Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bursa Kembali Perkasa

Perdagangan saham meroket, indeks menembus rekor tertinggi selama dua tahun terakhir. Perekonomian mulai membaik?

5 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAJAH-WAJAH sumringah sekarang ini agaknya gampang ditemui di Bursa Efek Jakarta. Seorang pemain saham mengungkap alasan di balik hatinya yang sedang bungah. "Lagi untung besar, man," katanya, seraya tertawa lebar. Pekan-pekan ini ia dan banyak investor lainnya memang tengah mereguk nikmatnya gairah yang tengah bergelegak di bursa Jakarta. Setelah lama terkulai, indeks harga saham gabungan kembali melonjak. Seperti disuntik obat kuat, pada Selasa dua pekan lalu barometer harga saham itu menembus level tertinggi selama dua tahun terakhir: 520,001. Seminggu kemudian, Selasa kemarin, rekor itu masih melesat ke angka 551,607 dengan total transaksi 2,774 miliar lembar saham senilai Rp 1,46 triliun. Saham keping biru seperti Telkom, Astra, Indosat, Gudang Garam, dan Sampoerna diserbu. Harga efek saham unggulan itu melejit gila-gilaan. Saham Telkom, yang pada November lalu cuma seharga Rp 2.300, pekan lalu naik jadi Rp 4.500. Astra juga begitu, dari Rp 2.000 meroket ke kisaran Rp 4.200. Pemborongnya sebagian besar merupakan pemain asing. Sudah sejak awal tahun nama-nama besar yang sempat hengkang (meski tak sepenuhnya hilang), seperti Franklin Templeton dan Fidelity, kembali mengguyurkan dananya. Memang, kenaikan ini belum menandingi masa-masa setelah Presiden Abdurrahman Wahid terpilih. Ketika itu, Januari 2000, indeks menembus 700. Toh, pertumbuhan kali ini jelas tak bisa diabaikan begitu saja karena mengembang hampir 50 persen dibanding indeks yang loyo pada kisaran 380 di awal tahun. Apalagi bila dibandingkan dengan indeks April 2001, saat indeks tenggelam ke titik terendah menjelang Abdurrahman dihantam memorandum (lihat grafik). "Viagra" apa gerangan yang menyuntik bursa kembali perkasa? Analis pasar modal Goei Siauw Hong menyebut suksesnya divestasi BCA dan Paris Club III sebagai faktor penting. Selain itu, membaiknya keamanan dan penangkapan para koruptor juga memunculkan kembali sentimen positif terhadap Indonesia. Faktor global pun ikut berpengaruh. Dihantam tragedi September Hitam, suku bunga dolar Amerika, yang pada awal tahun lalu bertengger di angka 6 persen, ringsek menjadi 1,5 persen saja. Investor asing yang kebingungan mencari tempat basah untuk membenamkan uangnya mulai mengincar alternatif lain. Mereka lantas melirik saham di Asia, yang lagi murah-murahnya—yang dinilai bisa bergerak naik dan menjanjikan keuntungan berlipat. Dimulai dari bursa kakap seperti Korea dan Taiwan, gelombang duit asing lalu menggelontor juga ke market TIP (Thailand-Indonesia-Filipina). Jadi, kecenderungan regional lebih berperan? Tidak juga, menurut Hong. Daya tarik domestik tetap penting. Bursa Asia menanjak cuma sampai pertengahan Maret. Setelah itu, Jakarta melaju sendirian. "Ini memang kombinasi faktor lokal dan regional," kata Hong. Tapi jangan kelewat berharap banyak. Menurut Kepala Riset Ciptadana Sekuritas, Eddy S. Widjojo, melesatnya indeks belum bisa dijadikan indikator membaiknya perekonomian. Ini boleh jadi cuma aksi ambil untung sesaat. Melahap saham unggulan sejak Januari, pemain asing telah untung berlipat kali. Ditambah profit dari penguatan rupiah, mereka tak akan berlama-lama memegang sahamnya. Meski demikian, Eddy masih optimistis indeks bisa menanjak ke level 600 sampai pertengahan tahun ini. Kepala Riset ING Barings Securities, Laksono Widodo, bahkan yakin indeks pada 600 bisa terus bertahan sampai akhir tahun. Ia melihat ada cukup ruang untuk pergerakan naik. Harga saham di negeri ini, misalnya, masih jauh lebih murah dibanding di bursa Asia lainnya. Prediksi bakal membaiknya perekonomian Amerika di awal semester kedua juga bakal jadi pendorong. Namun, supaya bisa sampai ke level itu, kata Hong, dibutuhkan lebih dari sekadar reli likuiditas seperti yang tengah berlangsung sekarang. Peningkatan pada fundamental perekonomian—pertumbuhan ekonomi dan rupiah yang anteng—adalah kuncinya. Tanpa itu, gejala ini cuma sekadar gelembung yang akan segera kempis. Selain itu, Laksono menambahkan, cuaca politik juga masih bisa menjungkirbalikkan alur cerita. Kalau panas kembali menjalar pada sidang tahunan Agustus depan, indeks tidak mustahil bakal kembali meleleh. Karaniya Dharmasaputra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus