Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pro-Kontra Sistem Semi-Spesifik

Menanggapi perubahan sistem cukai dari ad valorem menjadi semispesifik, reaksi produsen rokok berbeda-beda. Ada yang merasa dirugikan, ada yang diperkirakan pasti bangkrut.

30 September 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMERINTAH sejauh ini belum bisa meyakinkan para produsen rokok mengenai segi-segi positif dari sistem cukai semispesifik. Padahal, hanya tersisa waktu sekitar tiga bulan untuk memutuskan apakah sistem tersebut akan diterapkan, menggantikan sistem ad valorem. Pilihan ini amat penting karena akan menentukan apakah pemerintah mampu memenuhi target per-olehan cukai yang dibebankan dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2002 sebesar Rp 22,3 triliun. Seperti diketahui, target ini lebih tinggi 27 persen dibandingkan dengan rencana perolehan cukai pada tahun anggaran 2001. Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Permana Agung Drajattun, mengakui bahwa target itu sangat berat. Karena itulah pemerintah kemudian mencoba mengubah sistem cukai pada awal tahun depan. Dengan sistem lama, pilihan pemerintah tak banyak, yakni menaikkan tarif cukai, menaikkan harga jual eceran, atau menaikkan kedua-duanya. Pilihan pertama jelas berat karena tarif cukai kini sudah 36 persen. Jika tarif cukai dinaikkan, pabrik rokok akan gigit jari. Pilihan kedua juga sulit karena dalam 15 bulan terakhir pemerintah sudah empat kali menaikkan harga rokok. Menaikkan keduanya sekaligus tentu lebih musykil karena konsumen akan menjerit. Adapun dengan sistem semispesifik, pemerintah tak perlu ikut campur menentukan harga jual eceran. Pemerintah hanya menetapkan cukai atas pabrik rokok tertentu sebesar rupiah tertentu. Pabrik rokoklah yang akan menentukan harganya. Dari sisi pemerintah, sistem ini jauh lebih praktis dan menjamin perolehan cukai. Menurut Muhaimin Moeftie, Ketua Gabungan Perusahaan Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), sistem ini berdampak positif terhadap pemilik pabrik rokok karena mereka dituntut lebih efisien. Selain itu, konsumen untung karena di bawah sistem yang baru itu diperkirakan harga tidak terus-menerus naik. Namun, banyak produsen rokok kretek yang menolak rencana ini. Menurut mereka, sistem ini hanya menguntungkan pabrik rokok putih dan akan menggencet pabrik kecil. Sumber TEMPO di kalangan pabrik kretek kakap mengungkapkan bahwa rokok putih kini menikmati selisih harga yang sangat tinggi. Misalnya, ada rokok kretek mesin dengan harga Rp 6.000 per 12 batang, sementara harga rokok putih pada kelas yang sama hanya Rp 5.000 per 20 batang. Akibatnya, kontribusi cukainya jauh berbeda: rokok kretek mesin menyumbang Rp 200 per batang, sementara rokok putih hanya Rp 100 per batang. "Kita menyubsidi rokok putih," katanya agak sinis. Ia sebenarnya ingin menegaskan, kalau saja sistem semispesifik di-terapkan, pabrik rokok putihlah yang akan diuntungkan. Soalnya, mereka bisa mematok harga yang jauh lebih murah. Sistem semispesifik juga akan memukul rokok kecil. Menurut Nurwito, pengurus Persatuan Perusahaan Rokok Kudus (PPRK), sistem tersebut akan mendorong terjadinya perang harga. Pabrik rokok besar tidak akan menaikkan harga meskipun dibebani cukai tinggi karena mereka lebih efisien dan punya skala ekonomis yang jauh lebih baik. Akibatnya, pabrik kretek kecil tak berani menaikkan harga. "Alhasil, mereka akan bangkrut karena marginnya bisa negatif," katanya. Karena itulah PPRK dalam rapatnya Rabu pekan lalu sepakat menolak rencana pemerintah tersebut dan meminta penerapannya ditunda. Permintaan itu juga datang dari Ketua Gabungan Perusahaan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), Ismanu Soemiran. Permana tampak tenang menanggapi penolakan tersebut. Dirjen Bea dan Cukai ini mengatakan, jika harga rokok kretek lebih mahal, hal itu wajar. Ada komponen rokok kretek yang tidak ada di rokok putih, yakni cengkeh. "Kalau memang mau bersaing, teman-teman di kretek yang besar bisa bikin rokok putih," kata Permana. Sedangkan bagi pabrik rokok kecil, pemerintah sudah memikirkan jalan keluarnya, misalnya dengan membuat penjejangan sebagaimana pada sistem yang lama. "Pabrik rokok akan dikenai cukai sesuai dengan kemampuannya. Yang besar akan kena cukai tinggi, yang kecil ya rendah," katanya. Memang, tak semua pabrik rokok meminta penundaan. Produsen kelas berat seperti Sampoerna dan Bentoel sudah menyuarakan persetujuannya. Tapi, di luar itu, masih banyak produsen rokok yang belum oke. Tampaknya, Permana harus lebih banyak menyosialisasi konsep cukai semispesifik itu. Soalnya, langkah pemerintah sudah tepat. Intervensi pemerintah terhadap pasar memang mesti dihapuskan, tapi sebaiknya hati-hati. Apalagi industri rokok selalu patuh dan siap berperan sebagai sapi perah pemerintah. Masyarakat perokok pada umumnya juga tidak rewel dengan kenaikan harga. Namun, kalau sekali ini pemerintah salah langkah, bukan rokok lagi yang terbakar, melainkan anggaran negara. M. Taufiqurohman, Gita W. Laksmini, Bandelan Amarudin (Kudus)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus