Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Produktivitas Perkebunan Rendah, JK: Solusinya Teknologi

Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai solusi untuk mengatasi permasalahan produktivitas perkebunan adalah penerapan teknologi terkini.

18 Oktober 2017 | 15.50 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Wapres Jusuf Kalla meninjau stasiun bawah tanah dan jalan raya di Brussels, Belgia, 9 Oktober 2017. Disela kunjungannya menghadiri Festival Europalia, Kalla menggali informasi tentang sistem trasportasi massal di Brussel. Foto: juru bicara Wapres Husain Abdullah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai solusi untuk mengatasi permasalahan produktivitas perkebunan adalah penerapan teknologi terkini. "Semua tantangan perkebunan harus diatasi, dan satu-satunya solusi adalah dengan teknologi, sehingga pusat riset menjadi penting," katanya saat membuka World Plantation Conferences and Exhibition di Jakarta, Rabu, 18 Oktober 2017.

Kalla berujar sejarah Indonesia sangat erat hubungannya dengan perkebunan. Bahkan masuknya Bangsa Eropa ke Indonesia pun disebabkan komoditas perkebunan dalam negeri, seperti pala dan cengkeh. Sejalan dengan itu, perkebunan dalam negeri pun terus berkembang pada era pemerintahan Belanda.

Pada awal kemerdekaan, kata dia, Indonesia bahkan pernah menjadi salah satu pengekspor gula terbesar dengan pusat penelitian di Pasuruan. "Penduduk Indonesia waktu itu di bawah 100 juta jiwa. Sekarang 250 jutaan. Kita bangga waktu itu ekspor karena penduduknya masih sedikit," ujarnya.

Namun Kalla menjelaskan, seiring dengan itu, tantangan yang terjadi kini adalah tidak berimbangnya pertumbuhan manusia dan kebutuhan hasil perkebunan dibanding perkembangan perkebunan.

"Belum lagi pada 2050, kalau jumlah manusia mencapai 10 miliar orang, maka kebutuhan atas makanan dan hasil perkebunan diprediksi akan meningkat hingga 70 persen," ucapnya. Meningkatnya jumlah manusia menyebabkan banyaknya lahan perkebunan yang mesti beralih fungsi menjadi kawasan pemukiman, industri, dan perkantoran.

Baca: Freeport Tolak Skema Divestasi, Jusuf Kalla Punya Penilaian

Belum lagi permasalahan perubahan iklim dan air yang sangat mempengaruhi produktivitas perkebunan di Indonesia. Atas masalah-masalah tersebut, Kalla meyakini hanya teknologi dan disiplin masyarakat menanam di lahan dan dengan bibit baik yang bisa menyelesaikannya, seperti penerapan teknologi hemat air, teknologi biodiversitas, dan bioteknologi.

Misalnya pada perkebunan kelapa sawit. Saat ini, kata dia, perkebunan rakyat baru menghasilkan 2 ton sawit per hektare per tahun. Padahal perkebunan korporasi bisa menghasilkan 5 ton sawit per hektare per tahun. "Sehingga harus didukung dengan bibit dan teknologi yang bagus supaya bisa menghasilkan 7 sampai 8 ton sawit per hektare per tahun," tuturnya.

Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang mengatakan, saat ini, perkebunan kelapa sawit di Indonesia seluas 11,9 juta hektare. Sebesar 4,7 juta hektare atau 48 persen di antaranya merupakan perkebunan rakyat. Sayangnya, perkebunan rakyat itu tidak ditunjang dengan bibit yang baik sehingga tanaman yang dihasilkan tidak produktif.

Saat ini, pemerintah berupaya melakukan replantasi perkebunan sawit rakyat itu dengan memberikan bibit yang berkualitas. Dengan begitu, perkebunan rakyat bisa mulai menghasilkan sawit hingga 8 ton per hektare per tahun.

Apabila target itu tercapai, diperhitungkan negara bakal memperoleh nilai tambah Rp 125 triliun. "Itu baru dari minyaknya, belum lagi kalau kita membicarakan masalah dampak sosial dan penyerapan tenaga kerja di daerah," kata Bambang.

CAESAR AKBAR

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus