Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Saatnya Berbagi Adil

Polisi memburu para pengilang minyak tradisional di Bojonegoro. Sekadar bertahan hidup.

22 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LANGIT Wonokromo kembali le-ngang. Tak lagi asap mengepul dari kilang-kilang minyak tradisional-, yang sejak dua bulan lalu menjamur di kawasan pegunungan di Keca-matan Kedewan, Bojonegoro, Jawa Timur itu. Polisi rupanya telah meringkus para penyuling tradisional di sana.

Sedikitnya lima orang ditahan, pekan lalu. Mereka adalah Baula (25 tahun), Sholeh (41), Suhadi (37), Bahno (24), dan Joni Sumaryono (55). Namun belakang-an mereka dilepas karena tak cukup bukti. Yang ditahan tinggallah Kasmidjan, 52 tahun, yang hingga kini masih berstatus tersangka.

Berdasarkan Undang-Undang -No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas, ke-giat-an penyulingan tradisional memang ter-larang. Meski begitu, aksi diam-diam mengilang sendiri minyak mentah, yang di Bojonegoro disebut latung, sudah berjalan dua bulan.

Mereka menggali dan membuat gun-duk-an-gundukan tanah. Di dalamnya, ter-kubur drum berkapasitas 200 liter, yang terhubung dengan pipa bergaris tengah lima sentimeter menuju sebuah bejana lain. Drum juga tersambung ke bejana pendingin, agar tidak meledak.

Drum ini berisi penuh minyak tanah, yang berfungsi sebagai tungku. Pe-nyu-ling-an dilakukan dengan cara mendidih-kan drum tadi, dengan kayu sebagai ba-han bakar. Proses pengilangan sederhana ini kira-kira makan waktu empat jam.

Persoalan muncul ketika setoran mi-nyak- mentah dari Koperasi Unit Desa Bogo Sasono ke PT Pertamina Cepu te-rasa mulai seret. Jumlah setoran, yang biasa-nya mencapai 11-12 rit tangki (per tangki berisi 5.000 liter) turun menjadi 7, bahkan 6 rit per hari.

Dalam hal pengumpulan minyak ini, an-tara Pertamina dan KUD Bogo Sasono memang telah terjalin kesepakatan kon-trak. Untuk- kebutuhan pasokan itu, ko-pe-rasi selama- ini menampung minyak ha-sil tambang rakyat di tiga desa: Wonocolo (222 sumur), Hargomulyo (138), dan Beji (26).

Dari jumlah itu, yang kini beroperasi baru 48 sumur -dengan kapasitas produksi- 50-60 ribu liter per hari. Namun- belakangan pasokan tak lagi lancar karena para penambang memilih menyuling sendiri mi-nyaknya. ”Kami ditegur Pertamina Cepu,” kata Zaenuri, Ketua KUD Bogo Sa-sono. Untuk- memeranginya, ia pun melaporkan- kasus ini ke polisi.

Para penambang berdalih, kegiatan terlarang itu terpaksa dilakukan karena harga jual minyak ke Pertamina, yang disebut imbal jasa atau upah peng-ambilan minyak mentah, sangat rendah-. Para penambang hanya mendapat im-balan jasa Rp 47 ribu per drum. Jika mi-nyak itu disuling sendiri, keuntung-an-nya berlipat ganda.

Dari satu drum minyak mentah bisa dihasilkan 100 liter bahan bakar mi-nyak- campuran solar dan minyak tanah. Minyak ini dijual ke nelayan Tuban dan Rembang seharga Rp 2.200 per liter. ”Ini pun sekadar untuk makan, kok,” kata Sholeh ketika ditemui Tempo.

Dari segi penghasilan, kehidupan para penambang tradisional terbilang pas-pas-an. Sihkaton, 54 tahun, yang tinggal di Desa Kedewan, harus berjalan kaki 8 kilo-meter pulang-pergi dari rumahnya ke sumur tempatnya bekerja. Sumur ini ia garap bersama 15 anggota kelompok. Penghasilannya tak menentu, terkadang ha-nya mendapat upah Rp 100 ribu selama- sepekan.

Besarnya upah tergantung seberapa banyak minyak yang ditambang. Tak jarang pula minyak di dasar sumur berkedalaman 200-500 meter itu tak menyembur deras. Padahal ia harus menghidupi istri dan empat anaknya. ”Weteng tukang tambang sakniki lempet. Mangan mawon mboten wareg (Perut penambang sekarang lengket. Makan saja tak kenyang),” katanya.

Beban hidup para penambang kian berat, karena seluruh biaya operasional juga menjadi tanggungan mereka. Sakim, 44 tahun, yang punya satu sumur, termasuk yang merasakan itu. ”Saya pompa sejak tiga tahun lalu, tapi yang keluar bukan minyak. Hanya air dan lumpur,” ujarnya.

Wonocolo sesungguhnya pernah mak-mur. Namun, sejak keluar peraturan pe-merintah pada 1987, yang membatasi- pe-nambangan rakyat dan penjualan mi-nyak secara bebas, kemiskin-an- -menjamah setiap sudut -desa.

Karena itulah Syarif Usman, anggota DPRD Bojonegoro, meminta penambang tradisional diperlakukan se-cara adil. ”Toh, mereka pun se-lama ini mencari sendi-ri jejak sumur peninggal-an Belanda, dan membiayai sen-diri seluruh ongkos produksinya,” ujarnya.

Sunudyantoro (Bojonegoro)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus