Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) mengkritisi draft rancangan peraturan pemerintah (RPP) terkait pengamanan zat adiktif produk tembakau. Aturan yang sedang dirancang oleh Kementerian Kesehatan tersebut merupakan produk turunan dari Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan yang baru saja disahkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
P3M berpendapat, rancangan aturan tersebut seolah mensejajarkan hasil industri tembakau seperti halnya minuman beralkohol dan narkotika. “Draf RPP 2023 tersebut justru membuat semakin banyak ‘larangan’ (restriksi) secara masif dan eksesif. Bahkan, dalam beberapa pasal RPP, produk tembakau diposisikan lebih ‘ terlarang’ bagi publik dibandingkan Miras, Narkoba, dan psikotropika,” kata Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, Sarmidi Husna dalam acara Halaqoh Nasional bertajuk “Telaah Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pelaksanaan UU Kesehatan 2023 terkait Pengamanan Zat Adiktif” di Jakarta pada Kamis, 12 Oktober 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sarmidi menerangkan bahwa pelarangan tersebut terlihat dalam draf pasal 441 tentang larangan display produk tembakau di ecommerce serta pelarangan penjualan eceran. Kemudian pasal 449 tentang larangan beriklan dengan produk tembakau, pasal 452 tentang larangan sponsorship produk tembakau untuk kegiatan sosial, dan pasal 453 tentang larangan peliputan dan publikasi media menggunakan produk tembakau.
Lebih lanjut, Sarmidi menegaskan bahwa pasal tersebut bertentangan dengan 7 putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengkategorikan produk tembakau sebagai produk yang legal. Putusan MK yang dimaksud antara lain putusan MK No.54/PUU-VI/2008, putusan MK No.6/PUU-VII/2009, dan putusan MK No.19/PUU-VIII/2010. Selain itu juga putusan MK No.34/PUU-VIII2010, putusan MK No. 57/ PUU-IX/2010, putusan MK No.71/PUU-XI/2013, serta putusan MK no. 81/ PUU-XV/2017.
“Draft RPP Pemerintah yang menjadi turunan pasal 152 UU Kesehatan 17/203 jelas bertentangan dengan tujuh putusan MK,” jelas Marsudi.
Dalam diskusi tersebut juga disoal pasal 457 ayat 7 dalam draft RPP kesehatan. Pasal tersebut berisi mengenai pemberian mandat pemerintah kepada Kementerian Pertanian untuk memaksa petani tembakau melakukan diversifikasi produk tanaman dan alih tanam ke produk pertanian lainnya. “Ini jelas sangat merugikan petani,” ujar Sarmidi Husna.
Sarmidi juga menerangkan bahwa kontribusi ekonomi pertembakauan cukup besar untuk negara. Pendapatan cukai 2022 mencapai Rp 218,6 Triliun. Industri hasil tembakau merupakan komoditi tunggal yang memiliki kontribusi terbesar bagi penerimaan negara dan menyumbangkan devisa sebesar US$ 1,1 Miliar.
Dalam menyikapi hal tersebut, P3M kemudian mengundang sejumlah pihak kementerian serta beberapa aliansi masyarakat untuk duduk bersama membahas persoalan tersebut. Turut hadir dalam acara itu Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau Kementerian Kesehatan Benget S, Ketua Tim Kerja Tanaman Semusim Lain Kementerian Pertanian Jakup Binting, dan Direktur Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM Cahyani Suryandani.
Dalam Halaqoh Nasional tersebut P3M serta jejaring aliansi masyarakat sipil, asosiasi petani dan industri tembakau, serta sejumlah peserta diskusi lainnya menyepakati beberapa poin sikap terkait RPP UU Kesehatan, antara lain:
- Pembahasan RPP pelaksanaan UU Kesehatan 2023 terkait Pengamanan Zat Adiktif harus melibatkan partisipasi publik secara luas dan berimbang dan mengeluarkan pasal-pasal terkait Pengamanan Zat Adiktif dari draft RPP 2023 karena draft tersebut bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dan UU Perkebunan, serta berpotensi mematikan kelangsungan ekosistem dan tata niaga pertembakauan
- Peraturan pemerintah tentang pelaksanaan UU Kesehatan 2023 terkait pengamanan zat adiktif merupakan kebijakan pemerintah yang harus mengacu pada prinsip atau kaidah kemaslahatan umat secara umum, yaitu tasharruful imam ‘ala al-ra‘iyyah manuthun bil mashlahah (kebijakan negara atau pemerintah harus mengacu pada kemaslahatan).
- Perumusan RPP harus mengacu pada prinsip-prinsip pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhineka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam Hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan sebagaimana amanat dalam pasal 6 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
- Pemerintah bersama multi-stakeholder merumuskan pasal-pasal alternatif terkait rancangan peraturan pemerintah (RPP) yang tidak diskriminatif serta lebih berkeadilan dan berkedaulatan.
- P3M sebagai inisiator Halaqoh Nasional mendorong terbangunnya jejaring aliansi masyarakat sipil, asosiasi, akademisi, serta tokoh agama untuk advokasi kebijakan tembakau di pusat dan daerah.
AKHMAD RIYADH