Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Setelah Pengendalian BBM Bersubsidi Gagal

Program konversi energi transportasi umum macet. Pembengkakan subsidi menaikkan defisit anggaran negara.

16 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pagar seng setinggi dua meter menutup area stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) di Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Stasiun berseri 31.A.124.02 dengan logo Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Pertamina itu memiliki empat dispenser yang masih mengkilap. Di bagian pojok kiri area, terdapat mesin dryer, kompresor, dan storage yang berfungsi mengolah gas mentah hingga siap didistribusikan ke dispenser.

Sedianya stasiun ini memasok gas untuk bus Transjakarta dan kendaraan lain berbahan bakar gas. Semestinya stasiun ini dirancang bisa menyediakan gas sebesar 1 juta kaki kubik per hari atau 30 ribu liter setara Premium. Tapi semua alat itu kini hanya menjadi pajangan setelah stasiun gas ini tak bisa diresmikan pada Maret lalu gara-gara pipa saluran kotor dan tak ada pasokan gas.

Kikih Rizki, salah seorang pegawai SPBG, mengatakan stasiun gas ini tadinya akan diresmikan langsung oleh Menteri Energi Jero Wacik dan Gubernur DKI Jakarta-yang sekarang menjadi calon presiden-Joko Widodo. Akibat ada masalah itu, dua pejabat ini urung datang. Padahal, meskipun pasokan gas murni tak ada, panitia sudah menyiapkan campuran nitrogen agar SPBG ini terlihat sudah mantap melayani konsumen. "Sampai sekarang enggak ada kepastian kapan SPBG ini dibuka," katanya.

Mangkraknya tempat stasiun pengisian gas juga terjadi di Ragunan. SPBG Ragunan tadinya akan dibuka bersamaan dengan stasiun di Lebak Bulus. Saat didatangi, bagian depan SPBG ini juga ditutup rapat pakai seng. Di dalamnya hanya ada sejumlah karyawan yang tengah asyik minum kopi. "Informasi terakhir pasokan gas di Beji belum ada," ucap Pengawas SPBG Ragunan dan Lebak Bulus, Imam Safei.

Pipa gas dari Beji yang memasok SPBG Ragunan dan Lebak Bulus sendiri merupakan milik PT Pertamina Gas (Pertagas). Pipa gas itu membentang dari Beji, Depok, ke wilayah Ragunan, Lebak Bulus, hingga Blok M. General Manager City Gas PT Pertagas Niaga Arief Wardono tak mau berkomentar soal mandeknya pasokan gas untuk dua SPBG itu. "Kalau untuk pasokan gas ke SPBG, saya kurang tahu," ujarnya.

Gagalnya dua stasiun pengisian bahan bakar gas ini tak pelak mengganggu program konversi energi. Program ini dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Peraturan Presiden Nomor 64 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Bahan Bakar Gas untuk Transportasi Jalan pada Juni 2012 setelah usulan kenaikan harga bahan bakar minyak ditolak Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam peraturan presiden itu, pemerintah ingin semua kendaraan dinas dan angkutan umum hijrah dari bensin ke gas agar belanja subsidi bisa dihemat.

Program konversi energi sebetulnya yang paling menjanjikan penghematan BBM bersubsidi yang paling besar. Harga satu liter gas setara Premium hanya Rp 3.100, jauh di bawah harga Premium bersubsidi sebesar Rp 6.500. Tapi pemerintah gagal mendorong penggunaan gas karena pasokan gas tersendat dan jumlah stasiun pengisian gas sangat terbatas. Di Jakarta, misalnya, saat ini hanya ada 16 SPBG. Padahal, jika Perpres 64 hendak dijalankan, Ibu Kota minimal membutuhkan 50 SPBG.

Kegagalan program konversi ini tak pelak ikut mendorong peningkatan konsumsi BBM bersubsidi. Akibatnya, subsidi bahan bakar minyak terus membengkak. Tahun ini belanja subsidi melonjak dari Rp 210,7 triliun menjadi Rp 285 triliun. Jika tak ada langkah apa pun, defisit anggaran akan mencapai 4,69 persen terhadap produk domestik bruto atau Rp 472 triliun. Pagu defisit dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2014 ditetapkan sebesar 1,69 persen.

Anggota Badan Anggaran dari Fraksi PDI Perjuangan, Dolfie O.F. Palit, menuding pemerintah gagal mengkonversi bensin ke gas dan mengendalikan konsumsi. Menurut dia, saat pembahasan rencana kenaikan harga BBM pada 2012, pemerintah mengajukan Rp 2 triliun untuk membangun infrastruktur SPBG. Tapi ternyata jumlah SPBG hingga saat ini hanya 27 unit dan 2 mobile refueling unit di Jabodetabek, Jawa Timur, dan Palembang. "Pemerintah tak ada inisiatif," kata Dolfie.

Namun Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi Edy Hermantoro mengklaim konversi BBM ke gas dan program pengendalian sudah berjalan maksimal. Menurut dia, pada 2014, kementeriannya telah menyediakan anggaran Rp 1,8 triliun untuk membangun infrastruktur SPBG dan akan membagikan 500 converter kit. "Tahun lalu kami bagikan 2.000 konverter," ujarnya.

Selain merilis program konversi BBM, pemerintah merilis program pengendalian konsumsi BBM dengan alat nirkabel teknologi atau radio frequency identification (RFID) untuk kendaraan. Program ini dikerjakan PT Pertamina untuk membatasi penggunaan bensin bersubsidi kendaraan pribadi.

Program yang ditargetkan rampung pada Juli 2014 ini ternyata mandek akibat belum adanya kesepakatan antara PT Pertamina dan PT Inti, yang menjadi pemenang tender, terkait dengan masalah harga. Kedua perusahaan pelat merah ini masih bernegosiasi tentang kontrak kerja sama. Hingga Maret lalu, penyaluran alat sistem ini baru tercatat sekitar 290 ribu dari target 4,5 juta kendaraan di Ibu Kota.

Belum beres masalah RFID, muncul lagi proyek kartu BBM untuk sistem pembelian noncash, yang dipercaya bakal mengendalikan kuota bensin agar tak jebol. Seorang pejabat di pemerintahan mengatakan program RFID sengaja tidak dilanjutkan karena dianggap terlalu rumit. "Proyek noncash ini jadi incaran. Tapi sampai sekarang proyeknya juga tidak jelas seperti apa. Program pengendalian seperti ditarik-ulur," ucapnya.

Tudingan itu dibantah Wakil Menteri Energi Susilo Siswoutomo. Menurut dia, sistem pengendalian dengan teknologi itu akan lebih difokuskan untuk kendaraan dan industri yang menggunakan bahan bakar solar, yang sangat rentan diselundupkan. Sedangkan opsi penggunaan kartu BBM noncash, kata Susilo, masih dibahas pemerintah.

Walhasil, untuk menekan belanja subsidi dalam jangka pendek, Kementerian Energi masih memakai jurus lama, yakni dengan melarang penggunaan BBM bersubsidi untuk kendaraan dinas, pertambangan, dan kehutanan dengan target penghematan sebesar Rp 1,37 triliun. Selain itu, peningkatan pengawasan BPH Migas ditargetkan bisa menghemat Rp 1,49 triliun, konversi BBM ke gas Rp 27 miliar, dan pengurangan nozzle BBM pelayanan publik senilai Rp 2,83 triliun.

Sekretaris Badan Pengatur Hulu Migas Djoko Siswanto menilai sistem pengawasan berbasis teknologi sebetulnya akan cukup efektif mengendalikan konsumsi BBM. Menurut dia, program pengendalian yang sudah dicanangkan saat ini harus dijalankan dengan maksimal oleh pemerintah karena program konversi bensin ke gas butuh waktu lama akibat kondisi geografis di Indonesia.

Menurut dia, yang harus dilakukan adalah memastikan bagaimana agar mobil pribadi tidak menggunakan BBM bersubsidi. Larangan itu harus konsisten dilakukan karena harga BBM bersubsidi tak bisa dinaikkan. "Solusi masalah subsidi kan hanya penyesuaian harga atau pengawasan dengan informasi teknologi," ucapnya.

Kementerian Keuangan juga sudah meminta Kementerian Energi memaksimalkan kebijakan pengendalian subsidi agar defisit tak makin lebar. Ihwal opsi kenaikan harga BBM, Menteri Keuangan Muhamad Chatib Basri memilih tak berkomentar. Saat ditanya anggota Fraksi Golkar, Satya W. Yudha, dalam rapat Badan Anggaran pada Rabu pekan lalu, Chatib hanya mengatakan, "Kami tidak dalam posisi membahas itu."

Gara-gara tak bisa mengendalikan konsumsi BBM itulah pemerintah akhirnya memilih tetap memangkas belanja kementerian dan lembaga. Meskipun lebih sedikit dari usulan awal sebesar Rp 100 triliun menjadi Rp 69,9 triliun, kebijakan itu tetap menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk DPR, karena akan mengganggu proyek-proyek infrastruktur. Salah satunya anggaran Kementerian Pekerjaan Umum, yang disunat sebesar Rp 22 triliun.

Angga Sukma Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus