SUHARTOYO, ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM),
optimistis PMA dan PMDN tahun ini akan mencapai nilai Rp 6
trilyun, naik Rp 2 trilyun dari tahun sebelumnya. "Saya tidak
melihat ada yang perlu dikhawatirkan katanya pekan lalu. Di
sini, para calon penanam modal bisa memperoleh segala informasi
yang diperlukan, baik mengenai perpajakan maupun fasilitas.
"Yang tidak bisa diperoleh tentu angka pasti mengenai kurs
rupiah terhadap dollar AS," ujar Suhartoyo.
Untuk merangsang-minat penanam modal, pemerintah juga akan turut
membantu membangun fasilitas infrastruktur. Misalnya untuk
kepentingan pabrik kertas patungan Georgia-Pacific (25%), PT
Alas Helau (25%), dan pemerintah (50%) di Lhok Scumawe, Aceh.
"Pembebasan tanah untuk jalan diatasi pemerintah, sedang biaya
pembuatan jalan dikeluarkan para penanam modal," kata Suhartoyo.
Pabrik yang kelak menghasilkan 175 ribu ton kraft paper per
tahun itu, akan menelan dana US$ 410 juta - yang US$ 160 juta di
antaranya berasal dari penanam modal.
Uluran tangan semacam itu jelas akan meringankan pengeluaran
penanam modal, yang tak berhubungan dengan kegiatan produksi.
James W. Castle, 37 tahun, seorang patner di PT Data Impact yang
memberikan nasihat pada investor, memperkirakan PMA dari AS akan
meningkat tahun ini. Pulihnya ekonomi di AS, katanya, akan turut
mendorong pengusaha melakukan ekspansi. Tapi menurut dia,
kebanyakan PMA lari AS tahun-tahun belakangan ini sesungguhnya
merupakan penanam modal ulangan (re-investment) dari investor
yang perna menanam modal di sini.
Tingginya tingkat suku bunga pinjaman yang pernah mencapai
20,5%, antara lain menyebabkan PMA dari AS tiga tahun terakhir
(1980-1982) tidak naik secara mengesankan. Pada 1981 nilai PMA
dari AS hanya US$ 9,7 juta, turun tajam dari tahun sebelumnya
yang mencapai US$ 136,9 juta. Sempitnya pasar bagi produk yang
akan dihasilkan, kata Castle, juga menvebabkan PMA dari AS
kuran bergairah mcnanamkan modal secara besar-besaran. Untuk
mendirikan perusahaan kimia yang membutuhkan dana sekitar US$
300 juta, misalnya, pasar yang tersedia hanya mampu menyerap US$
20-30 juta. "Karena itulah harga barang yang dihasilkannya kelak
jadi mahal," ujar Castle kepada Minuk Sastrowardoyo dari TEMPO.
Faktor-faktor itulah antara lain yang menyebabkan jumlah PMA
dari AS (1967-1982/1983) hanya 77 proyek dengan nilai US$ 534
juta. Sedang PMA Jepang pada periode yang sama mencapai 207
proyek dengan nilai US$ 3,9 milyar, paling besar di antara PMA
yang bergerak di sini dengan jumlah total US$ 10,6 milyar. Tahun
lalu, PMA Jepang berjumlah US$ 500 juta lebih, naik dari 1981
yang hanya US$ 235 juta. Kenaikan menyolok terjadi sesudah
pemerintah menyetujui pendirian 5 proyek pabrik mesin diesel
Toyota, Daihatsu, Mitsubishi, Hino, dan Isuzu.
Kebanyakan investasi baru Jepang di sini, menurut Jun Onozawa,
direktur Japan Overseas Enterprises Association (OEA) banyak
memperoleh dukungan dari perusahaan patungan yang sudah ada.
Toyota Motor Corporation, misalnya, sebelum berpatungan dengan
Astra Inc. untuk mendirikan pabrik mesin, sudah berpatungan
lebih dulu di PT Toyota Mobilindo, yang menghasilkan berbagai
komponen merk Toyota.
Pasar yang tersedia, tenaga buruh yang cukup murah, dan sistem
Ialu lintas devisa yang bebas, kata Onozawa, merupakan sejumlah
faktor yang menarik bagi PMA Jepang. Sektor industri logam
dasar, dan produk-produk mesin lainnya menempati urutan teratas
dengan nilai US$ 1,6 milyar. Toh menurut Onozawa, soal
ketidakpastian nilai tukar rupiah "cukup memusingkan pengusaha."
Ketidakpastian kebijaksanaan pemerintah juga disebut sebagai
faktor yang kadang menyebabkan PMA Jepang agak segan melakukan
diversifikasi usaha. Mitsubishi Corp., misalnya, yang pernah
mengadakan usaha ekspor minyak kelapa di tahun t970an terpaksa
mendadak menghentikan bisnisnya sesudah pemerintah melarang
ekspor komoditi itu. Soal pajak bukan masalah. "Pajak di sini
tidak terlalu tinggi," kata M. Komiya, koordinator representatif
Mitsubishi Corp., Jakarta.
Pendeknya jangka Hak Guna Usaha (30 tahun untuk tanaman keras
seperti kelapa, dan 25 tahun untuk tanaman lunak seperti
singkong), menurut James Castle, kurang banyak membantu
menciptakan penanarnan modal di sektor agribisnis. Bidang
industri pengolahan makanan, katanya, sesungguhnya banyak juga
diminati kaum pengusaha AS. Tapi karena mereka beranggapan
pemerintah Indonesia akan menolak, hingga kini mereka tak pernah
mengajukan permintaan itu. "Keadaan akhirnya jadi sulit karena
salah pengertian dari kedua pihak mengenai apa yang sebenarnya
diperlukan," katanya.
Mengenai pendeknya jangka HGU itu, pemerintah memang tak
berniat melakukan perubahan. Jika dikehendaki, kata sebuah
sumber di Ditjen Agraria, masa pemakaian tanah itu bisa
diperpanjang sampai 4 kali tiap 25 tahun. Hingga praktis, hal
itu sama dengan ketentuan di Malaysia. Kesempatan, kata
Suhartoyo, akan diberikan bagi usaha patungan di sektor
agribisnis ini, jika pihak Indonesia memegang saham mayoritas.
Selain soal HGU, Masahiro Mino, direktur Japan External Trade
Organisation Maetro), menyebut buruknya sarana jalan, dan
jaringan irigasi, sebagai beberapa faktor yang mengurangi minat
pemilik modal bergerak d sektor agribisnis. Karena
kekurangan-kekurangan itulah, sejak 1967-1982 hanya 7 proyek PMA
Jepang dengan nilai investasi US$ 11,5 juta berusaha dalam
agribisnis dan peternakan. Karena harga patokan minyak OPEC
turun, yang kelak akan mempengaruhi anggaran pemerintah, "terus
terang saja, saya berpendapat tahun ini dan tahun berikutnya
akan merupakan masa sulit untuk investasi Jepang," ujar Mino.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini