Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Risiko peningkatan kredit macet membayangi berakhirnya restrukturisasi kredit Covid-19.
Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesa (AKUMANDIRI) Hermawati Setyorinny berharap pemerintah tetap meneruskan program restrukturisasi kredit karena masih banyak UMKM yang belum pulih dari pandemi.
Sejumlah perbankan telah menyiapkan diri menjelang berakhirnya restrukturisasi kredit.
KEBIJAKAN RESTRUKTURISASI kredit dampak pandemi Covid-19 segera berakhir pada akhir bulan ini. Berakhirnya program keringanan tersebut diproyeksikan menambah risiko peningkatan kredit macet atau non-performing loan (NPL) perbankan. Belum lagi portofolio kredit yang awalnya direstrukturisasi bakal masuk dalam kategori kredit macet setelah program tersebut berakhir.
Kredit macet alias NPL gross perbankan pada Januari 2024 tercatat naik 2,35 persen dibanding pada bulan sebelumnya yang hanya 2,19 persen. Kenaikan kredit macet ini terjadi seiring dengan pertumbuhan kredit perbankan. Kredit perbankan per Januari 2024 tumbuh 11,83 persen atau lebih tinggi dibanding pada Desember 2023 yang sebesar 10,38 persen.
Pengamat perbankan dan praktisi sistem pembayaran Arianto Muditomo memprediksi kredit macet pada segmen UMKM meningkat seiring dengan berhentinya program restrukturisasi. Dia khawatir kualitas kredit menjadi negatif karena UMKM masih dalam tahap pemulihan dari dampak pandemi.
Pada sisi suplai, meningkatnya kredit macet akan menurunkan kualitas aset bank yang menyalurkan kredit kepada UMKM. “Hal ini dapat menyebabkan bank menjadi lebih selektif dalam menyalurkan kredit kepada UMKM sehingga akses UMKM terhadap kredit semakin terbatas,” katanya kepada Tempo, kemarin.
Restrukturisasi merupakan keringanan pembayaran cicilan pinjaman di bank dan perusahaan pembiayaan atau leasing. Namun restrukturisasi bukan berarti menghapus utang, melainkan hanya memberi keringanan untuk membayarnya.
Adapun bentuk-bentuk keringanan tersebut meliputi penurunan suku bunga, perpanjangan jangka waktu, dan pengurangan tunggakan bunga. Kemudian ada penambahan fasilitas kredit atau pembiayaan hingga konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara.
Baca Juga Infografis:
Nilai kredit restrukturisasi Covid-19 per Januari 2024 tersisa Rp 251,21 triliun, turun Rp 14,57 triliun dibanding per Desember 2023 yang sebesar Rp 265,78 triliun. Adapun nasabah peserta program pada Januari 2024 tercatat turun menjadi 977 ribu dibanding pada bulan sebelumnya 1,04 juta nasabah.
Menurut Arianto, dalam jangka menengah ke panjang, kredit macet yang meningkat setelah berakhirnya restrukturisasi kredit Covid-19 bisa menekan pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, UMKM merupakan salah satu sektor penting dalam perekonomian Indonesia. Terhambatnya akses UMKM terhadap kredit, kata dia, dapat menahan pertumbuhan ekonomi nasional.
Meski demikian, berhentinya kebijakan pelonggaran kredit juga memiliki sisi positif, yakni menjaga stabilitas sistem keuangan. Perbankan, kata dia, mencegah naiknya angka NPL sehingga investor semakin percaya atas kualitas aset real yang dikelola bank.
Pembuatan tas kamera di Manggarai, Jakarta, 16 Juli 2020. TEMPO/Tony Hartawan
UMKM Berharap Restrukturisasi Kredit Berlanjut
Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (AKUMANDIRI) Hermawati Setyorinny berharap pemerintah tetap meneruskan program restrukturisasi kredit karena masih banyak UMKM yang belum pulih dari masa pandemi. Dia memperkirakan 40 persen UMKM yang kinerjanya kembali membaik.
“Pulih saja susah. Apalagi masalah UMKM saat ini semakin banyak, seperti kenaikan harga-harga, banjirnya produk impor, serta stok bahan baku yang tidak stabil,” kata Hermawati. Selain itu, dia menambahkan, masih banyak UMKM yang tidak mengetahui program restrukturisasi kredit.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manaf Pulungan menilai berakhirnya restrukturisasi kredit Covid-19 tak perlu dicemaskan lantaran kondisi perbankan cukup tangguh. Musababnya, rasio cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) terhadap kredit terus menunjukkan peningkatan dibanding pada era pandemi.
CKPN merupakan cadangan yang wajib yang disiapkan bank untuk mengantisipasi penurunan nilai akibat peristiwa yang menggerus arus kas. Pada masa pandemi, pemerintah meminta perbankan meningkatkan CKPN untuk merespons naiknya risiko kredit.
Abdul menuturkan CPKN perbankan pada 2023 mencapai Rp 342 triliun, dua kali lipat dibanding pada 2019 yang sebesar Rp 170,65 triliun. “Indikasinya, persepsi risiko kredit turun. Perbankan juga sudah lama menyiapkan mitigasi ketika program restrukturisasi berakhir,” katanya kepada Tempo, kemarin.
Menurut Abdul, perbankan juga gencar berekspansi mencari kredit baru sehingga komposisi kredit restrukturisasi menyusut dari total kredit perbankan. Kredit restrukturisasi per Januari 2024 tersisa Rp 251,21 triliun, turun Rp 14,57 triliun dibanding pada Desember 2023 yang sebesar Rp 265,78 triliun. Sedangkan kredit perbankan per Januari 2024 mencapai Rp 7.058 triliun atau tumbuh 11,83 persen dari bulan sebelumnya, Rp 7.090 triliun.
Bukan hanya itu, likuiditas perbankan juga terbilang memadai, yang tecermin dari rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga per Januari 2024 sebesar 27,79 persen, lebih tinggi dari batas minimal yang ditetapkan pemerintah, yakni sebesar 10 persen.
“Sumber dana masih tumbuh. Jadi, uang bank masih banyak. Restrukturisasi cukup sampai bulan ini tidak apa-apa. Meski ada risiko kredit macet, perbankan sudah siap,” katanya.
Dalam konferensi pers rapat dewan komisioner bulanan pada awal Februari lalu, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Edina Rae mengatakan, secara umum, perkembangan industri perbankan melanjutkan pertumbuhan positif. “Kredit restrukturisasi melanjutkan tren penurunan, seiring dengan pulihnya pertumbuhan perekonomian nasional,” tuturnya.
Restrukturisasi kredit Covid-19 awalnya berakhir pada Maret 2023. Tapi OJK memperpanjang setahun secara terbatas pada tiga segmen dan wilayah tertentu. Tiga segmen yang diperpanjang restrukturisasinya itu adalah UMKM, penyediaan akomodasi dan makan-minum, serta beberapa industri yang menyediakan lapangan kerja besar.
Abdul Manap mengakui kebijakan restrukturisasi yang berlangsung sejak 2019 menguntungkan perbankan serta sektor UMKM. Dari sisi perbankan, kebijakan tersebut mengelola risiko kredit agar angka NPL tidak naik signifikan sehingga persepsi investor dapat terjaga. Walhasil, perbankan dapat menghindari krisis di sektor keuangan yang secara keseluruhan dapat melalui masa-masa pandemi dengan baik.
Adapun dari sektor UMKM, restrukturisasi ikut menahan kinerja agar tidak semakin jatuh imbas pandemi Covid-19. “Hanya, dampak ke UMKM belum jelas karena belum ada data progresnya.”
Dia menuturkan seharusnya kinerja UMKM dapat melenting lebih tinggi karena adanya keringanan kredit. Namun, melihat data statistik sistem keuangan dari Bank Indonesia, Abdul menilai kebijakan pelonggaran tidak memperbaiki sektor UMKM secara signifikan. Komponen kredit usaha menengah terhadap total kredit UMKM menyusut dari 2019 sebesar 43,54 persen menjadi 23,06 persen. Sedangkan komponen kredit usaha mikro naik 25,53 persen menjadi 45,36 persen. “Bisa jadi kelas menengah bangkrut dan mulai dari awal, usaha mikro. UMKM kita turun kelas.”
Aktivitas pelayanan perbankan di Bank BRI, Jakarta, 29 Juli 2022. TEMPO/Tony Hartawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara itu, sejumlah perbankan telah menyiapkan diri menjelang berakhirnya restrukturisasi kredit. Bank BCA, misalnya. Portofolio kredit restrukturisasi BCA mencatatkan penurunan, seiring dengan pemulihan bisnis debitor. Executive Vice President Corporate Communication and Social Responsibility BCA Hera F. Haryn mengatakan, dari total jumlah restrukturisasi kredit saat ini, didominasi oleh kategori lancar (kolektibilitas 1). Artinya, tidak ada tunggakan serta sesuai dengan persyaratan kredit.
Menurut dia, rasio kredit bermasalah BCA terjaga di angka 1,9 persen pada 2023. Meski tren kualitas kredit membaik, BCA tetap memiliki CKPN yang memadai. NPL coverage BCA sebesar 234,1 persen. Hera mengatakan BCA selalu meninjau biaya pencadangan sejalan dengan perkembangan kualitas aset dan kondisi ekonomi.
Adapun PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI telah menyiapkan pencadangan yang cukup dan memadai. Direktur Utama BRI Sunarso mengatakan perseroan mencatatkan penyusutan nilai kredit terkena dampak Covid-19 yang direstrukturisasi. Per Desember 2023, outstanding kredit restrukturisasi Covid-19 di BRI mencapai Rp 54,5 triliun, menyusut dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 107,2 triliun.
“Apabila dihitung dari puncaknya, sebesar Rp 210 triliun itu sudah keluar dari status restrukturisasi sehingga sekarang outstanding-nya tinggal Rp 54 triliun,” ujarnya.
Sementara itu, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI mencatatkan portofolio kredit restrukturisasi per Desember 2023 tersisa Rp 27 triliun atau 3,9 persen dari total kredit BNI. "Sudah jauh lebih rendah dari Desember 2020 yang saat itu mencapai 18,6 persen dari total kredit," kata Corporate Secretary BNI Okki Rushartomo Budiprabowo pada 7 Maret lalu.
Dia menjelaskan, perbaikan restrukturisasi kredit pada masa Covid-19 berasal dari seluruh segmen dan berbagai sektor industri. BNI, kata dia, mengkaji kondisi dan prospek debitor dalam portofolio restrukturisasi Covid-19 secara berkala.
Okky menuturkan berakhirnya kebijakan restrukturisasi Covid-19 setidaknya akan berdampak pada kualitas aset milik BNI. "Karena sebagian besar nasabah tersebut sudah mampu membayar kewajiban dengan tingkat suku bunga komersial," ujarnya. Menurut dia, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang resiliensi di kisaran 5 persen akan membantu pemulihan nasabah restrukturisasi ke depan. "Total kredit yang kami restrukturisasi dengan stimulus Covid-19 terus menurun signifikan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Annisa Febiola dan Moh Khory Alfarizi berkontribusi dalam penulisan artikel ini