Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Titah dari Jepang

Bbrp perusahaan jepang mulai menginstruksikan perusahaan patungan mereka di luar jepang untuk segera mengisi kekosongan pasar yang terpaksa mereka tinggalkan. indonesia meningkatkan ekspor ke ln. (eb)

7 Februari 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAIKNYA nilai yen terhadap dolar Amerika, yang pekan lalu menembus batas 150 yen, membuat pengusaha Jepang semakin terjepit. Bukan hanya di pasar dalam negeri yang kini tidak bisa mereka kuasai, tapi juga di pasar ekspor. Buktinya, beberapa perusahaan pemegang merk terkenal mulai menginstruksikan perusahaan patungan mereka di luar Jepang segera mengisi kekosongan pasar yang terpaksa mereka tinggalkan. Bridgestone Indonesia (BI), misalnya, mulai menggenjot ekspornya sejak tahun lalu. "Kami mendapat titah langsung dari pemegang merk untuk mengisi pasar Bridgestone di Libanon," kata Ch. Soedargo, Direktur BI. Menurut Soedargo, kesempatan menjual roda bajak ke Libanon itu karena Bridgestone Jepang tidak lagi mampu bersaing akibat biaya produksinya naik. Sejak dua tahun lalu, BI juga telah menjual produk bannya ke Australia Singapura, dan Kaledonia Baru. "Hanya saja, ketika itu nilainya sangat kecil," ujarnya. Tapi, ketika yen mulai menguat awal tahun lalu, ekspor BI meningkat menjadi sekitar US$ 700.000. Untuk tahun ini, BI berusaha lebih efisien, dengan menaikkan kapasitas produksinya dari 1,8 juta ban menjadi 2,5 juta. Dan tahun ini, ekspornya diduga bisa mencapai US$ 1,5 juta. Soedargo begitu yakin target ekspor 1987-nya akan tercapai. "Sebab, kini, pemegang merk Jepang sudah membolehkan kita ekspor ke mana saja, asal mampu," ujarnya. Saingan dari Korea dan Taiwan memang cukup berat. Kesulitan mencari jadwal kapal yang bagus juga tak pernah reda. Di tengah situasi itu, insentif ekspor yang diberikan pemerintah berupa pengembalian dan pembebasan bea masuk untuk bahan baku impor dianggap sangat tidak menarik. Ini disebabkan sangat banyaknya ragam bahan baku kimia yang diimpor BI. "Kami tidak pernah mengambil pengembalian bea masuk itu karena perhitungannya rumit dan nilainya tidak besar," ujar Soedargo. Itulah sebabnya untung yang diambil BI tidak termasuk besar. Hanya sekitar 2% dari harga jual. Mengapa? "Biasa, untuk penjualan ekspor 'kan harganya harus murah 25% dibanding harga jual di dalam negeri," jawabnya. Untung, September lalu terjadi devaluasi, sehingga pendapatan rupiah BI (pendapatan terbesar) bisa digunakan menutup keuntungan dari ekspor yang kecil. Yuasa Battery Indonesia, yang memproduksi aki, juga punya pengalaman yang sama. Hanya saja, pabrik aki yang 60% sahamnya dikuasai oleh Yuasa Jepang, Mitsui, dan Marufuku ini baru pertama kali melakukan ekspor, pertengahan Desember lalu, dengan 2.000 unit aki mobil senilai US$ 24.000, ke Dubai. "Kami baru melakukan ekspor, karena Yuasa Jepang Oktober lalu mencabut perjanjian yang dibuat pada 1978," kata K.S. Gani, Direktur PT Santi Yoga (agen tunggal Yuasa). Memang, YBI, yang mulai berproduksi 9 tahun lalu itu, dalam perjanjiannya, dibuat hanya untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Tapi, dengan menguatnya yen, Yuasa Jepang tak lagi mampu mengekspor. "Dan akhirnya mereka memerintahkan kami menggantikan posisinya di pasar internasional, agar merk Yuasa tetap dikenal," ujar Gani. "Pokoknya, kesempatan ekspor." Hanya saja, harga yang dipasang YBI masih belum bisa bersaing. Sebab, mana mungkin dengan produksi 330.000 unit per tahun YBI bisa menyaingi pabrik aki di Korea atau Taiwan, yang produksinya rata-rata 2,5 juta unit - kendati harga ekspor yang dipasangnya ke Dubai itu sudah 30% lebih murah dibanding dengan harga jual lokal. Tidak hanya itu yang menjadi hambatan. Masih tingginya nilai komponen impor, sampai 60%, juga menyebabkan biaya produksi YBI menjadi tinggi. Untuk memperkecil kerugian atas ekspor itu, YBI berniat menambah kapasitas produksinya menjadi satu juta unit setahun. Usaha ekspor ke pasar Amerika dan Australia kini mulai dirintisnya. Kedua negara itu diduga bisa menyerap masing-masing 500.000 unit. "Pembicaraan yang dilakukan dengan pembeli dari kedua negara itu tampaknya positif," ujar Gani. Di Australia sendiri, aki buatan Indonesia sebenarnya bukan wajah baru. PT GS Battery sudah melakukan ekspor ke Negeri Kanguru itu sejak 1986, 70.000 unit. Berbeda dengan YBI, GS melakukan ekspor karena, "Pasar di dalam negeri sudah terlalu jenuh," kata Ronald Tanga, Dirut GS. Tapi, tampaknya, jalan GS lebih laju (mungkin karena lebih dulu). Pada 1986, ekspornya tercatat US$ 1 juta, dan untuk tahun ini diperkirakan mencapai US$ 2,5 juta. Memang, lamanya pengalaman ekspor akhirnya menentukan laju tidaknya dalam meraih kesempatan berikut. National Gobel, misalnya, telah merintis ekspor sejak 1976, meskipun jumlahnya sedikit-sedikit. Hasil ekspornya selama sembilan tahun, hingga 1985, hanya US$ 2 juta. Tapi, ketika yen mulai menguat, ekspornya naik. Pada 1986 saja tercatat US$ 1 juta. Tahun ini Gobel memperkirakan ekspor US$ 8 juta. Tentu bukan hanya nilai yang melonjak. Tapi jenis barang yang diekspornya pun semakin banyak. Semula dengan tujuan AS, Afrika, dan Timur Tengah, National Gobel hanya mengekspor radio, radio kaset, dan pengeras suara. Tapi, sekarang, selam negara tujuannya bertambah dengan Fiji, Australia, dan Jepang, jenis produk yang dijualnya pun bertambah dengan televisi, batu batere, dan komponen elektronik. "Saya kira, memang sekaranglah saatnya bagi perusahaan yang joint dengan Jepang untuk melakukan ekspor," kata Jamien A. Tahir, Wakil Presdir PT National Gobel. Perusahaan patungan Matsushita -- Jepang dengan Gobel ini tampaknya bernasib baik. Sebab, selain mampu meningkatkan ekspor, National Gobel juga berhasil membujuk partner-nya agar menambah penyertaan modalnya untuk menambah kapasitas produksi batu batere. "Pokoknya, kemampuan ekspor sudah ada, tinggal dorongan dari pemerintah yang lebih banyak. Misalnya seperti SE dulu," kata Jamien. Diakui Jamien, memang, sudah ada beberapa kebijaksanaan Pemerintah yang bertujuan mendorong ekspor nonmigas. Tapi itu semua belum memadai, dan belum bisa dijadikan tombak untuk bersaing. Apalagi kalau berhadapan dengan negara-negara industri baru, seperti Korea dan Taiwan. Buktinya, televisi hitam-putih yang diekspor National Gobel dengan harga US$ 55/unit tersaingi Taiwan yang hanya memasang tarif US$ 45/unit. "Nah, kalau hanya didorong oleh pengembalian bea masuk, ya, tidak kena," ujarnya. Budi Kusumah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus