Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Trauma Peternak Sapi

7 Februari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK perlu waktu lama bagi Edris Kurbi, peternak sapi di Dusun Manjung, Wonogiri, Jawa Tengah, menerima tawaran Rp 14,5 juta dari seorang tengkulak. Sabtu pagi dua pekan lalu, si pembeli langsung mengambil sapi pejantan jenis Simmental miliknya. Pengurus Kelompok Peternak Ngudi Rojokoyo, Wonogiri, ini gembira lantaran bisa mengantongi untung besar. Dulu modalnya membeli sapi cuma Rp 11 juta. ”Setelah dikurangi biaya menggemukkan sapi, saya bisa untung hampir Rp 2 juta,” ujarnya kepada Tempo pekan lalu.

Edris bukan satu-satunya peternak di Dusun Manjung. Terletak sekitar 30 kilometer arah selatan Kota Solo, dusun ini terkenal di kalangan tengkulak sapi potong lokal. Hampir semua penduduk di sana memiliki sapi. Peternak rumahan yang awalnya tak terorganisasi mendirikan Kelompok Peternak Sapi Ngudi Rojokoyo pada 1999. Kelompok beranggotakan 25 peternak ini menjadi percontohan karena berhasil mengembangkan peternakan sapi dan penyediaan pakan buatan.

Tapi itu dulu. Kini isi kandang-kandang di Manjung tak seramai lima tahun lalu. Dulu seorang peternak rata-rata memiliki 10-15 ekor sapi, sekarang bisa punya lima sapi saja sudah luar biasa. Semua bermula pada 2006. Peternak sapi di Manjung mulai merugi karena harga jual di tengkulak lebih murah dibanding biaya menggemukkan sapi bakalan. Dua tahun lalu Edris pernah rugi Rp 7 juta gara-gara terpaksa menjual ternaknya itu.

Membanjirnya daging sapi impor murah di pasar-pasar biang penyebab merosotnya harga sapi lokal. Sampai pertengahan tahun lalu, kondisi ini masih terjadi. Meski harga sedang bagus-bagusnya, peternak di Manjung tak lagi punya banyak sapi. ”Masih banyak yang trauma,” ujar Edris.

Menurut Edris, peternak sapi di daerah lain juga masih mengalami trauma. Itu sebabnya, dia tak yakin populasi sapi bisa kembali seperti lima tahun lalu. Upaya membeli sapi bakalan untuk digemukkan juga terbentur modal karena banyak peternak masih tekor. Kini lebih dari separuh sapi tersisa merupakan betina produktif biang pembibitan. ”Masalahnya, tak lebih dari separuh betina ini bisa bunting,” ucap Edris.

Agoeng Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus