Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 12 persen mulai 1 Januari 2025 sudah diketok dengan disahkannya UU Nomor 7 Tahun 2021, namun baru akhir-akhir ini menimbulkan pro dan kontra termasuk dari DPR yang ikut merestui beleid tersebut.
Adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang paling banyak disorot dan dianggap sebagai asal-muasal kebijakan menaikkan pajak itu. Ia pun menyatakan, bahwa rencana kenaikan itu harus dijalankan karena sudah diatur undang-undang.
"Sudah ada UU-nya. Kami perlu menyiapkan agar itu (PPN 12 persen) bisa dijalankan tapi dengan penjelasan yang baik," kata Sri Mulyani beberapa waktu lalu.
Menurut Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), manfaat dari peningkatan tarif PPN termasuk mengurangi ketergantungan negara terhadap pinjaman, kesempatan menurunkan beban utang, serta menyelaraskan kinerja pajak Indonesia dengan negara lain, mengingat tarif PPN Indonesia masih di bawah rata-rata tarif PPN global yang sebesar 15 persen.
Namun sejumlah ekonom mengingatkan bahwa kenaikan PPN 12 persen bisa berbuntut panjang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski undang-undang yang mengatur kenaikan PPN disahkan setelah melewati pembahasan di DPR, para Wakil Rakyat di Komisi XI menghujani pertanyaan pada Sri Mulyani dalam rapat di DPR pada 14 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Keuangan mengatakan kebijakan tarif PPN menyesuaikan mandat undang-undang. Artinya, kebijakan ini bakal diterapkan pada 1 Januari 2025 sebagaimana diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2021.
Pro-kontra terhadap kebijakan ini langsung jadi perdebatan, dan kembali masif usai pernyataan Bendahara Negara di rapat DPR itu. Banyak yang minta Pemerintah membatalkan rencana tersebut. Argumentasi utama umumnya menyoal daya beli masyarakat yang sedang lesu, namun Menkeu menegaskan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus dijaga kesehatannya.
Pada rapat itu, Sri Mulyani menjelaskan dengan tegas bahwa kebijakan perpajakan disusun dengan mempertimbangkan kondisi di berbagai sektor.
Dalam konteks kenaikan tarif PPN, wacana disusun pada 2021 ketika dunia habis digempur COVID-19. Kebutuhan sektor kesehatan hingga perlindungan sosial membutuhkan anggaran yang luar biasa besar secara tiba-tiba, menyebabkan defisit APBN yang signifikan. Serangan pandemi ini mendorong urgensi menyiapkan kas negara dengan dana yang cukup memadai untuk menghadapi krisis.
Benarkah Pendapat Negara Pasti Naik?
Salah satu cara yang dipilih Pemerintah pasca pandemi adalah menaikkan PPN. Berdasarkan catatan LPEM UI, penerimaan PPN tetap andal di tengah pelemahan ekonomi akibat pandemi, mengingat cakupannya yang luas di berbagai sektor ekonomi. PPN juga secara konsisten menjadi kontributor utama penerimaan, bersama pajak penghasilan (PPh) sejak 2010.
Karena itu, masuk akal bila menaikkan tarif PPN menjadi jalur cepat yang dipilih Pemerintah untuk mengukuhkan instrumen keuangan negara.
Akan tetapi, kondisi ekonomi bergerak dinamis. Di antara banyak aspek yang mengalami pergeseran, kemampuan belanja masyarakat adalah salah satunya.
Sejumlah pakar ekonomi menilai kenaikan PPN bisa menimbulkan efek domino.
Pertama, pada sisi ketenagakerjaan. Peralihan dari industri padat karya ke padat modal menyebabkan peningkatan jumlah pekerja informal akibat menurunnya penyerapan tenaga kerja. Data terakhir menunjukkan porsi pekerja informal mencapai 57,95 persen, lebih dominan dari pekerja formal yang sebanyak 42,05 persen.
Sementara, bekerja di sektor informal berpotensi mengurangi kemampuan belanja. Pendapatan yang tidak stabil membuat konsumen menahan belanja karena mengutamakan pemenuhan kebutuhan dasar. Risikonya, penjualan barang sekunder bisa jadi terhambat.
Kondisi itu tercermin pada hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Porsi belanja kelas menengah untuk makanan meningkat pada 2024 dibandingkan 2019, sedangkan pengeluaran untuk hiburan dan kendaraan menurun. Padahal, kelas menengah merupakan salah satu penopang serapan PPN dari sektor-sektor sekunder itu.
Kedua, jumlah belanja masyarakat menurun. Jumlah kelas menengah turun hampir 10 juta orang pada periode waktu tersebut. Bila kondisi ini terus berlanjut, makin banyak orang yang bakal lebih mengutamakan pengeluaran makanan, yang berarti jual beli di sektor sekunder pun akan makin tertekan.
Ketiga, terjadi ancaman PHK. Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, mengatakan, kenaikan PPN bisa berdampak terhadap omzet pengusaha. Mereka mungkin akan meresponsnya dengan melakukan penyesuaian kapasitas produksi hingga penurunan jumlah tenaga kerja. Artinya, muncul risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor.
Menjadi pengangguran berarti kehilangan pendapatan, yang berimbas pada kemampuan belanja melemah. Proses ini terjadi seperti sebuah siklus.
Keempat, penghindaran pajak naik. LPEM UI pun menyoroti kenaikan PPN berpotensi meningkatkan penghindaran pajak, terutama di sektor yang pengawasannya minim. LPEM UI mengusulkan mengurangi informalitas dan meningkatkan kapasitas administrasi melalui reformasi pajak menjadi cara yang lebih efektif untuk menguatkan fiskal negara.
Bhima Yudhistira mengatakan perluasan objek pajak lebih efisien untuk meningkatkan rasio pajak, alih-alih melakukan penyesuaian tarif. Berdasarkan perhitungannya, Pemerintah punya potensi penerimaan Rp86 triliun per tahun dari pajak kekayaan (wealth tax). Pajak anomali keuntungan komoditas (windfall profit tax) dan penerapan pajak karbon pun juga bisa menjadi alternatif untuk kebijakan perpajakan.