PT Branta Mulia, yang selama ini dikenal sebagai satu-satunya perusahaan industri kain ban (tire cord) di Indonesia, tak bakal bisa lagi mendikte harga pasar. Perusahaan (Sudono) Salim Group itu bakal disaingi oleh PT Andayani Mega dari kelompok Gajah Tunggal. Menurut Gustimego, orang kedua konglomerat Gajah Tunggal, pabrik kain ban Andayani sudah melakukan uji coba sejak awal Maret lalu. "Mudah-mudahan, April ini sudah mulai berproduksi," katanya. Untuk menunjang pengadaan bahan baku bagi Andayani, yang berkapasitas 12.000 ton per tahun, Grup Gajah Tunggal akan mendirikan pula pabrik serat nilon 6 (bahan baku kain ban). Menurut T.W. Sendra, Direktur Umum Gajah Tunggal, investasi untuk pabrik serat nilon ini Rp 90 milyar -- sekitar 70% akan ditanggung Syamsul Nursalim dan sisanya merupakan pinjaman jangka enam tahun dari Bank BNI. Syamsul Nursalim adalah pemilik Gajah Tunggal. Sampai Maret lalu, Gajah Tunggal, yang juga punya pabrik ban, masih membeli kain ban (jenis 840 dan 1260) produksi Branta dengan harga Rp 13.220 dan Rp 12.165 per kg. Sementara itu, Andayani, untuk produksi yang sama, bisa menekan harga sampai Rp 11.000 dan Rp 11.500. Harga jual itu, kata Sendra, masih bisa diturunkan lagi jika pabrik kain ban Andayani sudah berjalan penuh. Penurunan harga itu memang dimungkinkan oleh adanya penurunan biaya tetap unit pabrik. Diperkirakan Sendra, harga masih bisa ditekan lagi sampai 10% dari harga patokan Andayani sekarang. Tak heran jika beberapa pabrik ban dalam negeri bersedia membeli produk Andayani. Dua negara tetangga, Malaysia dan Muangthai, bahkan sudah menyatakan keinginan berlangganan dengan Andayani. "Kalau pengadaan kain ban bergantung terus pada satu perusahaan, ekspor ban kita tak akan bisa bersaing," ujar Sendra. Padahal, permintaan ban buatan Indonesia cukup tinggi. Tahun 1987, ekspor ban Gajah Tunggal baru 1 juta unit. Tahun lalu, angka ekspor tersebut melonjak jadi 1,3 juta unit, sehingga dapat memasukkan devisa US$ 27,9 juta. Dengan memiliki pabrik kain ban sediri, Gajah Tunggal akan menghemat biaya sekitar Rp 11 milyar setahun. Menurut beberapa anggota Asosiasi Produsen Ban Indonesia (APBI), munculnya pabrik kain ban Andayani diharapkan akan mengerem kecenderungan Branta menaikkan harga. Maret 1986, harga kain ban buatan Branta masih dijual sekitar US$ 4,6 per kg, dan empat tahun kemudian meningkat hampir dua kali lipat. Tapi Branta tampak tak begitu khawatir dengan munculnya Andayani. "Jumlah kain ban yang biasa dibeli Gajah Tunggal setiap tahun dari kami rata-rata 3.000 ton. Jumlah itu cuma sekitar 10% dari jumlah total pemasaran kami," kata Manajer Pemasaran Branta, Richard Pranata, kepada wartawati TEMPO Yuli Ismartono di Bangkok. Ia menambahkan, hasil produksi Branta dipasarkan di Muangthai, Malaysia, Filipina, Pakistan, Australia, dan Selandia Baru. Mahalnya harga kain ban buatan Branta, menurut Pranata, karena investasi untuk pabriknya lebih besar. "Izin produksi yang diberikan BKPM untuk Branta 20.000 ton sedangkan Andayani cuma diizinkan 12.000 ton," tambahnya. Menurut sumber TEMPO di Departemen Perindustrian, produksi Branta sudah sekitar 15.000 ton -- hampir 75% dari kapasitas terpasang. Jika Branta menaikkan produksinya sampai batas kapasitas, dan ditambah dengan hasil produksi Andayani, maka total produksi kain ban di Indonesia akan mencapai 32.000 ton. Sementara itu, kebutuhan kain ban di dalam negeri sampai 1992, dalam perkiraan Departemen Perindustrian, baru sekitar 11.400 ton per tahun. Tak heran bila Branta dan Andayani harus bersaing ketat menjajakan hasil produksinya. MW, Bambang Aji, Yuli Ismartono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini