Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Emiten tekstil PT Ricky Putra Globalindo Tbk (RICY) buka suara soal kelanjutan gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh PT Asuransi Kredit Indonesia. RICY disebut belum melunasi utang sebesar US$ 9.120.694,32 atau sekitar Rp 149 miliar (kurs Rp16.340).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Corporate Secretary RICY Agnes Hermien Indrajati mengatakan perseroannya telah menghadiri sidang perdana di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada Senin, 10 Maret 2025. Namun, sidang perdana untuk nomor perkara hanya diwakili Direktur RICY Iwan. “Dikarenakan kami sedang menyiapkan legalitas dan dokumen pendukung atas sidang tersebut,” kata Agnes dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia pada Senin, 10 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agnes mengatakan perseroannya akan mematuhi proses hukum yang sedang berlangsung. Dia menyebut RICY menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan taat para peraturan perundang-undangan. “RICY berkomitmen untuk selalu berpedoman kepada prinsip Good Corporate Governance,” katanya.
Adapun, gugatan ini didaftarkan pada Jumat, 28 Februari 2025 dan teregister dengan nomor perkara 62/Pdt.Sus-PKPU/2025/PN Niaga Jkt.Pst.
Dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara, PT Asuransi Kredit Indonesia menyatakan bahwa RICY masih memiliki utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih sebesar Rp 148 miliar. Selain itu, di petitumnya, PT Asuransi Kredit Indonesia juga meminta majelis hakim agar menetapkan RICY berada dalam masa PKPU Sementara selama 45 hari sejak putusan diucapkan.
“Menerima dan mengabulkan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,” bunyi petitum itu.
RICY, bukanlah perusahaan tekstil yang belakangan digugat PKPU ke Pengadilan. Perusahaan tekstil PT Pan Brothers Tbk (PBRX) pun pernah digugat serupa. PBRX ketika itu memiliki utang sebesar US$ 393,3 juta atau sekitar Rp 6,25 triliun. Sebelum itu, gugatan PKPU hingga kepailitan juga pernah menimpa PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) yang kini telah tutup permanen per 1 Maret 2025.
Pada akhir 2024 lalu, Head Customer Literation and Education Kiwoom Sekuritas, Oktavianus Audi, memproyeksikan 2025 ini emiten tekstil masih menghadapi sejumlah tantangan berat. Menurut Oktavianus, tantangan itu salah satunya terjadi karena persaingan ketat dengan barang impor. Ia menyitir data Badan Pusat Statistik yang mencatat hingga November 2024, industri tekstil dan produk pertekstilan atau TPT melakukan impor sebanyak 1,96 juta ton dengan nilai sebesar US$8,07 miliar.
“Jumlah itu naik 5,84 persen secara tahunan,” kata Oktavianus saat dihubungi Tempo, Kamis 26 Desember 2024.
Di sisi lain, kata dia, industri TPT sebenarnya tumbuh positif 7,43 persen secara tahunan per kuartal ketiga 2024. Namun, ada sentiment global yang menurutnya berpotensi jadi pemberat pada 2025 mendatang. “Kami melihat di tahun 2025 akan timbul kekhawatiran di tengah kebijakan tarif Donald Trump, karena ekspor TPT terbesar masih ke Amerika Serikat,” ujarnya.