Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ramai-Ramai Membeli Saham BCA

Sebuah konsorsium tengah disiapkan untuk membeli saham BCA. Pro dan kontra pun merebak di kalangan pengusaha pribumi.

30 September 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANK Central Asia (BCA) diincar banyak pihak, termasuk peminat baru yang bernama Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi). Walaupun untuk menjadi pemilik BCA diperkirakan tidak akan lulus fit and proper test—karena tidak berpengalaman di sektor perbankan—Hippi tampaknya akan maju terus. Ketua Umum Hippi, Suryo B. Sulistio, mengatakan bahwa organisasi yang dipimpinnya akan membentuk sebuah konsorsium. Dengan mengandalkan konsorsium inilah—yang akan ditugasi menghimpun dana Rp 3 triliun dari pengusaha, yayasan, dana pensiun, dan sebagainya—Hippi akan membeli saham BCA sebesar 30 persen. Tak jelas bagaimana ambisi Hippi bisa menggelembung tiba-tiba. Dan alasan pem-benarannya untuk memiliki BCA juga sungguh sederhana. Menurut Hippi, BCA bisa bertahan hidup lantaran bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 29 triliun ditambah obligasi pemerintah senilai Rp 60 triliun. Karena itu, yang berhak menguasai BCA adalah pemilik modal dalam negeri. Sekadar memperkuat alasan tersebut, Suryo menambahkan, bila 73 persen saham pemerintah di BCA terjual, pemerintah hanya memperoleh sekitar Rp 8 triliun. Sedangkan hasil penjualan aset Grup Salim hanya meng-hasilkan sekitar Rp 30 triliun. Nah, kekurangan itu harus ditanggung pemerintah. Bahkan, bunga obligasi harus pula ditanggung APBN selama tahun 2001 dan 2002. Jumlahnya mencapai Rp 15 triliun. Akibatnya, rakyatlah yang terkena imbas dan harus menanggung lewat penghapusan subsidi bahan bakar minyak dan subsidi listrik ataupun lewat pajak. Mengikuti jalan pikiran Hippi, rakyat yang menanggung biaya bunga obligasi yang ditempatkan di BCA harus dianalogkan dengan Hippi. Penyederhanaan ini bisa saja diper-debatkan. Yang pasti, gagasan membentuk konsorsium menyebar setelah DPR menyepakati penjualan saham BCA sebanyak 51 persen. Salah satu persyaratan yang dititipkan DPR kepada pemerintah adalah memprioritaskan investor lokal jika kelak menjual saham BCA. Penjualan itu juga harus dilakukan dua tahap. Tahap pertama sebanyak 30 persen sesuai dengan rencana semula, sedangkan tahap berikutnya 21 persen. Sebanyak 10 persen saham pemerintah di BCA sebelumnya telah dijual lewat penawaran umum kedua awal Juli lalu. Bahkan, penawaran 30 persen saham pun telah dilakukan dan tinggal ada dua penawar, yaitu Newbridge Capital dan Indonesia Recovery Company Limited. Yang disebut terakhir itu adalah konsorsium yang dibentuk oleh PT Bhakti Investama bersama Asian Debt Management, Hong Kong. Namun, penawaran dibatalkan karena ada indikasi insider trading. Sekarang, Newbridge dikabarkan ngambek. "Saya tidak tahu apakah Newbridge masih tertarik dengan BCA," kata advisor Newbridge, Hikmat Kartadjoemena. Syarat lain yang diajukan DPR ialah calon investor harus berupa lembaga keuangan atau perbankan. Karena Hippi tidak berpengalaman mengelola bank, menurut Suryo, kepemilikan dengan manajemen akan dipisahkan. Selain itu, manajemen kelak akan diserahkan kepada bank asing lewat tender. Kekhawatiran bahwa pemilik modal akan memainkan pengaruhnya dalam pengucuran kredit—dalam kaitan dengan ambisi Hippi—tentu tak bisa dinafikan. Apalagi Hippi mengincar BCA agar dapat mendukung usaha kecil dan menengah (UKM). "Sebagai bank besar, apa saja bisa dilakukan asalkan menguntungkan: UKM, kartu kredit, dan sebagainya," kata Joshua Tanja, analis dari PT Nomura Indonesia, mewanti-wanti. Yang dikhawatirkan oleh Joshua adalah kenyataan bahwa kalaupun konsorsium mampu membeli BCA, bank ini masih terus memerlukan dana segar. Lalu, dari mana konsorsium memperolehnya? Bisa-bisa dividen malah untuk pemegang saham, bukan diakumulasikan sebagai modal. Tapi kemungkinan seperti itu tidak mengurangi dukungan agar BCA jatuh ke tangan pemodal lokal. Aburizal Bakrie, pengusaha sekaligus Ketua Kamar Dagang dan Industri, disebut-sebut berada di belakang penggalangan dana itu. Alasannya, Indonesia harus mencontoh Malaysia untuk memberikan kesempatan pertama kali kepada pengusaha lokal. Tapi, "Dia tidak akan masuk konsorsium mewakili perusahaan. Kalau secara individu, mungkin saja," kata Lalu Mara Satriawangsa dari Bagian Humas Grup Bakrie. Namun, tak sedikit pula pengusaha yang tidak tertarik dengan ide itu. Eric Tohir, pengusaha muda yang bergerak di bidang media, misalnya, hanya mau masuk konsorsium jika pemerintahlah yang mengimbau pengusaha untuk menyisihkan dana. Kalau ada 30 ribu pengusaha, Rp 3 triliun pasti terkumpul. Pentolan pengusaha pribumi, Probosutedjo, juga menolak ide itu. "Tak gampang menyerahkan duit begitu saja. Apakah sistem dan pengelolanya bisa dipercaya?" tanya adik tiri mantan presiden Soeharto yang pernah menjadi peng-urus Hippi ini. Agus S. Riyanto, Dewi Rina Cahyani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus