KETUA delegasi Indonesia dalam sidang darurat OPEC di London,
Prof. Dr. Subroto, diperkirakan akan tiba kembali di Jakarta
pada hari Rabu ini. Di hari yang sama pula, Subroto kabarnya
akan kembali ditunjuk oleh Presiden sebagai menteri pertambangan
dan energi RI. Itu berarti ia pula yang akan meminta Pertamina
untuk dalam waktu dekat mengumumkan harga-harga baru minyak
Indonesia.
Dirut Pertamina Joedo Sumbono dalam pertemuan dengan sejumlah
kecil wartawan dua pekan lalu sedikit banyak sudah memberikan
keterangan tentang hasil kunjungannya ke Jepang. Menurut Joedo,
diferensial minyak jenis Minas (Sumatran Liht Crude) sebesar
US$0,53 akan menjadi leih kecil lagi. Dirut Pertamina itu belum
mengumumkan berapa persisnya. Tapi menurut sumber-sumber pembeli
yang dihubungi koresponden TEMPO di Tokyo, Seiichi Okawa, Jepang
kabarnya menginginkan agar harga minyak Minas itu disamakan
dengan harga ALC.
Jenis ALC, seperti diakui Menko Ekuin Prof. Dr. Widjojo
Nitisastro di depan DPR akhir Februari lalu, memang merupakan
saingan Minas. Minyak Arab Saudi itu diangkut ke Jepang dengan
kapal-kapal tangki (tanker) raksasa, berkapasitas antara 150.000
sampai 250.000 ton lebih. Sedang minyak Indonesia masih diangkut
dengan kapal tangki biasa, antara 80.000-100.000 ton. Maka biaya
pengangkutan dari Arab Saudi pun jatuh lebih murah dibandingkan
dengan biaya angkutan dari Indonesia ke Jepang.
Selain ALC, minyak jenis Minas masih disaingi oleh jenis Murban
dari Persatuan Emirat Arab dan Iranian Light, serta minyak Tah
Chin dari RRC. Jepang kini mengimpor minyak Tah Chin antara
9,5-10 juta kiloliter setahun dari RRC. Selain itu, pemakaian
LNG untuk sumber energi listrik di Jepang - yang banyak diimpor
dari Indonesia - dengan sendirinya mengurangi kebutuhan Jepang
akan minyak Indonesia.
Beberapa sumber pengilangan minyak di Jepang memperkirakan akan
terjadi penguranan impor minyak, sekalipun harga patokan sudah
turun dengan 5 dollar, akibat masih lesunya ekonomi di Jepang.
Diperkirakan impor minyak mereka dari Indonesia akan berkurang
dengan 60.000 barrel sehari, menjadi sekitar 400.000 barrel
sehari dalam tahun ini.
Menurut statistik MITI (Departemen Perdagangan dan Industri
Internasional Jepang), seluruh impor minyak mentah mereka pada
1981 mencapai 230 juta kiloliter. Sebanyak 15,8% atau 36 juta
kiloliter datang dari Indonesia. Adalah perusahaan-perusahaan
listrik Jepang merupakan konsumen terbesar minyak, dan membeli
sebanyak 14,59 juta kiloliter setahun. Darijumlah itu, tak
kurang dari 60% atau 8,75 juta kiioliter berasal dari Indonesia,
dan 31% atau 4,53 juta kiloliter dari RRC.
Tetapi menurut statistik MITI pada 1980 sebanyak 64% dari 37,39
juta kiloliter yang diimpor dari Indonesia digunakan oleh
pembangkit tenaga listrik di Jepang. Nampaknya saingan terbesar
minyak Indonesia dalam hal ini datang dari RRC, dan ekspor LNG
dari Indonesia sendiri, serta penggunaan tenaga atom untuk
pembangkit tenaga listrik.
Jepang biasanya menyukai ienis Minas, dan jenis Handil yang
sebelum keputusan OPEC di London berharga US$ 34,80 per barrel.
Berkurangnya minat Jepang untuk membeli Minas, selain karena
biaya pengangkutan yang lebih murah dari Arab Saudi, juga
disebabkan teknik pengolahan minyak di Jepang yang sudah bisa
mengubah minyak mentah berat (heavy) seperti ALC, menjadi minyak
ringan. Maka Indonesia dipandang perlu untuk menganalisa dan
menentukan secara lebih tepat perubahan struktur industri dan
teknik perminyakan mutakhir di Jepang.
Komentar seorang pejabat perusahaan pengilangan minyak raksasa
di Jepang: "Indonesia selalu terlambat menyelidiki suasana
pasaran minyak kami, juga dalam hal penentuan harga jenis-jenis
minyaknya."
Kritik yang kurang lebih sama juga dikemukakan oleh beberapa
direktur perusahaan Jepang lain, yang biasa mengiriminya dari
Indonesia.
Namun begitu, seorang pejabat mengetahui di Jakarta merasa yakin
Indonesia masih bisa menikmati diferensial "sekalipun hanya
20-25 sen dollar rel," katanya. Jika benar demikian harga ekspor
jenis Minas diperkirak disesuaikan menjadi US$ 29,25 per barrel.
Sejak Nigeria membanting harganya dengan 5 dollar, para
pembelinya meneruskan transaksi pembelian minyaknya dengan
catatan, dibayar kemudian Arab Saudi telah menetapkan masa
berlaku sejak 1 Februari, sedang Indonesia menetapkan 23
Februari. Dengan kata lain sejak tanggal itu pula akan berlaku
baru minyak Indonesia yang 29 dollar sebarrel.
Pengurangan harga patokan minyak sebanyak 5 dollar itu tentu
akan berpengaruh pada pos Pajak Perseroan Minyak kita, yang
dalam APBN 1983/1984 ditargetkan sebanyak Rp 8,8 trilyun, atau
sekitar US$ 12,57 milyar (berdasarkan kurs 1 US$ - Rp 700).
Mengingat jumlah PPM itu didasarkan pada target produksi minyak
1,4 juta barrel sehari, dengan ekspor rata-rata 900.000 barrel
sehari, dan harga rata-rata US$ 34 per barrel, kini para
teknokrat agaknya perlu mengeluarkan skenario yang lain untuk
menutup kekurangan dalam anggaran belanja. Adapun kekuranan
dari uang minyak yang harus ditambah kurang lebih akan mencapai
US$ 1,7 milyar. Suatu jumlah yang tidak kecil, dan sebagaian
terpaksa harus dicari dari utang komersial di luar negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini