dibayar kontan, berapa yang dibayar dengan kertas utang. Juga tak ada penjelasan berapa bunga dan jangka waktu obligasi yang diterbitkan Rajawali. Rencana pelunasan Timor, kalau jadi, juga sami mawon. Perusahaan automotif milik Tommy Soeharto itu menanggung utang macet Rp 3,7 triliun. Kabarnya, anak lelaki bungsu mantan presiden Soeharto itu setuju membayar 30 persen utangnya (sekitar Rp 1,1 triliun) dengan kontan. Tampaknya, Tommy memakai dana hasil penjualan sahamnya di Terminal Peti Kemas Koja dan sumur minyak Cepu untuk pelunasan utang ini. Hebat, memang. Yang masih jadi pertanyaan, mengapa sisa utang yang nilainya Rp 2,6 triliun dijadwal ulang dengan ketentuan yang tampaknya amat meringankan Tommy. Menurut jadwal baru ini, utang segede gajah itu akan dilunasi dalam tempo 10 tahun dengan masa tenggang (bebas cicilan pokok) dua tahun. Belum jelas, berapa tingkat bunga yang dipakai dalam perjanjian baru ini. Yang pasti, ini pantas diacungi jempol, Tommy menyerahkan sejumlah aset sebagai jaminan. Terakhir, restrukturisasi utang Texmaco. Dibandingkan dengan tiga kelompok tadi, restrukturisasi utang industri tekstil dan alat-alat berat ini memang agak terlambat. Padahal, perusahaan milik Marimutu Sinivasan itu nilai utangnya amat besar, Rp 16,5 triliun. Menurut Cacuk di depan sidang DPR, Texmaco termasuk tujuh debitor yang belum memulai restrukturisasi utangnya. Tapi, kepada TEMPO, seorang pejabat BPPN memastikan bahwa skenario pelunasan utang Texmaco akan beres dalam waktu dekat. Bagaimana bentuknya? Belum ada bocoran yang meyakinkan. Namun, seorang sumber mengatakan, polanya tak jauh berbeda dengan "pesanan" Presiden Abdurrahman belum lama ini: pengalihan utang menjadi saham, dengan komposisi 52 persen pemerintah dan 48 persen tetap dikuasai Sinivasan. Setuju atau tidak, langkah kilat Cacuk merupakan terobosan dari kebekuan selama ini. Kepala Riset SocGen Indonesia, Lin Che Wei, memberi Cacuk nilai plus atas keberaniannya mengambil keputusan. Tapi, Kepala Riset Nomura Securities Goei Siauw Hong mengingatkan BPPN agar tak melulu mengejar setoran. "Bisa-bisa malah kebobolan," katanya. Pelbagai keputusan untuk memberi diskon debitor itu, misalnya, bisa kita terima hanya karena kita percaya integritas orang-orang BPPN. Tapi, siapa menjamin integritas ini akan tetap terjaga? Nugroho Dewanto, Agus Hidayat, Dwi Arjanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus