Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Termakan Janji Ketua Notaris

Berhasrat membeli lahan di daerah elite kawasan Jenderal Sudirman, Jakarta, seorang pengusaha Singapura tertipu puluhan miliar rupiah. Perkara ini menyeret Ketua Umum Ikatan Notaris Indonesia Sri Rachma Chandrawati.

16 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lahan sekitar 16 ribu meter persegi itu terletak sejajar dengan Kantor Pusat Bank Negara Indonesia. Membujur persis di depan Halte Transjakarta Dukuh Atas, kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, lahan itu kini dipakai untuk tempat parkir, antara lain, mereka yang berkantor di Gedung Arthaloka.

Kosong melompong tak ada bangunan, bertahun-tahun lahan di wilayah strategis itu jadi rebutan berbagai pihak. "Dua orang sudah di penjara gara-gara tanah itu," kata Ina Nasution, pengacara dari kantor Sani, Aminoeddin & Partners Law Firm, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Ucapan Ina bukan isapan jempol. Dua putusan pidana dan satu putusan perdata melekat pada riwayat tanah yang di atasnya menancap plang bertulisan "Tanah Milik Negara" tersebut. Mahkamah Agung mengeluarkan dua putusan pidana, pada 14 Agustus 1991 dan 21 Agustus 1991, untuk dua Direktur PT Mahkota Real Estate, Widodo Sukarno dan Rudy Pamaputera. Lalu Mahkamah menerbitkan putusan perdata pada 15 September 2009, yang menyatakan tanah itu milik negara.

Meskipun putusan Mahkamah sudah berkekuatan tetap, bara konflik soal tanah itu tak kunjung padam. Pada Februari tahun lalu, seorang warga negara Singapura bernama Shaikh Haroon melaporkan dua warga Indonesia ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Salah satunya Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia Sri Rachma Chandrawati. Haroon menuduh Rachma bersekongkol dengan temannya, Direktur PT Archipelago Endytiokusumo, menjual lahan yang bukan miliknya. "Klien kami sudah membayar Rp 25 miliar sebagai uang muka. Ternyata tanah itu tanah sengketa dan terakhir dinyatakan milik negara," ujar Ina.

Rachma membantah tudingan bahwa dia dan Endy melakukan penipuan. Namun ia enggan berkomentar banyak. Dia juga membela Endy. "Saya tahu persis itu tanah warisan milik dia," kata Rachma kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Kepada media ini, seorang penyidik Polda Metro Jaya membenarkan adanya laporan kasus penipuan itu. "Kasusnya sudah jalan," ucap penyidik yang meminta namanya tak disebutkan itu. Polisi sedang mengusut bagaimana keterlibatan dua orang itu dalam perkara tanah yang nilainya diduga mencapai ratusan miliar rupiah tersebut.

l l l

Sejarah konflik tanah kaveling 2 di Jalan Sudirman itu sudah berjalan berpuluh tahun. Awalnya PT Archipelago memperoleh penunjukan pengelolaan tanah seluas 2,3 hektare tersebut dari Gubernur DKI Jakarta pada 1970.Pada tahun yang sama, Archipelago mendirikan PT Mahkota Real Estate, yang digunakan untuk mengelola tanah itu.

Pada 1972, PT Mahkota meneken perjanjian kerja sama dengan PT Taspen untuk membangun dan mengelola gedung perkantoran Arthaloka di lahan itu. Salah satu syaratnya, PT Mahkota harus mempertanggungjawabkan hasil pengelolaan dana kepada Taspen.

Satu dasawarsa berselang, pihak Taspen menuding dua Direktur PT Mahkota, Widodo Sukarno dan Rudy Pamaputera, menggasak uang hasil sewa gedung Arthaloka senilai Rp 11 miliar. Pada 1988, pengadilan memvonis Widodo dan Rudy bersalah. Keduanya dijebloskan ke penjara selama 14 tahun. Selain itu, gedung Arthaloka beserta lahan sisanya dirampas negara.

Tak terima atas putusan itu, PT Mahkota menggugat PT Taspen secara perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk mengembalikan lahan 2,3 hektare tersebut. Pada tingkat pertama, PT Mahkota dinyatakan menang. Namun, di tingkat banding dan kasasi, PT Taspen yang menang.

Atas dasar putusan itu, Badan Pertanahan Nasional lantas menerbitkan sertifikat Nomor 205/Karet Tengsin atas nama PT Arthaloka (anak perusahaan Taspen yang kini mengelola tanah itu) pada 1992. Pada 1993, PT Mahkota pun mengajukan gugatan atas penerbitan sertifikat itu. Setelah berjalan bertahun-tahun, pada 2000, Mahkamah Agung memenangkan PT Mahkota di tingkat peninjauan kembali.

Meskipun dinyatakan menang, upaya PT Mahkota mengeksekusi lahan itu tak berjalan mulus. Pada 2003, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Mohammad Soleh menetapkan kemenangan Mahkota tak bisa dieksekusi. Setahun kemudian, pemerintah melalui Kementerian Keuangan menggugat upaya eksekusi oleh PT Mahkota.

Upaya Kementerian Keuangan ini pun membuahkan hasil. Pada 15 September 2009, Mahkamah Agung menetapkan lahan tersebut milik negara dan tak dapat dieksekusi. Perlawanan PT Mahkota kandas setelah Mahkamah Agung menolak upaya peninjauan kembali mereka melalui putusan 377/PK/Pdt/2011 tertanggal 9 Februari 2012.

l l l

Babak baru sengketa lahan ini bermula dari keinginan Haroon berinvestasi di bidang properti di Indonesia pada akhir 2010. Awalnya ia mendengar informasi soal sebidang tanah di kaveling 2 Jalan Jenderal Sudirman ini dari seseorang bernama Reynie Manopo. Dari Reynie inilah Haroon lantas bertemu dengan Endytiokusumo, yang mengaku sebagai Direktur PT Archipelago sekaligus ahli waris tanah tersebut. Archipelago adalah induk dari PT Mahkota Real Estate.

Pada Januari 2011, pertemuan mereka berlanjut. Haroon meminta status tanah dipastikan melalui notaris. Endy pun mengajak Haroon bertemu dengan Sri Rachma. Dalam pertemuan di kantor Rachma di Jalan Senopati Raya, Jakarta Selatan, sang notaris memastikan kepada Haroon bahwa Endy adalah pemilik tanah itu. "Dia menjamin legalitas tanah itu, dan tidak berkonflik," ujar M. Jamsik, pengacara rekan Ina.

Merasa yakin dengan ucapan notaris kelahiran Ponorogo 54 tahun silam itu, Haroon sepakat membeli tanah tersebut seharga Rp 265,2 miliar. Dalam perjanjian jual-beli, mereka sepakat pembayaran akan dilakukan dalam empat tahap. Tahap pertama sebesar Rp 25 miliar. Tahap berikutnya Rp 17 miliar, Rp 43 miliar, dan terakhir Rp 180,2 miliar.

Haroon bercerita kepada Ina bahwa dia sempat meminta uji tuntas terhadap status tanah itu. Namun ketika itu Sri Rachma mendesaknya segera menandatangani perjanjian jual-beli. Kepada Haroon, Rachma beralasan uji tuntas akan memakan waktu lama. Padahal peminat tanah tersebut cukup banyak.

Untuk meyakinkan Haroon, Endy berjanji akan menunjukkan sertifikat tanah miliknya setelah pembayaran pertama cair. Adapun Rachma, yang juga Ketua Umum Organisasi Profesi Pejabat Lelang Kelas II pada 2011-2014, berjanji memberikan sertifikat tanah atas nama dia dan suaminya, Hardiyanto Hoesodo, sebagai jaminan. Takut tanah itu diserobot orang, Haroon meneken perjanjian jual-beli pada 26 Januari 2011.

Tanda-tanda kejanggalan mulai terlihat pasca-penandatanganan perjanjian jual-beli. Rachma menolak menyerahkan sertifikat tanah yang menjadi jaminan. Kepada Haroon,Wakil Ketua Komite Tetap Industri Mesin dan Alat Angkut Kamar Dagang dan Industri Indonesia pada 2010-2015itu beralasan sertifikat tersebut sedang dalam peningkatan hak dari sertifikat hak guna bangunan menjadi sertifikat hak milik. Anehnya, Rachma justru meminta Haroon menandatangani tanda terima yang menyatakan seolah-olah sertifikat itu sudah diterima dan kemudian dikembalikan ke Rachma.

Pada hari pembayaran tahap pertama, 8 Februari 2011, gelagat jual-beli itu tak beres menguat. Haroon, yang mentransfer uang Rp 25 miliar ke rekening Sri Rachma sebagai penjamin, tak menerima sertifikat tanah yang dijanjikan Rachma. Adapun Endy tak menunjukkan sertifikat tanah miliknya.

Merasa ditipu, Haroon menelusuri asal-usul tanah itu dengan bantuan tim pengacara awal dia. Dari penelusuran itu, pria kelahiran 65 tahun lalu ini tahu hak pengelolaan lahan tersebut pernah dipegang PT Archipelago. Tapi, belakangan, tanah itu menjadi milik negara."Dulu memang punya mereka, tapi sudah dirampas negara," ujar Jamsik.

Haroon semakin naik pitam setelah dua surat somasi yang meminta pengembalian uang Rp 25 miliar miliknya tak ditanggapi Rachma dan Endy. Keduanya, menurut Jamsik, justru mengancam akan menuntut ke pengadilan jika pengusaha itu tak segera menyelesaikan pembayaran tahap kedua.

Tak mau kecolongan untuk kedua kalinya, Haroon memasukkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Belakangan, gugatan itu dicabut lantaran dalam perjanjian dinyatakan penyelesaian melalui jalur hukum harus dilakukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Salah langkah, Haroon justru harus menghadapi gugatan yang dimasukkan Rachma dan Endy ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pun memutuskan Haroon harus membayar sisa kewajibannya. Tak terima atas putusan itu, Haroon mengajukan permohonan banding. Akhirnya, pada awal 2013, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memenangkan Haroon.

Berada di atas angin, Haroon pun melaporkan kasus ini ke Polda Metro Jaya pada 4 Februari 2013. Setahun berlalu, kasus ini tak kunjung kelar karena perlawanan Sri Rachma cukup sengit. Seorang penyidik polisi mengatakan Rachma beberapa kali meminta gelar perkara. Dalam gelar perkara terakhir, awal tahun ini, penyidik Unit IV Harta Benda Bangunan dan Tanah sudah menyimpulkan Rachma dan Endy layak dijadikan tersangka. Namun hingga kini kasusnya masih menggantung."Mereka punyabekingcukup kuat," kata si penyidik.

Soal laporan pidana itu, Rachma menolak berkomentar panjang."Kasusnya sudah dipolitisasi," ucapnya Kamis pekan lalu.

Febriyan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus