Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Prabowo Ingin Pisahkan Ditjen Pajak dari Kemenkeu, Ekonom: Jangan Terburu-buru

Prabowo menyebut bahwa rasio pajak Indonesia masih di bawah negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam.

21 Februari 2024 | 04.00 WIB

Wajib pajak melakukan pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan ( SPT) Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi (OP) di KPP Pratama Jakarta Pulogadung, 29 Maret 2018. Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan mencatat hingga 28 Maret 2018 telah menerima 8,7 juta surat pemberitahuan (SPT). Tempo/Tony Hartawan
Perbesar
Wajib pajak melakukan pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan ( SPT) Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi (OP) di KPP Pratama Jakarta Pulogadung, 29 Maret 2018. Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan mencatat hingga 28 Maret 2018 telah menerima 8,7 juta surat pemberitahuan (SPT). Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Yusuf Rendy Manilet menanggapi rencana Prabowo Subianto untuk memisahkan Direktorat Jenderal Pajak atau Ditjen Pajak dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Prabowo akan membentuk Penerimaan Negara agar rasio pajak dapat digenjot.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Secara konsep, kata Rendy, dia setuju dengan konsep Badan Penerimaan Negara. Namun, di sisi lain, dia juga punya kekhawatiran terhadap unsur politik di dalamnya. "Artinya, dia (Badan Penerimaan Negara) bisa menjadi semacam oase di tengah upaya untuk meningkatkan penerimaan negara, atau dalam konteks ini penerimaan pajak," katanya kepada Tempo pada Selasa, 20 Februari 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut dia, komitmen politik menjadi penting dalam upaya pembentukan Badan Penerimaan Negara. Keterlibatan politik yang terlalu luas atau terlalu banyak justru akan berbalik untuk badan penyelenggara dalam konteks yang negatif. Ini yang dianggap Rendy perlu diwaspadai oleh pemerintah.

Sebelumnya, Prabowo menyebut bahwa rasio pajak Indonesia masih di bawah negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam. Rasio pajak di kedua negara tersebut sudah mencapai 16 persen dan 18 persen. Sementara itu, Indonesia masih pada level 10,39 persen pada 2022. 

Hal itulah yang mendorong Prabowo ingin membentuk Badan Penerimaan Negara jika duduk di kursi Presiden 2024-2029. "Supaya lebih efisien, si Menteri Keuangan (Menkeu) tidak perlu mikirin atau mengurusi itu (penerimaan)," katanya pada 12 Januari 2024.

Secara umum, kata Rendy, bila berkaca pada negara-negara yang mendirikan Badan Penerimaan Negara, memang ada yang berhasil. Namun, di saat yang bersamaan ada pula masalah yang muncul. Salah satu negara yang kerap disebut sebagai negara yang berhasil mengadopsinya adalah Peru. Negara ini menerapkan sistem Pengawasan Nasional Administrasi Kepabeanan dan Pajak (SUNAT). 

"Pengalaman dengan Semiatonom Administración Tributaria (SARA) di Peru menunjukkan bahwa otonomi bukanlah semata masalah teknis, melainkan sangat bergantung pada dukungan politik yang bersifat kontingen. Pentingnya strategi politik dalam evolusi inovasi institusional menjadi poin kunci yang ditekankan oleh pengalaman ini," tuturnya.

Rendy menambahkan reformasi administrasi pajak di Peru memberikan banyak pelajaran berharga bagi negara-negara lain yang ingin mengadopsi hal serupa. Keberhasilan SUNAT sebagai Otoritas Penerimaan Pajak Semi-Autonomous Revenue Authority (Semiatonom) tidak hanya disebabkan oleh kepemimpinan politik, tetapi juga oleh keahlian manajerial. Pendekatan terkoordinasi terhadap kebijakan dan reformasi administrasi pajak serta desain organisasi SUNAT memberikan fleksibilitas manajerial menjadi faktor kontributor kesuksesan.

"Strategi SUNAT yang menggabungkan penanggulangan penggelapan pajak dengan pelayanan pajak yang lebih baik, berhasil membangun dukungan dari komunitas bisnis.

Namun, pengalaman Peru juga memberikan peringatan tentang potensi kesalahan yang harus dihindari oleh negara-negara lain, yang terlibat dalam reformasi administrasi pajak."

Dia mengatakan bahwa manajemen hubungan antara badan pajak dan Kementerian Keuangan harus dikelola dengan hati-hati agar mencegah interferensi yang merugikan. SUNAT menghadapi masalah seperti kebijakan pajak yang memburuk, interferensi politik, dan kelemahan dalam lingkungan institusional. Padahal, awalnya mencapai kesuksesan. 

"Oleh karena itu, pikiran jangka panjang terhadap keberlanjutan reformasi menjadi kunci untuk mencegah masalah di masa depan," ujarnya.

Sementara dalam kasus di Uganda, terdapat risiko peningkatan korupsi yang mengikuti pola serupa dengan pengalaman di Peru. Seperti yang dilakukan oleh Presiden Fujimori di Peru, Presiden Museveni di Uganda berkuasa dengan platform antikorupsi dan anti-partai politik di tengah-tengah negara yang tengah runtuh dan mengikuti kemerosotan ekonomi selama rezim Amin dan Obote kedua. 

"Salah satu benang merah yang kita bisa ambil dari kedua contoh negara di atas adalah selain sistem terpisah, perlu komitmen politik yang kuat. Di saat yang bersamaan, intervensi politik itu juga harus secara proporsional tidak mengganggu kinerja dari sistem Badan Penerimaan Negara yang independen," kata dia.

Selanjutnya: Perlu studi awal

Jika Indonesia ingin memperbesar rasio pajak dengan merujuk pada Vietnam ataupun Thailand, maka perlu dilihat apa faktor pendorongnya. Menurut Rendy, salah satu faktor yang berkontribusi relatif besar di negara-negara tersebut adalah sektor ekonomi formal. 

Selain itu, bila merujuk pada Vietnam dalam lima hingga sepuluh tahun terakhir, negara tersebut mendorong perekonomian di sektor manufaktur yang sangat masif. "Saya kira itu menjadi salah satu alasan kenapa mereka bisa mendorong perekonomian, sehingga juga ikut berkontribusi terhadap penerimaan pajak di negara tersebut."

Dia berujar, pemerintah perlu melakukan studi sebelum mengesahkan atau mendirikan Badan Penerimaan Negara. "Artinya, jangan terburu-buru untuk mendirikan Badan Penerimaan Negara, tapi luput dalam melihat aspek-aspek yang justru bisa memengaruhi atau memberikan dampak negatif dari pendirian badan ini," tuturnya.

Selama studi tersebut, pemerintah juga sebaiknya fokus pada aspek-aspek ekstensifikasi dan intensifikasi dari penerimaan pajak. "Saya kira di sana juga masih terdapat ruang yang bisa digali untuk meningkatkan penerimaan negara atau dalam konteks ini penerimaan pajak."

ANNISA FEBIOLA | AMELIA RAHIMA SARI

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus