Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto, dalam pidato perdananya sebagai Presiden RI ke-8, mengatakan banyak rakyat Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan. Meski demikian, ia optimistis pemerintahannya dapat menghapuskan kemiskinan tersebut. Sejumlah ekonom membeberkan faktor-faktor yang membuat rakyat Indonesia masih terjebak kemiskinan, dan bagaimana cara pemerintah bisa mengatasinya. Persoalan kemiskinan harus diatasi secara menyeluruh dari akar masalahnya, bukan hanya sekedar menggunakan cara instan seperti bantuan sosial atau bansos.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kita masih melihat sebagian saudara-saudara kita yang belum menikmati hasil kemerdekaan. Terlalu banyak saudara-saudara kita yang berada di bawah garis kemiskinan,” kata Prabowo usai mengucapkan sumpah jabatan dalam Sidang Paripurna MPR RI di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat pada 20 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mengatakan, terlalu banyak anak-anak yang berangkat sekolah tanpa sarapan, bahkan tidak punya seragam untuk sekolah. “Kita percaya dan yakin kita punya kekuatan menghilangkan kemiskinan dari bumi Indonesia. Ini sasaran berat, bahkan banyak yang mengatakan ini sesuatu yang tidak mungkin,” ujarnya.
Ekonom senior Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menjelaskan ada tiga faktor yang menyebabkan seseorang terpaksa menjadi miskin: tidak adanya akses untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi produktif, tidak adanya kemampuan untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi produktif, atau karena keduanya.
“Pemerintah perlu membantu,” kata Wijayanto kepada Tempo, Senin, 21 Oktober 2024. Bagi masyarakat yang tidak memiliki akses, menurut dia, pemerintah dapat membantu lewat beberapa cara.
Cara-cara tersebut antara lain memperbaiki jaringan logistik, transportasi dan komunikasi ke pelosok; menyiapkan pasar yang bisa diakses oleh masyarakat; memperkenalkan teknologi untuk memberdayakan ekonomi rakyat; hingga mendorong proyek padat karya di daerah-daerah.
Pemerintah juga disarankan memberi akses kepada rakyat untuk memanfaatkan aset negara yang tidak produktif. “Misalnya memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menanam dan beternak di lahan nganggur milik BUMN (badan usaha milik negara),” tuturnya.
Bagi masyarakat yang tidak memiliki kemampuan, ia menyarankan pemerintah memberikan pelatihan dan dukungan modal; mendorong pelaku usaha informal menjadi formal; meningkatkan taraf kesehatan dan pendidikan rakyat; mendorong kolaborasi antar swasta besar dengan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM); serta menciptakan lapangan yang setara bagi pelaku usaha kecil.
Wijayanto mewanti-wanti agar pemerintah tidak mengandalkan bantuan sosial atau bansos untuk mengentaskan kemiskinan. Menurut dia, bansos harus diberikan dengan takaran yang tepat, bersifat temporer, dan dengan target pencapaian tertentu. “Bansos akan secara kosmetik mengangkat rakyat dari kemiskinan, tetapi begitu program dihentikan, mereka akan kembali miskin.”
Achmad Nur Hidayat, ekonom dan pakar kebijakan publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ), mengatakan masalah utama kemiskinan di Indonesia adalah ketimpangan ekonomi. Meskipun ada pertumbuhan ekonomi, distribusi hasilnya dinilai belum merata.
Selain itu, kata dia, ada pula ketergantungan pada sektor informal; rendahnya upah minimum di beberapa daerah; serta akses yang terbatas pada pekerjaan berkualitas. “Ditambah lagi, adanya perlambatan investasi di sektor produktif, terutama di sektor manufaktur dan agrikultur, memperparah kondisi ini,” kata dia.
Pilihan Editor: Terkini: Besok Dilantik, Ini 17 Program Prioritas Prabowo; Pensiun, Luhut Minta Maaf kepada Masyarakat