Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Revisi UU BPK selalu mandek sejak enam tahun lalu.
DPR dan pemerintah bersikap resistan terhadap revisi UU BPK.
Revisi UU BPK bakal merugikan pihak tertentu dan menghapus status quo.
ILHAM Putuhena membuka lembar demi lembar halaman draf rancangan perubahan Undang-Undang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Enam tahun sudah berlalu, tapi pembahasan dokumen yang ia susun bersama anggota tim pemrakarsa undang-undang itu masih terkatung-katung. "Sampai sekarang mandek, tidak terdengar kabarnya lagi,” katanya kepada Tempo pada Rabu, 28 Agustus 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ilham, yang menjabat Perancang Peraturan Perundang-undangan Ahli Muda Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sekaligus Sekretaris Tim Penyelarasan Naskah Akademik untuk Revisi Undang-Undang BPK, menyiapkan draf rancangan revisi UU BPK bersama tim pemrakarsa sejak 2018. Menurut dia, pemerintah sudah membawa dokumen tersebut ke Dewan Perwakilan Rakyat agar masuk program legislasi nasional (prolegnas) prioritas sebagai inisiatif pemerintah pada 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perubahan atau revisi UU BPK adalah usulan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 tentang Pengangkatan Penggantian Antar Waktu terhadap Anggota BPK. Putusan itu adalah buah "gugatan" yang diajukan Bahrullah Akbar, yang saat itu menjadi salah satu anggota BPK. “MK memandang pengisian anggota BPK dengan model penggantian antarwaktu ketika terjadi kejadian luar biasa yang hanya melanjutkan masa jabatan bersifat inkonstitusional,” ujar Ilham.
Demi menaati putusan tersebut, pemerintah harus menyusun rencana perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK. Tim pemrakarsa dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mendapat dukungan penuh dari Moermahadi Soerja Djanegara selaku Ketua BPK kala itu. Ini kemudian menjadi momentum untuk menyisir ulang pasal demi pasal dalam UU BPK guna mendorong reformasi dan penguatan di tubuh lembaga auditor negara itu.
Ilham Putuhena. Dok.BPHN
Salah satu usulan perubahan ada pada pasal 13, tentang syarat menjadi anggota BPK. Pasal itu menyebutkan calon anggota BPK tidak menjadi anggota atau pengurus partai politik paling singkat setelah dua tahun. Sebelumnya, ketentuan tentang jeda jabatan ini tidak ada sehingga tak mengherankan jika banyak politikus aktif yang ikut serta dalam bursa pemilihan anggota BPK. “Semangat perubahan ini untuk menjaga independensi, supaya pengaruh partainya bisa lepas,” ucap Ilham.
Maraknya politikus berulang dalam seleksi calon anggota BPK periode 2024-2029, yang kini sedang berlangsung. Dari 74 kandidat, ada enam yang berstatus politikus. Bahkan, berdasarkan uji kepatutan yang diselenggarakan Dewan Perwakilan Daerah, keenam politikus ini masuk daftar calon yang direkomendasikan.
Ilham mengatakan pasal krusial lain dalam perubahan UU BPK adalah pembentukan panitia seleksi independen yang ditunjuk presiden, seperti pemilihan anggota lembaga tinggi lain. Selama ini seleksi anggota BPK dilakukan DPR dengan mempertimbangkan masukan DPD, seperti yang diatur dalam Pasal 1 dan Pasal 5 UU BPK. “Ini sebagai upaya mendorong keterbukaan dalam tahapan pemilihan, para calon bisa melalui proses seleksi yang obyektif dulu. Kalau saat ini hanya obyektivitas politik, dalam perubahan ingin dibangun obyektivitas sistem.”
Dua pejabat pemerintah dan anggota legislatif mengungkapkan, salah satu penyebab mandeknya rencana revisi UU BPK adalah tidak tercapainya kesepakatan di lingkup internal pemerintah sendiri, terutama mengenai pasal pembentukan panitia seleksi. Pembahasan perubahan pasal demi pasal, termasuk pasal 13, pun buntu. Pada detik-detik terakhir, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akhirnya memutuskan mengeluarkan revisi UU BPK dari Program Legislasi Nasional Prioritas 2019.
Tempo berupaya meminta tanggapan mengenai hal ini kepada Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Deni Surjantoro dan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, tapi tidak berbalas. Sedangkan Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan tidak mengetahui proses tersebut. “Saat itu saya belum bekerja di Kementerian Keuangan,” katanya pada Kamis, 29 Agustus 2024.
Resistansi terhadap rencana revisi UU BPK juga datang dari kalangan legislatif. Sebab, menurut pejabat tersebut, proses legislasi membutuhkan konsensus yang kuat di antara para pembuat kebijakan. Hal itu tak tampak pada rencana perubahan UU BPK. Terbukti, ketika pemerintah tak menyorongkan aturan itu dalam prolegnas, DPR mengambil sikap serupa. Ketidaksepakatan mengenai poin-poin krusial menyebabkan proses legislasi terhenti.
Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center Elizabeth Kusrini mengatakan ketidakjelasan nasib revisi UU BPK memperkuat dugaan adanya tekanan dari pihak-pihak tertentu yang berkepentingan mempertahankan status quo. “Pihak-pihak ini merasa perubahan dalam UU BPK dapat mengurangi pengaruh atau keuntungan mereka.”
Ketentuan dalam wet yang sudah usang itu pun berpotensi menghambat BPK dalam menjalankan tugas pengawasannya secara efektif. Elizabeth mengatakan celah-celah hukum yang tidak diperbaiki dalam UU BPK juga dapat dimanfaatkan oleh pelaku korupsi atau kejahatan lain.
Menurut Elizabeth, baik DPR, pemerintah, maupun BPK sendiri perlu memperkuat koordinasi untuk mencapai kesepakatan mengenai tujuan dan ruang lingkup revisi UU BPK. Keterlibatan para ahli dalam bidang keuangan dan hukum juga krusial guna memastikan perubahan dilakukan secara komprehensif dan sesuai dengan kebutuhan. “DPR perlu menentukan prioritas revisi UU BPK dalam agenda legislatifnya,” tuturnya.
Sejak terpental pada 2019, revisi UU BPK tak sekali pun masuk prolegnas prioritas tahun-tahun setelahnya. Pada Prolegnas Prioritas 2024, revisi aturan ini kembali absen dalam daftar legislasi. Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Achmad Baidowi membenarkan kabar bahwa sampai saat ini belum ada pembahasan mengenai rencana perubahan UU BPK. “Tidak ada penugasan membahas rancangan UU tersebut,” ujarnya kepada Tempo, Kamis, 29 Agustus 2024. Sedangkan Ketua BPK Isma Yatun tak memberi tanggapan tentang rencana revisi UU BPK.
Karena itu, rencana revisi UU BPK masih akan melalui jalan terjal. Koordinator Indonesia Corruption Watch Agus Sunaryanto berujar, status quo UU BPK membuat para pembuat kebijakan kelewat nyaman. Dia menyoroti kewenangan penuh Dewan dalam proses seleksi yang menyebabkan benturan konflik kepentingan kian kuat, terlebih ketika calon anggota BPK yang mengikuti seleksi didominasi politikus yang merupakan "kawan sendiri". “Jika belum ada revisi terhadap UU BPK, selamanya akan begitu, no free lunch, proses saling membantu dan melobi akan selalu ada,” ucapnya.
Jika hal itu terus dibiarkan, integritas lembaga auditor negara berpotensi terus terkikis. Agus mengimbuhkan, kerawanan ini pun dari waktu ke waktu telah terbukti dengan terseretnya sejumlah anggota BPK dalam pusaran kasus korupsi. Yang terbaru adalah Achsanul Qosasi, yang pada November tahun lalu ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam kasus korupsi menara pemancar Internet (BTS) 4G Kementerian Komunikasi dan Informatika. Achsanul, yang sebelum menjabat anggota BPK adalah Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrat, diduga menerima suap Rp 40 miliar.
Perubahan UU BPK menjadi kian mendesak dengan independensi lembaga auditor negara yang sudah berada di titik nadir. Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Misbah Hasan mengatakan substansi krusial dalam revisi UU BPK tak hanya berada pada poin syarat calon anggota hingga proses seleksi, tapi juga terkait dengan struktur organisasi dan sistem kerja lembaga auditor negara.
Misbah mengimbuhkan, kecakapan dan keahlian dalam bidang akuntansi dan keuangan negara juga perlu menjadi syarat utama dalam kriteria penilaian calon anggota BPK. Terlebih, dalam beberapa kasus, penyelewengan terjadi di tingkat auditor utama dan pejabat di bawahnya. “Pimpinan harus menguasai pola pemeriksaan keuangan, apa saja titik kelemahannya."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Terhenti di Proses Legislasi"