LEMBAGA perbankan sedang berlomba menyedot dana rupiah dari
tangan masyarakat. Panin Bank, misalnya, telah menaikkan suku
bunga deposito berjangka dari 17,5 0/! jadi 18% untuk simpanan
rupiah minimlal Rp 2 juta setahun.
Langkah serupa, dengan mengumumkan lewat iklan, juga ditempuh
sejumlah bank swasta, yang tampaknya ingin memupuk dana lebih
kuat - sekalipun dengan biaya mahal. Bank Perniagaan Indonesia
(BPI), umpamanya, berani memberikan bunga 18,5% untuk simpanan
rupiah minimal Rp 5 juta, yang sudah dipasangnya sejak beberapa
tahun terakhir ini. "Bank sekarang memang sedang bersaing ketat
untuk mendapatkan rupiah," kata James Riady, 26 tahun, Dirut
BPI. "Sejak pemerintah tahun ini menjalankan anggaran ketat,
rupiah mulai sulit diperoleh." (TEMPO, 26 Februari).
Sejak pembelian barang dengan nilai Rp 500 juta ke atas harus
dikendalikan oleh pemerintah, suplai uang ke masyarakat dari
instansi pemerintah memang terasa berkurang. Meningkatnya
penggunaan jasa perbankan oleh masyarakat, menurut pihak Bank
Indonesia, juga besar pengaruhnya dalam mengurangi posisi uang
kartal (tunai) yang beredar di masyarakat. Jika 10 tahun lalu
peranan uang kartal mencapai 56% maka triwulan kedua Januari
tahun ini peranannya tinggal 38%, atau meliputi jumlah Rp Z,9
trilyun. Sebaliknya uang giral yang berada dalam berbagai
bentuk dana di perbankan, jumlahnya kini mencapai Rp 4,7
trilyun, atau 62% dari uang beredar.
Tapi ketika PT Jasa Marga, dan Bank Pembangunan Indonesia awal
tahun ini menerbitkan obligasi yang meliputi nilai Rp 48 milyar,
tekanan terhadap posisi uang kartal mulai kelihatan. Tekanan itu
makln bertambah sesudah tahun ini muncul dugaan, rupiah akan
mengalami depresiasi lebih kencang. Sehingga banyak perusahaan
terkemuka memperkirakan nilai tukar rupiah untuk setiap US$
akhir tahun ini akan menapai Rp 800.
Pendeknya obligasi (dengan bunga 15,5 %), dollar AS (dengan kurs
Rp 700 lebih di banknotes), dan sertifikat saham perusahaan,
kini dianggap sebagai alat investasi cukup menguntungkan.
Perubahan sikap pemegang rupiah itu, yang mulai tampak menonjol
sejak pertengahan tahun lalu, telah mengurangi dana rupiah,
terutama pada deposito berjangka dan rekening koran.
Posisi deposito berjangka pada seluruh bank, misalnya, turun
dari sekitar Rp 2 trilyun (November 1982) jadi Rp 1,9 trilyun
pada Januari lalu. Juga posisi rekening koran turun dari Rp 3,2
trilyun pada Juni 1982 jadi Rp 2,5 trilyun Januari lalu.
Bagi Dirut BNI 1946 Somala Wiria, munculnya obligasi sebagai
sebuah instrumen penarik dana dengan bunga menarik (15,5% selama
5 tahun), dirasakan sebagai mengancam dana (rekening koran,
deposito berjangka, dan tabungan) banknya. Jadi "jika dibiarkan,
maka dana bank saya akan banyak lari ke obligasi," katanya.
Untuk mengurangi tekanan itu, dia akan meminta izin Menteri
Keuangan Ali Wardhana untuk turut menerbitkan obligasi. "Kalau
saya berhasil menarik Rp 50 milyar saja, cukup lumayan,"
katanya.
Sebagai bank pemerintah, BNI 1946 tidak bisa menaikkan bunga
deposito sesukanya. Bunga deposito berjangka 24 bulan, misalnya,
sejak 1978 masih tetap saja 15%. Sebagai kompensasi, pemerintah
memberikan subsidi bunga 4,5% bagi deposito 15%, dan 1,5% bagi
deposito 12% - yang berjumlah Rp 11 milyar pada tahun anggaran
lalu. Bunga rendah untuk deposito rupiah bank pemerintah itu,
kata pihak BI, 'lmemang kurang menarik." Karena itulah
kesempatan memupuk dana lebih besar buat bank pemerintah tahun
ini tampaknya akan berkurang.
Bagaimana bank swasta? Manajemen Panin Bank tak terlalu
oDtimistis bisa mengumpulkan rupiah lebih besar. Jika tahun lalu
dana deposito rupiahnya mencapai Rp 55 milyar, tahun ini Panin
memproyeksikan Rp 45 milyar. Tapi untuk valuta asing bank itu
mengharapkan bisa menghimpun US$ yang setara dengan Rp 45
milyar, naik dari Rp 30 milyar. Tapi jumlah itu belum
diperhitungkan depresiasi rupiah terhadap dollar. "Berat memang
bagi bank untuk mencari rupiah saat ini," kata Fuady Mourad,
asisten wakil Dirut Panin Bank.
Dalam situasi seperti itu Bank of Tokyo tetap tenang, suku bunga
deposito rupiahnya tetap 17% setahun. Hanya saja untuk
menghimpun dana secara efektif BOT telah membentuk Komite
Kelompok Pemasaran (resmi), dan Komite Kampanye Deposito (tak
resmi) yang dilakukan secara suka rela oleh karyawan. Komite
pertama ditugasi menelepon dan mendatangi relasi, sementara
komite kedua bertugas mengajak tetangga, atau sanak saudara
untuk menanam uang di BOT. Hasilnya "ternyata efektif sekali,
komite kedua misalnya, berhasil memasukkan dana Rp 500 juta dari
sasaran Rp 200 juta," ujar Ali Yugo, asisten manajer umum BOT.
Dengan cara itulah manajemen BOT berusaha membangkitkan perasaan
memiliki bankitu pada 200 karyawannya yang bekerja di tiga
lantai Wisma Nusantara, Jakarta - meskipun untuk itu mereka tak
memperoleh komisi sepeser pun. "Mungkin ini khas Jepang, yang
tidak ditemui di bank lain," ujar Ali pula. Dengan usaha kedua
komite itu, bank swasta Jepang itu mengharapkan dana deposito
yang masuk tahun ini akan mencapai 15% dari jumlah total
pinjaman yang diberikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini