Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPANJANG enam bulan tahun ini, sudah dua kali Presiden dan Kepala Eksekutif Freeport-McMoran Copper & Gold, Richard C. Adkerson, berkunjung ke kantor Menteri Perekonomian di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Pada kunjungan pertama, akhir Januari lalu, ia datang "menghadap" Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa dan sejumlah menteri ekonomi lainnya.
Terbang dari Amerika Serikat, Adkerson meluangkan waktu berjam-jam mempresentasikan kinerja keuangan unit bisnisnya di Papua itu. Tak ketinggalan, dia mengeluhkan kebijakan larangan ekspor dan bea keluar yang memberatkan perusahaan. Saat itu permintaan keringanan ditolak mentah-mentah oleh pemerintah.
Rabu dua pekan lalu, Adkerson kembali ke Jakarta. Berbeda dengan sebelumnya, dia datang karena diundang Chairul Tanjung, Menteri Koordinator Perekonomian yang baru. Agendanya sama dengan pertemuan pertama, tapi kali ini rapat cuma berlangsung setengah jam.
Pertemuan dimulai sekitar pukul 12, dipimpin langsung Chairul dan dihadiri sejumlah menteri ekonomi. Kedatangan Adkerson diperlukan guna membahas penyempurnaan bahasa yang akan digunakan dari hasil renegosiasi kedua belah pihak. "Freeport tinggal menyempurnakan wording. Tadi hanya courtesy call," ujar Menteri Perindustrian Mohamad Suleman Hidayat.
Seorang pejabat yang turut hadir di pertemuan itu menceritakan rapat dibuka Chairul. Ia menyampaikan ucapan terima kasih kepada tim renegosiasi yang telah bekerja keras sejak awal tahun untuk mencapai titik temu dengan Freeport.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik membenarkan proses renegosiasi yang berlangsung sejak 2013 hampir selesai. Menurut dia, pemerintah melunak karena perusahaan tambang emas dan tembaga dunia itu bersedia membangun pabrik pemurnian logam (smelter) dengan perkiraan nilai investasi US$ 2,3 miliar atau sekitar Rp 26,5 triliun.
Untuk menunjukkan keseriusan dan komitmennya, Freeport pun harus memberikan uang jaminan kepada pemerintah sebesar minimal lima persen dari nilai investasi atau US$ 115 juta (sekitar Rp 1,3 triliun) dalam waktu sesegera mungkin.
Jika semua berjalan lancar, Freeport akan selesai membangun smelter pada 2017. Tapi, dengan kontrak yang akan berakhir pada 2021 dan tanpa kepastian perpanjangan operasional, Freeport tak akan mungkin bersedia melunak.
Pemerintah juga menghadapi dilema. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk perpanjangan masa operasional hanya bisa diberikan dua tahun sebelum masa kontrak berakhir. "Lagi dicari bentuk awarding-nya sekarang," kata Jero. "Bagaimana cocoknya. Biar Freeport merasa nyaman dan pemerintah tidak salah."
Lampu hijau perpanjangan kontrak kerja ini menjadi kabar baik bagi Freeport. Namun kesepakatan itu belum sepenuhnya putus. "Semua itu masih dalam tahap pembicaraan, belum selesai detailnya," ucap Direktur Utama PT Freeport Indonesia Rozik B. Sutjipto dalam pesan pendeknya.
FREEPORT Indonesia meneken kontrak dengan pemerintah Indonesia untuk menambang emas dan perak pada 1967. Dalam Kontrak Karya II yang terbit pada 1991, perusahaan dengan luas lahan konsensi 2,6 juta hektare itu diberi waktu beroperasi hingga 2021.
Sejak saat itu, jumlah manfaat yang disetor oleh Freeport kepada Indonesia hingga 2013 telah mencapai US$ 15,2 miliar. Setoran terdiri atas pajak penghasilan badan yang mencapai 60 persen dari total kontribusi, pajak-pajak lain, royalti, dan dividen.
Untuk royalti, Freeport diketahui baru menyetor sebesar US$ 1,5 miliar sejak 1991. Setoran itu didapat dari perhitungan royalti sebesar 1 persen untuk emas dan perak serta 3,5 persen dari tembaga yang ditambang. Padahal pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003, yang mengatur kenaikan tarif royalti emas menjadi 3,75 persen dan tembaga sebesar 4 persen.
Dengan angka baru ini, semestinya royalti yang diperoleh pemerintah lebih besar. "Itu tidak bisa berjalan, karena selama bertahun-tahun renegosiasi sibuk adu kuat antara kontrak karya dan aturan pemerintah," kata seorang praktisi pertambangan kepada Tempo.
Bukan hanya royalti, ada lima poin lain dalam renegosiasi di mana Freeport berkeras tidak mengubahnya hingga kontrak berakhir pada 2021. Poin tersebut adalah luas wilayah, divestasi saham, jangka waktu, penggunaan tenaga lokal, serta pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter.
Akibat sistem kontrak, Freeport menjadi sedikit jemawa karena posisinya dianggap setara dengan posisi pemerintah Indonesia. Segala aturan baru mengenai pertambangan yang dirancang dan diterbitkan pemerintah dimentahkan oleh Freeport dengan alasan "kesucian" kontrak.
Hingga akhirnya pada awal tahun ini pemerintah dengan tegas menerapkan larangan ekspor mineral mentah. Bersamaan dengan itu, pemerintah juga akan menerapkan bea keluar secara progresif bagi perusahaan tambang yang emoh membangun smelter sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Minerba Nomor 4 Tahun 2009. Situasi itulah yang memaksa Freeport kembali ke meja perundingan.
Meski begitu, Freeport tetap tak kehilangan taring. Bersenjatakan investasi smelter US$ 2,3 miliar dan proyek tambang bawah tanah senilai US$ 15 miliar, mereka meminta jaminan tambahan jangka waktu operasional hingga 2041.
Jero Wacik membenarkan soal itu. Menurut dia, dalam renegosiasi kali ini pemerintah tidak bisa mendapatkan 100 persen yang diinginkan. "Renegosiasi kan saling mendekati, bukan kita dapat seratus, dia dapat nol," ujarnya. "Tidak ada yang mau kalau begitu."
Yang penting, kata dia, pembangunan smelter yang diminta pemerintah sejak lima tahun lalu akhirnya dituruti oleh Freeport. Jalan untuk perpanjangan waktu pun bisa diupayakan. Berbagai instansi negara dilibatkan, dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral hingga kejaksaan, yang dimintai pendapat agar dasar hukumnya nanti tak keliru.
Pemerintah berusaha supaya proses ini bisa diselesaikan segera dan titik temu renegosiasi bisa dituangkan dalam sebuah dokumen yang lebih pasti. Selain itu, pemerintah tengah mengebut penyelesaian peraturan Menteri Keuangan yang akan mengatur rincian bea keluar ekspor mineral. Apabila aturan ini terbit, uang jaminan ratusan juta dolar Amerika yang dijanjikan Freeport pun bisa mengalir ke rekening pemerintah.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral R. Sukhyar memaparkan, hingga saat ini, ada tujuh pemegang kontrak karya yang siap meneken nota kesepahaman renegosiasi. "Freeport tidak termasuk di sini," ucapnya.
Tidak dimasukkannya Freeport karena memang sedang dicari dokumen hukum yang sesuai. Meski begitu, saat ini Freeport bisa dibilang sudah sepakat terhadap poin-poin renegosiasi yang diajukan pemerintah, tak hanya soal pembangunan smelter.
Dalam luas wilayah, misalnya, perusahaan tambang tersebut bersedia mengurangi area tambang menjadi 125 ribu hektare saja. Freeport juga bersepakat menggunakan tenaga lokal dan produk dalam negeri hingga 100 persen.
Dari sisi pendapatan negara, Sukhyar memastikan ada peningkatan penerimaan negara setelah Freeport bersedia menaikkan tarif royalti sesuai dengan peraturan. Begitu juga dividen, dengan kesanggupan divestasi hingga 30 persen.
Soal perpanjangan kontrak, kata Sukhyar, hal itu tak bisa diberikan pemerintah karena, selepas Kontrak Karya II mereka yang berakhir pada 2021, Freeport tidak lagi menjadi perusahaan tambang dengan status kontrak karya. "Setelah 2021, Freeport akan memakai izin usaha pertambangan khusus. Posisinya tidak akan setara lagi. Dia harus mengikuti semua aturan pemerintah," ujarnya.
Poin-poin renegosiasi ini nantinya hanya akan berlaku hingga masa waktu kontrak karya berakhir. Maka, jika Freeport ingin memperpanjang operasionalnya, harus disesuaikan dengan aturan pertambangan. "Tidak bisa dimasukkan dalam amendemen kontrak ataupun nota kesepahaman renegosiasi saat ini," kata Sukhyar.
Dengan izin yang baru nanti, Freeport memiliki kesempatan melanjutkan operasional mereka maksimal 2 x 10 tahun. "Jadi memang istilahnya tak ada lagi perpanjangan kontrak." Dia membantah renegosiasi dengan Freeport kali ini terkesan terlalu diburu. Menurut dia, proses renegosiasi sudah berlangsung lama, kesepakatan poin-poin tersebut pun tak mudah dicapai.
Pengamat pertambangan dari Indonesian Studies Resources, Marwan Batubara, mengapresiasi upaya keras pemerintah itu. Namun dia tetap menilai dari hasil renegosiasi terlihat masih ada beberapa fasilitas khusus yang diberikan kepada Freeport.
Marwan memberi contoh perpanjangan jangka waktu. Dia mengakui bahwa perpanjangan sulit untuk tidak diberikan mengingat adanya pembangunan smelter. Secara hitungan bisnis, jika kontrak berakhir pada 2021, ada kemungkinan Freeport belum bisa mengembalikan modal usahanya. "Tapi perlu diuji dulu apa benar nilai investasinya sebesar itu. Jangan terbuai dengan angka-angka investasi yang fantastis," ujarnya.
Selain terbuai pembangunan smelter, pemerintah dinilai terlalu terbuai rayuan investasi proyek bawah tanah senilai US$ 15 miliar. Menurut Marwan, pemerintah semestinya meminta investasi secara bertahap dan peningkatan penggunaan tenaga kerja lokal di Freeport untuk tahap pembelajaran hingga 2021. Dengan begitu, pemerintah bisa mengembangkan proyek itu bersama-sama dan tidak terlalu bergantung pada Freeport.
Fasilitas paling jelas terlihat dari kesepakatan divestasi sebesar 30 persen. Padahal aturan perundangan mengamanatkan divestasi perusahaan tambang asing harus sampai 51 persen. Belum lagi soal luas lahan. "Itu masih terlalu luas. Kalau mau sesuai dengan aturan, seharusnya dipangkas jadi hanya 25 ribu hektare."
Sukhyar membantah adanya pemberian fasilitas khusus ini. Menurut dia, divestasi sebesar 30 persen itu masih sesuai dengan aturan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 yang diubah dengan PP Nomor 24 Tahun 2012. Divestasi 51 persen wajib untuk perusahaan yang hanya melakukan kegiatan penambangan. "Jika terintegrasi dengan pemurnian, divestasinya bisa hanya 30 persen."
Luas wilayah, kata Sukhyar, juga dikurangi secara bertahap. Apalagi, jika dilihat-lihat, lahan yang digunakan untuk penambangan Freeport hanya seluas 10 ribu hektare. Sisanya merupakan penunjang operasional atau dihitung bukan sebagai lahan tambang utama.
Gustidha Budiartie, Angga Wijaya
Rayuan Baru Produsen Emas
MENJADI perusahaan asing pertama yang berinvestasi di Indonesia pada era pemerintahan Soeharto, PT Freeport Indonesia mendapat berbagai kemudahan. Baru dua tahun dari saat kontrak karya selama 30 tahun, perusahaan yang menginduk ke McMoran Copper & Gold Inc ini sudah berhasil membukukan laba.
Delapan belas tahun menjelang berakhirnya kontrak, Freeport menemukan Grasberg. Lobi tingkat tinggi dilakukan dengan menjanjikan 9,36 persen saham kepada pengusaha kongsi petinggi Orde Baru. Walhasil, kontrak karya Freeport memanjang hingga 2021. Kini, tujuh tahun menjelang kontrak kedua itu berakhir, rayuan anyar kembali dilancarkan.
PT Freeport Indonesia
Pemegang saham
Produksi (ton)
2013 | 2012 | ||
Emas | 31.185 | 25.515 | |
Tembaga | 400. 905 | 324. 348 | |
Pendapatan dan Setoran Freeport (US$ miliar)
2013 | 2012 | ||
Pendapatan emas | 1,44 | 1,49 | |
Pendapatan tembaga | 3,38 | 2,56 | |
Pajak dan royalti | 0,5 | 0,955 | |
Kontribusi Sepanjang 1992-2013
Perjalanan Kontrak Karya
5 April 1967
Kontrak karya pertama ditandatangani untuk jangka waktu 30 tahun dihitung sejak mulai beroperasi pada 1973.
Juli 1976
Pemerintah Indonesia mendapat bagian saham 9,36 persen dan royalti 1 persen.
28 Januari 1988
Ditemukan deposit emas di kawasan Grasberg. Freeport Mc Moran Copper and Gold (FCX) go public di lantai bursa New York.
30 Desember 1991
Terbit kontrak karya kedua selama 30 tahun atau berakhir pada 2021. Diatur kewajiban divestasi Freeport hingga kepemilikan nasional mencapai 51 persen. Divestasi pertama, 9,36 persen saham Freeport dibeli PT Indocopper, milik Bakrie Group.
1997
Saham Indocopper beralih ke PT Nusamba Mineral Industri milik Bob Hasan, yang belakangan dibeli kembali Freeport. Divestasi tahap kedua hingga kini tidak pernah terealisasi.
2009
Terbit aturan yang melarang ekspor mineral mentah dan negosiasi ulang semua kontrak karya.
2014
Freeport mulai berkomitmen membangun smelter tapi meminta kontrak karya diperpanjang hingga 2041.
Akbar Tri Kurniawan | Sumber: Freeport McMoran, PDAT
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo