Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

PPN 12 Persen Berpotensi Picu Perlambatan Kredit, Kemenkeu Sebut Sudah Kaji Ekonomi-Sosial

Pemerintah berencana naikkan PPN 12 persen pada Januari 2025. Kenaikan itu akan menimbulkan dampak ekonomi-sosial. Apa kata Kementerian Keuangan?

24 November 2024 | 10.29 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers Hasil Rapat Berkala KSSK IV Tahun 2024 di Gedung Thamrin, Bank Indonesia (BI), Jumat, 18 Oktober 2024. Meskipun tekanan sudah mereda tetapi KSSK tetap mewaspadai tekanan yang terjadi pada perekonomian dunia. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah akan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN 12 persen pada 1 Januari 2025 sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada Pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa tarif PPN sebesar 11 persen mulai berlaku pada 1 April 2022, dan PPN 12 persen berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025. Pemberlakuan kenaikan PPN 12 persen akan berdampak pada ekonomi masyarakat kelas menengah ke bawah. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepala Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro, menilai kenaikan tarif PPN berpotensi memicu perlambatan kredit di perbankan. “Kalau di sisi konsumennya turun, dampaknya bisa kepada potensi pertumbuhan kredit yang jadi relatif terbatas,” kata Asmo dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu, 20 November 2024. 

Selain berdampak pada kredit, kenaikan tarif PPN juga bisa memengaruhi kualitas aset bank dari ketiga segmen tersebut. Daya beli masyarakat diperkirakan bakal tertekan bila tarif PPN tetap dinaikkan karena mengurangi pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposible income).

Sementara berdasarkan hasil temuan Mandiri Spending Index, kelompok menengah ke bawah cenderung mengutamakan belanja untuk kebutuhan pokok dengan alokasi untuk kebutuhan sekunder menjadi lebih terbatas. Adapun hingga sejauh ini, kredit perbankan tetap tumbuh kuat sebesar 10,92 persen secara year on year (yoy) pada Oktober 2024, sebagaimana yang dilaporkan oleh Bank Indonesia (BI).

“Dari sisi penawaran, kuatnya pertumbuhan kredit didukung oleh terjaganya minat penyaluran kredit, berlanjutnya realokasi alat likuid ke kredit oleh perbankan dan pertumbuhan dana pihak ketiga,” kata Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam konferensi pers Hasil Rapat Dewan Gubernur BI November 2024 di Jakarta, Rabu, 20 November 2024. 

Selain itu, Perry mengatakan pertumbuhan kredit turut diperkuat oleh dampak positif dari implementasi Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial Bank Indonesia. Dari sisi permintaan, pertumbuhan kredit didukung oleh kinerja usaha korporasi yang terjaga sejalan dengan prakiraan pertumbuhan ekonomi yang tetap baik.

Secara sektoral, pertumbuhan kredit pada mayoritas sektor ekonomi terjaga kuat, terutama pada sektor jasa dunia usaha, perdagangan, dan industri. Berdasarkan kelompok penggunaan, pertumbuhan kredit modal kerja, kredit investasi, dan kredit konsumsi, masing-masing sebesar 9,25 persen (yoy), 13,63 persen (yoy), dan 11,01 persen (yoy) pada Oktober 2024.

Meskipun demikian, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan pertambahan tarif PPN sebesar 1 persen tersebut sudah mempertimbangkan aspek ekonomi hingga sosial.

“Pada dasarnya, kebijakan penyesuaian tarif PPN 1 persen tersebut telah melalui pembahasan mendalam antara Pemerintah dengan DPR, dan pastinya telah mempertimbangkan berbagai aspek, antara lain ekonomi, sosial, dan fiskal,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Deni Surjantoro saat dihubungi Antara di Jakarta, Kamis, 21 November 2024. 

Deni menambahkan, dalam perumusan wacana menaikkan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen juga memperhatikan kajian ilmiah yang melibatkan akademisi dan praktisi. Kebijakan itu tertuang Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan penyusunan kebijakan perpajakan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi di berbagai sektor. Kala itu, pemerintah mempertimbangkan kondisi kesehatan hingga kebutuhan pokok masyarakat yang terimbas oleh pandemi COVID-19.

"Artinya, ketika kami membuat kebijakan mengenai perpajakan, termasuk PPN ini, bukannya dilakukan dengan membabi buta dan seolah tidak punya afirmasi atau perhatian terhadap sektor lain, seperti kesehatan dan bahkan waktu itu termasuk makanan pokok," ujar Sri Mulyani saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta, Rabu, 13 November 2024.

Dia mengatakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus dijaga kesehatannya, dan pada saat yang sama, juga mampu berfungsi merespons berbagai krisis. "Seperti ketika terjadinya krisis keuangan global dan pandemi, itu kami gunakan APBN," tambahnya.

Namun, dalam implementasinya nanti, Kemenkeu akan berhati-hati dan berupaya memberikan penjelasan yang baik kepada masyarakat. "Sudah ada UU-nya. Kami perlu menyiapkan agar itu (PPN 12 persen) bisa dijalankan tapi dengan penjelasan yang baik," tutur Sri Mulyani. 

ANANDA RIDHO SULISTYA  | ANTARA 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus