Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAWARAN menarik masuk ke telepon seluler Edris Kurbi, peternak sapi di Dusun Manjung, Wonogiri, Jawa Tengah, Sabtu pagi dua pekan lalu. Melalui layanan pesan pendek, seorang kolega menawar sapi potong jenis Simmental miliknya Rp 24 ribu per kilogram bobot hidup untuk dikirim ke Jakarta.
Edris sempat tergiur lantaran sudah tiga tahun ini dagangannya hanya dihargai Rp 20 ribu per kilogram. ”Harga lagi bagus,” kata pengurus Kelompok Peternak Ngudi Rojokoyo, Wonogiri, itu kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Namun, setelah menghitung-hitung, dia akhirnya menolak. Alasannya, lokasi pengiriman terlalu jauh. Akurasi timbangannya juga sukar diawasi.
Ia pun memilih menjual ternaknya ke pasar lokal. Kebetulan harga di Wonogiri juga mulai terkerek gara-gara permintaan sapi meningkat. ”Banyak jagal enggak kebagian,” katanya.
Permintaan sapi potong meningkat akibat kebijakan pembatasan impor daging. Kementerian Pertanian mengurangi pengadaan daging sapi beku asal Australia dan Selandia Baru dari 73,6 ribu ton tahun lalu menjadi 50 ribu ton pada tahun ini. Pembatasan impor ini bagian dari rencana besar swasembada daging sapi pada 2014.
Melalui program ini, target populasi sapi nasional naik menjadi sekitar 17 juta ekor dari sebelumnya 12 juta ekor. Penyediaan daging sapi nasional juga dipatok naik 90 persen menjadi 420,2 ribu ton.
Importir tak puas dengan kebijakan ini. Mereka menuding pemerintah tak punya data valid. Pemerintah mencatat pengurangan impor hanya 23,6 ribu ton. Tapi Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi) punya catatan berbeda. Realisasi impor daging beku tahun lalu 120 ribu ton. Bila tahun ini cuma dijatah 50 ribu ton, berarti ada kesenjangan 70 ribu ton.
Sumber Tempo di kalangan importir menyatakan bahwa perbedaan data mencolok ini menunjukkan urusan pengadaan daging sapi impor masih tak jelas. Seorang importir yang dijatah 500 ton, misalnya, ternyata bisa mendatangkan sapi berlipat ganda dengan berbagai cara. ”Apa sih yang tidak bisa,” katanya. Para importir juga mengeluhkan pembagian kuota impor. ”Pembagian jatahnya tak transparan dan menguntungkan perusahaan tertentu,” ujarnya.
Gara-gara ribut-ribut itu, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Prabowo Respatyo, Kamis dan Jumat pagi pekan lalu, mengumpulkan importir daging di Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta. Menurut Prabowo, pengurangan kuota diterapkan agar daging impor tak membanjiri pasar lokal. Tapi, di akhir pertemuan itu, Kementerian sepakat menghitung ulang pasokan dan permintaan daging. Pembatasan kuota impor daging juga akan dikaji ulang. ”Akan kami benahi lagi,” ujar Prabowo kepada Tempo. Adapun pengurus Aspidi, Thomas Sembiring, enggan berkomentar.
MIMPI Indonesia berswasembada daging tercetus pada 2005. Pemerintah ingin mengulang sukses sebagai negara pengekspor sapi, seperti era 1970-an. Pada 1972, misalnya, Indonesia mengapalkan 14 ribu sapi dan 14 ribu kerbau ke Singapura serta Hong Kong. Tapi target swasembada meleset, lalu diundurkan pada 2010. Cita-cita melipatgandakan produksi sapi kembali menggantung di awang-awang, digeser lagi ke 2014.
Seorang sumber Tempo mengatakan pemerintah tidak siap mewujudkan swasembada daging. Tidak ada strategi jitu meningkatkan produktivitas sapi lokal, termasuk pakan hijau dan bibit unggul. Strategi bujet juga kurang tepat karena lebih banyak difokuskan pada kesehatan hewan, bukan pada peningkatan produktivitas dan populasi. Pemerintah pun tak memiliki data akurat tentang produksi dan konsumsi daging sapi dalam negeri. ”Pencacahan ternak terakhir dilakukan pada 1994,” ujarnya. Sensus akan dilakukan kembali tahun ini.
Program ini, menurut sumber Tempo, biasanya dibarengi dengan pengurangan impor daging beku yang celakanya justru bisa kontraproduktif. Permintaan daging di dalam negeri malah cenderung naik dan akhirnya jomplang alias tak seimbang dengan pasokan daging lokal. Akibatnya, harga daging dan sapi terus melambung.
Walhasil, para tengkulak lalu berburu ke sentra-sentra peternakan sapi, mengiming-imingi dengan harga tinggi. Peternak banyak yang tergiur. Mereka ramai-ramai menjual dan memotong sapi, termasuk sapi-sapi betina. Gawat, ”Populasi sapi lokal kita terancam menyusut, program swasembada dalam bahaya,” katanya (lihat ”Trauma Peternak Sapi”).
Salam Pujianto, tengkulak sapi asal Magetan, Jawa Timur, sampai keliling Magetan, Madiun, Ponorogo, dan Bojonegoro mengumpulkan dagangan sebanyak-banyaknya. Ini lantaran sejak pertengahan tahun lalu, permintaan dari Jakarta meningkat berlipat-lipat. Dalam sepekan, Salam mengirimkan empat truk sapi hidup siap potong. ”Dulu paling banter dua truk sekali pengiriman,” ujarnya.
Toh, Kementerian Pertanian jalan terus mewujudkan megaproyek ini. Menurut Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi, pemerintah telah menyediakan anggaran mendukung swasembada daging. Kementerian ini lalu mengusulkan tambahan Rp 250 miliar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2010. ”Semester kedua baru bisa tersedia,” ujarnya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.
Menurut Bayu, merealisasi program ini sangat sulit. Agar ambisi itu terwujud, mesti ada 17 juta ekor sapi. Saat ini populasi sapi lokal hanya sekitar 12 juta ekor. Minimnya infrastruktur dan pakan juga menjadi kendala besar. ”Ini tantangan berat buat kami,” kata Bayu.
Sapi betina produktif juga hendak diselamatkan. ”Saban tahun, 200 ribu ekor sapi betina produktif dipotong untuk konsumsi,” kata Menteri Pertanian Suswono kepada wartawan di Jakarta pekan lalu. Kementerian Pertanian mengalokasikan dana Rp 700 miliar plus tambahan Rp 250 miliar—bila disetujui Dewan Perwakilan Rakyat—untuk pembelian sapi-sapi betina produktif ini. Mereka akan disalurkan kepada para peternak.
Retno Sulistyowati, Agoeng Wijaya, Supriyantho Khafid (NTB)
Target Swasembada Daging Sapi 2014 (dalam Ribu Ton)
Penyediaan Daging Sapi Lokal
Impor Sapi Bakalan Setara Daging
Impor daging sapi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo