Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PANIK melanda lantai bursa saham Jakarta, Senin pekan lalu. Begitu perdagangan dibuka, pasar- langsung dibombardir aksi jual saham para investor. Harga- rontok seketika. Tak kepalang tanggung-, hingga perdagangan ditutup, indeks saham tersungkur hampir 100 poin atau se-kitar 6,3 persen.
Penurunan 96 poin ini terbesar sepanjang sejarah Bursa Efek Jakarta. Dari persentasenya, inilah penurunan harian terbesar kedua setelah kerusuhan Mei 1998. Ketika itu anjloknya 6,6 persen.
Tak ayal, investor langsung kelimpung-an. ”Gila! Saya seperti baru kehilangan satu rumah di Kebayoran Baru,” kata seorang pialang perusahaan sekuritas swasta di Jakarta.
Hari itu memang Senin kelabu buat para investor. Pasar dilanda kepanikan para pemodal yang berlomba-lomba melego sahamnya. Akibatnya, indeks harga saham gabungan BEJ hingga perdagang-an ditutup merosot 96,238 poin ke posisi 1.429,542.
Secara keseluruhan, pada hari itu -pe-nyusutan nilai dari sekitar 330 sa-ham- yang kini tercatat di BEJ mencapai - Rp 63,4 triliun. Kondisi ini tercermin- pa-da pe-nurunan kapitalisasi pasar BEJ (har-ga saham dikalikan jumlah saham yang ter-catat di bursa), dari semula Rp 1.044 tri-liun menjadi tinggal Rp 980,6 tri-liun.
”Ini benar-benar Black Monday,” kata pialang tadi, mengingatkan peristiwa se-rupa di bursa New York, hampir dua dekade silam. Pada 19 Oktober 1987 itu, indeks saham Dow Jones mengalami pe-nurunan harian terbesar sepanjang sejarah: 22,6 persen atau US$ 500 miliar (sekitar Rp 4.500 triliun)!
Penurunan itu memang terasa amat dramatis, karena indeks saham BEJ sepanjang tahun ini mencatat prestasi mengesankan. Sejak awal tahun indeks telah naik 23 persen. Bahkan pada 10 Mei lalu indeks mencapai angka tertinggi, 1.539,401.
Penyebab utama kemerosotan indeks kali ini adalah kebijakan The Federal Reserve, yang pada 10 Mei lalu kembali menaikkan suku bunga- 25 basis poin atau seperempat persen dari 4,75 persen menjadi 5 persen-. Terhitung sejak Juni 2004, sudah 16 kali bank sentral Amerika ini menaikkan suku bu-nganya.
Kebijakan ini langsung merontokkan indeks saham di berbagai bursa regional- dan global seperti Jepang, Hong Kong, India, Turki, Brasil, dan Rusia. Para investor menarik dananya karena diliputi kekhawatiran The Fed masih akan menaikkan suku bunga hingga 5,5 persen untuk meredam inflasi.
Dasar pertimbangannya, kata Erwan Teguh, Kepala Riset PT Danareksa -Se-kuritas, dalam dua pekan terakhir mata uang dolar tertekan cu-kup signifikan terhadap mata uang dunia lainnya, termasuk yen-. Selain itu, harga komoditas dunia seperti emas terus merambat naik.
Untuk menghindari kerugian, para investor mulai berpaling dari saham dan membenamkan duit-nya ke dolar, obligasi, ataupun emas. Imbasnya, mata uang rupiah pun langsung terperosok-. -Padahal, sebelumnya rupiah sepanjang tahun ini telah me-nguat 9,2 persen—tertinggi di-bandingkan mata uang Asia lainnya.
Kurs rupiah pada Senin pekan- la-l-u anjlok 432 poin, dari Rp 8.733 men-jadi Rp 9.165 per US$ 1. Ke-j-a-tuhan ini terbesar sejak 20 April 2001—saat itu turun 720 poin—ketika suhu politik kian panas menjelang Sidang Paripurna MPR/DPR yang akan melengser-kan Presiden Abdurrahman -Wahid.
Kombinasi faktor kejatuhan bursa regional dan ambruknya rupiah inilah yang membuat indeks saham BEJ ikut rontok. Meski begitu, Menteri Koordinator Perekonomian Boediono optimistis, ini ber-sifat sementara. ”Hanya imbas sentimen negatif dari pasar regional dan global,” katanya. Ia pun menegaskan, tak ada yang salah dengan kebijakan pemerintah.
Pendapat Boediono masih harus diuji kebenarannya. Sebab, sejak penurunan drastis pada Senin lalu, indeks dan rupiah hanya sekali menguat, yaitu pada Ra-bu: indeks menguat 34 poin (2,4 -per-sen) dan rupiah kembali di bawah- Rp 9.000 per US$ 1.
Setelah itu, kedua indikator ekonomi ini kembali terperosok. Jumat pekan lalu, indeks lagi-lagi turun 7,86 poin (0,56 persen) ke posisi 1.392,990, sedangkan rupiah merosot 30 poin menjadi Rp 9.200 per US$ 1.
Meski begitu, Erwan berpendapat, Bank Indonesia tak perlu terburu-buru kembali menaikkan suku bunga untuk membuat investasi rupiah le-bih menarik. ”Karena yang diuntungkan nantinya hanyalah investor, sedangkan ekonomi tetap sulit bergerak,” ujarnya.
Metta Dharmasaputra, Muchtar Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo