Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Rekor Astra di pasar bursa

Pasar bursa kembali ramai ketika pasar perdana saham pt astra international dibuka. Pesanan saham astra lebih dari 800 juta saham.Bersamaan dengan itu masyarakat menyerbu juga saham bank.

31 Maret 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INILAH saham yang ditunggu-tunggu masyarakat selama ini untuk dibeli: saham PT Astra International. Bayangkan, pesanan yang masuk mencapai 809.229.000 saham. Kalau permintaan itu dipenuhi, berdasarkan harga yang dipasang adalah Rp 14.850 per saham, maka dana masyarakat yang bakal tersedot lebih dari Rp 12 trilyun -- seperempat APBN 1990-1991. Saham yang ditawarkan Astra International kepada masyarakat lewat pasar perdana, 5-16 Maret, tentu saja tak sebanyak itu. Hanya 30 juta saham. Ini berarti ada kelebihan pemesanan 27 kali lipat dari saham yang tersedia. Menurut Yannes Naibaho, Direktur PT Danareksa -- yang menjadi penjamin pelaksana emisi saham Astra International -- sejak pasar perdana saham Astra International dibuka, orang memang langsung berbondong-bondong menyetor uang untuk melakukan pemesanan. Pemesan dari dalam negeri tercatat 507.700.000 saham. Itu datang dari 27 provinsi di seluruh Indonesia. Sementara itu, orang asing yang berminat, berasal dari sekitar 20 negara, hanya memesan 301.500.000 saham. Bagaimana membagi 30 juta saham yang ditawarkan kepada hampir 70.000 pemesan? Astra International dan Danareksa menetapkan sebuah rumusan sehingga satu pemesan paling banyak kebagian 6.500 saham. Lewat rumusan itu, pemesan kelas "teri" -- yang memesan cuma 100 saham juga bisa kebagian. Menurut catatan Rini M.S. Soewandi, Direktur Keuangan Astra International, pemegang saham kelas "teri" ini berjumlah 45.000 orang. Tapi, pilihan itu bukan tanpa risiko. Dengan banyak pemegang saham kelas "teri", penampilan Astra International di bursa, setelah 4 April, cukup berat. Soalnya, pemegang saham 100 lembar ini biasanya bukan pemodal kuat yang hendak menahan saham berlama-lama. Mereka sekadar mencari keuntungan (capital gain) dari harga saham yang meroket. Biasanya, pada saat seperti itu, mereka akan serentak melempar saham mereka ke bursa. Dengan melonjaknya minat jual, tentu saja, ada dampaknya pada harga saham. "Spekulasi seperti ini memang bisa membuat harga turun," tutur Sani Permana, pialang kawakan dari PT Aperdi. Hal itu ternyata sudah diperhitungkan Astra International. Menurut Rini, jika ada pasokan mendadak 4,5 juta saham dari 45.000 pemegang saham kelas "teri" itu harga tak akan turun tajam. "Saya kira itu akan bisa diserap pasar tanpa harus mengganggu harga," katanya yakin. Bagaimana lenggang-lenggok Astra International di bursa memang baru bisa dilihat bulan depan. Sementara itu, yang tak kalah menarik perhatian adalah saham industri perbankan. Mereka yang mencoba menarik modal masyarakat adalah Tamara Bank dan Bank Dagang Nasional Indonesia -- keduanya terjun berbarengan pada 2 April. Tamara menjual 3 juta saham dengan harga Rp 8.000 per lembar, dan BDNI menjual Rp 500 lebih mahal ketimbang saham Tamara, untuk 11 juta saham yang mereka tawarkan. Segera menyusul adalah Bank Duta, yang menawarkan 27,5 juta saham dengan harga Rp 8.000 per lembar. Sebenarnya, Bank Duta masih punya 7,5 juta saham yang akan ditawarkan kepada masyarakat. Tapi, saham tambahan itu baru akan dijual enam bulan setelah pencatatan di bursa, yang direncanakan pada 2 Juli nanti. "Kami makan waktu agak lama karena terbentur puasa dan Lebaran," kata Wakil Direktur Utama Bank Duta Dicky Iskandar Di Nata. Saham tambahan sebanyak 7,5 juta lembar -- yang akan dijual belakangan -- memang beda dengan 27,5 juta yang ditawarkan lewat pasar perdana. Saham tambahan itu adalah saham pemodal lama, sedangkan saham sebanyak 27,5 juta lembar adalah penerbitan saham baru. Mulanya, penjualan saham lama, yang dimiliki oleh Zahid Husein, Ali Affandi, Hedijanto (masing-masing bendaharawan Yayasan Dakab, Supersemar, dan Dharmais), dan Koperasi Mitra Duta akan dilakukan berbarengan dengan 27,5 juta saham baru lewat pasar perdana. "Tapi, divestasi seperti itu kurang populer di penjamin emisi, jadi kami tunda," Dicky melanjutkan. Ini dibenarkan oleh C.M. Djoko Wibowo, Presiden Direktur PT Merincorp, salah satu penjamin emisi. Menurut dia, tujuan go public adalah menghimpun dana untuk tujuan produktif dan pengembangan perusahaan. Kalau dana itu akhirnya diambil pemegang saham lama, "Kurang pas dengan semangat go public," tuturnya. Sasaran utama pemegang saham lama Bank Duta, menurut Dicky, bukan dana. "Mereka ingin agar masyarakat punya porsi lebih banyak," katanya. Ia lantas menunjukkan kelebihan Bank Duta dalam proses go public. Salah satunya adalah tidak dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap yang lazim dijalankan semua perusahaan menjelang go public. "Gedung kami ini harganya cuma dihitung Rp 3 milyar. Padahal, paling sedikit sekarang nilainya US$ 30 juta," kata Dicky. Itu berarti pembeli saham Bank Duta nanti membayar lebih murah dibandingkan dengan nilai sebenarnya. Yopie Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus