Malang benar anggota tim terpadu Departemen Pertanian beserta Departemen Perindustrian dan Perdagangan yang menangani kasus paha ayam impor dari Amerika Serikat (AS). Setelah susah payah bersepakat, keputusannya tiba-tiba mentah lagi, karena pernyataan seorang pe-jabat. "Saya tegaskan, kita tidak pernah mencabut larangan impor paha ayam," begitu kata Dirjen Bina Produksi Peternakan, Sofyan Sudardjat, pekan lalu.
Padahal, tim terpadu sudah sepakat membuka keran impor paha ayam dengan hambatan tarif. Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Suwandi merencanakan bea masuk paha ayam 40 persen—hanya sepertujuh dari bea masuk 270 persen yang diusulkan pihak Departemen Pertanian. Jadi, pernyataan Sofyan, kendati terdengar bak suara kentongan di sunyi malam, tak beranjak dari konsistensi semula, yakni tetap menolak impor paha ayam karena komoditi itu sudah diproduksi di dalam negeri. Tingkat produksi itu mungkin tidak memenuhi kebutuhan pasar, namun hal itu kurang diperhitungkan olehnya. Sofyan bersikukuh pada dua alasan: aspek halal dan aspek keamanan produk. Yang disebut terakhir ini juga diutamakan pihak AS, yang begitu cerewet memperlakukan komoditi peternakan Indonesia—udang, misalnya—yang diekspor ke Negeri Abang Sam.
Akhirnya, suara menentang dari Departemen Pertanian cukup dominan daripada suara rendah dari tim Departemen Perindustrian. Tapi lobi-lobi tingkat tinggi dari AS, kabarnya, masih terus berlanjut. Ketika Sofyan mensyaratkan pengkajian menyeluruh (overall review), Dirjen Kimia, Agro, dan Hasil Hutan Departemen Perindustrian, Zainal Arifin, segera menyetujuinya. "Prinsipnya, kita semua berupaya melindungi konsumen dan peternakan dalam negeri," ujar Zainal.
Untuk menjamin kehalalan yang dituntut Departemen Pertanian, Zainal melibatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI), sedangkan MUI bekerja sama dengan lima Islamic center di AS. Mereka inilah yang mendapat rekomendasi MUI untuk meneliti dan mengawasi kehalalan produk paha ayam yang akan masuk ke Indonesia. "Kendati begitu, pemerintah Indonesia tetap memberlakukan prinsip pengecekan ulang atas sertifikat halal yang diterbitkan Islamic center negara asal," kata Zainal.
Lalu mengapa Sofyan tiba-tiba me-radang? Ia pun menjelaskan bahwa sikapnya itu didasari kepedulian akan nasib peternak yang berjumlah 2,5 juta orang. Jika satu keluarga memiliki empat anggota, "Paling tidak ada 10 juta orang yang hidupnya bergantung pada sektor ini," tuturnya. Jumlah ini akan berlipat bila nelayan yang menyuplai industri pakan, petani pemasok makanan, dan pekerja di sektor tersebut juga dihitung.
Tapi Ketua Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia (PPUI), Alie Abu Bakar, menilai kalkulasi Sofyan tidak logis. Alie mempertanyakan angka 2,5 juta peternak, karena sebagai Ketua PPUI pihaknya mendaftar sekitar 80 ribu kepala keluarga peternak. "Kalaupun satu keluarga beranggotakan 5 orang, jumlahnya baru 400 ribu orang," Alie menandaskan.
Ia juga menyangsikan bahwa impor paha akan mematikan peternakan lokal. Baginya, sangat tidak mungkin AS akan membunuh pasarnya sendiri, manakala Indonesia masih sangat bergantung pada Abang Sam dalam hal bibit ayam unggul, jagung, bungkil, hingga pakan ayam. "Belum terhitung investor mereka yang berinvestasi di bisnis ini di Indonesia," ujarnya.
Kalangan importir paha ayam juga menolak anggapan bahwa usaha mereka akan mengganggu sektor peternakan. "Total impor paha ayam itu tak lebih dari 1,6 persen produksi ayam nasional," kata Tobing Kusnodihardjo dari Bandar Batavia Jaya, yang mengimpor paha ayam AS. Jadi, pandangan bahwa impor itu suatu ancaman dinilainya berlebihan. Tahun lalu Batavia mengimpor 10 kontainer seberat 248 ton. Tertahannya produk itu membuat Tobing merugi sekitar Rp 2,48 miliar.
Dihadapkan dengan rendahnya angka konsumsi ayam di Indonesia, pelarangan itu membuat Tobing heran. Karena rendahnya daya beli, tingkat konsumsi bertengger pada angka 2,4 kilogram per tahun. "Lalu, ketika ada yang murah, konsumen tetap tak bisa beli karena dilarang," katanya pula. Monopolilah, menurut Tobing, yang membuat harga ayam lokal jadi mahal.
Industriwan pengolahan daging juga tidak keberatan dengan paha ayam AS. Menurut Ketua Asosiasi Industri Pengolahan Daging, Juan Permata Adoe, dengan impor itu bahan baku mereka bisa lebih murah daripada bahan baku lokal. "Kita berharap mampu bertarung dengan sosis ayam Prancis, yang saat ini masih diimpor," kata Juan.
Lalu, ada apa di balik pelarangan paha ayam? Tobing curiga, persaingan bisnis lokal justru menjadi penyebab yang sebenarnya. "Tahun lalu, saat paha ayam saya ditahan dengan alasan dilarang, justru mereka sendiri mengimpor ribuan ton," katanya sengit. Mendengar ini, masyarakat tentu kian bingung saja, apalagi ada penolakan Sofyan dan kompromi dari Zainal.
Darmawan Sepriyossa dan Syakur Usman (Tempo News Room)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini