Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sudah bayar pajak?

Pemasukan pajak di indonesia masih kecil dibanding negara tetangga. tagihan pajak akan ditingkatkan untuk mengimbangi kemelut pasar minyak. target ppn dikeluhkan pengusaha, termasuk para akuntan.

22 Agustus 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMOGA Anda sudah membayar pajak -- syukur secara baik. Sehingga tak perlu mengintip laci Dirjen Pajak Salamun A.T., dan yakin betul tidak masuk "lis hitam", yang menurut kabar orang-orangnya tinggal tunggu waktu saja untuk diseret ke pengadilan. Ini serius. Karena dianggap menyangkut hajat 160 juta warga negara Indonesia yang menjagakan kesejahteraannya dari kesigapan dan ketegasan anak buah Salamun mengutip pajak. Senin pekan silam, terbukti bahwa salah seorang dari puluhan yang didaftar Salamun dihukum 1 tahun penjara untuk kesalahannya -- sepanjang dibuktikan di peradilan tingkat pertama menggelapkan pajak tak sampai Rp 30 juta. Pajak bukan kutipan model baru. Tapi, tampaknya, mulai menjadi urusan sejak minyak yang deras muncrat perlahan-lahan tapi pasti pudar harganya. Padahal, sebelumnya, awal tahun 70-an, berbagai kebijaksanaan hasil olahan ahli ekonomi kelas wahid halnpir-hampir tak menyentuh soal pajak. Jadi, tak mengherankan bila porsi sumbangan pajak, di luar pajak minyak dan gas bumi, baru mencapai 7% dari Penghasilan Nasional Kotor (PNK). Jauh di bawah negara-negara tetangga, seperti Muangthai, misalnya, yang pada 1483 sudah mencapai 13,6% atau Malaysia yang malah sudah di atas 20%. Ambil contoh, tetangga dekat yang sedang paling runyam pun, Filipina, rakyatnya masih menyumbang anggaran belanja negara dengan pajak di atas 10%. Baru setelah anggaran rumah tangga negara terpeleset di bawah kaki licinnya sang primadona, minyak, kantung wajib pajak juga yang akhirnya diincar. Tiga ketentuan perpajakan baru sekaligus diundangkan pada awal tahun 80-an: tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan, Pajak Penghasilan (PPh), dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), serta pajak penjualan barang mewah. Disusul dengan undang-undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan alias PBB. Eh, masih ada lagi: tentang bea meterai. Hasilnya memang cepat ketahuan. Pada tahun anggaran 1983-1984, Pemerintah baru berhasil menjaring sekitar 700 ribu Wajib Pajak (WP), sedang tahun anggaran lalu sudah berlipat dua lebih, yaitu mencapai 1,5 juta. Sedangkan pajak yang dapat dikutip pada saat pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun-tahun itu hanya 1 sampai 2% -- malah melonjak dari Rp 2,8 trilyun menjadi Rp 6,1 trilyun. "Ehem, di atas target, itu memang di luar dugaan," ujar Salamun, Direktur Jenderal Pajak, entah membanggakan peraturan, pengutip pajak, atau kesadaran WP-nya. Boleh jadi, ketiga-tiganya. Tapi itulah yang akhirnya membawa Pemerintah berambisi menetapkan target lebih. Tahun anggaran ini diputuskan 39,6% penghasilan dari dalam negeri berasal dari pajak -- tahun sebelumnya 37,3%. Selebihnya tetap diharapkan dari cucuran migas. Dengan komposisi itu kita semua boleh berharap segala belanja bisa ditutup dengan isi kantung setebal Rp 29,5 trilyun. Kesigapan dan -- sekali lagi -- ketegasan memungut pajak agaknya memang jalan terbaik untuk mengimbangi kemelut pasar minyak yang belum ketahuan kapan berakhir. Bahkan para ahli perpajakan dari Barometer Pajak, Yayasan Bina Pembangunan, meramalkan bahwa peran migas, yang semula 17% dari PNK, akan anjlok tinggal 12%. Bila ingin mempertahankan agar anggaran belanja tetap 25% dari PNK apa lagi kalau bukan pajak yang diandalkan, itu jelas berarti kerja ekstrakeras bagi orang-orang Direktorat Jenderal Pajak. Mereka paling sedikit harus mampu mengumpulkan Rp 24 milyar per hari untuk tugas mengisi kas negara sebesar Rp 7,3 trilyun. Seperti tahun sebelumnya, sebagian besar akan dipungut dari PPN dan PPh, yang kini masing-masing menyumbang Rp 3,5 trilyun dan Rp 3,3 trilyun. Skenario sudah diatur untuk menghadapi kemungkinan buruk yang bakal menyandung target. Menteri Keuangan dan Ketua Dewan Moneter Radius Prawiro sendiri mengakui, beberapa waktu lalu, bahwa menarik pajak penghasilan bukan hal yang gampang. "Kebetulan", tahun ini para pengusaha diberi kesempatan untuk merevaluasi asetnya. Dengan cara itu, mereka dapat secara sah mengurangi laba kena pajak. Hitung-hitung secara kasar, pajak penghasilan yang akan disetor ke kas negara diperkirakan akan mentok Rp 200 milyar di bawah target. Tapi dari jenis pajak lain, PPN, diyakini akan melampaui target. "Jadi, bisa dijadikan imbangan," begitu Menteri Radius berharap. Harapan pak Menteri itulah yang kini banyak bikin pusing kepala pengusaha. PPN, menurut aturan, pada akhirnya merupakan beban konsumen. Semua label harga yang tertempel di suatu produk disebut plus PPN atau tidak -- jatuhnya sama saJa: mahal. Demi persaingan, memang ada yang nekat menomboki PPN. Akibatnya, kalau tidak tekor, masih boleh bersyukur kalau jatuhnya impas saja. Lebih runyam lagi bagi yang terpaksa menjual dagangannya dengan sistem konsinyasi: belum tentu laku, PPN-nya sudah harus disetor ke kas negara. MAKA, kata seorang pengamat ekonomi, Kwik Kian Gie, "Kalau PPN -- diterapkan secara keras, bisa kacau, karena akan banyak harga yang keluar dari jangkauan masyarakat." Sehingga, kalau dia boleh angkat bicara, mbok ya pengusaha yang telat bayar PPN jangan langsung dituduh nyolong. Kwik, Direktur PT Altron Panorama itu, juga punya tip buat pengusaha agar secara rapi berkelit sedikit dari jenis pajak yang satu itu. Transaksi dibuat dengan cara sewa-beli. Atau dibuat sistem tukar-tambah saja: produk yang sudah beredar ditukar dengan yang baru, lalu lempar lagi barang-barang bekas itu ke pasar. "Konsumen senang, kita juga untung," katanya. Siapa punya trick lain? Karena, menurut pengusaha yang mengageni barang-barang elektronik merk Graetz itu, berbagai jurus ampuh untuk berkelit sah adanya dan ditanggung tidak melanggar undang-undang. Berkelit memang lain artinya dengan berselingkuh atau menggelapkan pajak. Kalau selingkuh, undang-undang bilang, ancamannya denda 100% plus 2% bunga per bulan dari pajak terutang. "Atau kena pidana," ujar Salamun, menekankan ancaman lebih galak. Itu gertak sambal atau bukan memang pengadilan yang punya kuasa menghukum orang (lihat Penjara Lewat Pajak). Tapi kedatangan orang pajak mengusut-usut pembukuan saja 'kan sudah berabe. Sampai-sampai mau mentraktir relasi bisnis pun pengusaha harus berpikir dua kali. Sebab, petugas dapat menuntut penjelasan, kapan, di mana, siapa, dan bagaimana hubungan yang ditraktir dengan si WP itu. Dijelaskan sulit, apalagi kalau menyangkut "nama baik" seorang pejabat, kalau tidak lebih repot lagi: dapat dituduh mengada-ada sebagai ikhtiar menggelapkan pajak. Sang petugas, yang dibebani target oleh bosnya, sering tak mau tahu, kendati sudah jelas WP sasarannya sedang tekor. "Mereka tidak realistis, karena hanya berpatokan pada jumlah pajak yang disetor tahun sebelumnya," ujar Aries Gunawan, Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia. Patuh tapi bingung, itulah nasib para pengusaha asing yang sering mengadu kepada Aries. Mereka tak bisa mengerti, bagaimana bunga pinjaman, atau bahkan tunjangan kesehatan (onkos ke dokter yang ditanggung perusahaan, misalnya) -- karena dianggap sebagai "kenikmatan" bisa masuk dalam hitungan kena pajak. Konon, di negeri mereka, "No way," katanya. Kubu akuntan sudah lama mengeluhkan soal orang pajak yang tak mau membedakan antara Perlakuan Pembukuan dan Perlakuan Pajak seperti itu. Berbagai komponen pembukuan, yang menurut Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI) merupakan biaya, kenyataannya dicabuti begitu saja. Contohnya, ya itu tadi, uang transpor, pengobatan, dan bahkan dana sosial harus ditanggung dari laba setelah pajak. Para pengusaha real estate, yang hanya menggantungkan usahanya dari kredit dalam negeri, ikut meramaikan keluhan. Di saat proyek lagi banyak macet, karena tingginya bunga kredit, 40% dari tanah proyeknya yang harus dicadangkan untuk kepentingan umum harus pula dibayarkan PBB-nya. "Padahal, tanah itu tidak komersial," ujar Mohamad Hidayat, Direktur PT Putraco Indah. Lucunya, setelah tanah itu berfungsi, malah tidak kena pajak. Hal lain yang memberatkan pengusaha adalah mengenai perolehan modal yang dapat dikumpulkan juga tak lolos dari pajak. Di banyak negara pungutan pajak semacam itu sudah dihapus. Karena itu -- di samping bunga yang ditawarkan bank cukup merangsang -- sekarang ini orang lebih suka menanam modalnya dalam bentuk deposito yang tak mengenal risiko dan pajak. Bukan tak mungkin hal itu yang, antara lain, membuat investor ogah dan tak bergairah.... Sehingga Aries protes, "Jangan main target-targetan, lah." Tapi, jujur saja, di balik beronggok-onggok omelan, orang umumnya bulat sepakat bahwa undang-undang perpajakan yang sekarang ini jauh lebih baik dari sebelumnya. Tak hanya sifatnya yang lebih jelas, tetapi kepercayaan yang diperoleh WP untuk menghitung pajaknya sendiri, menambah harga diri dan kebanggaan sebagai warga negara. Kalau tak menunjukkan tanda-tanda keselingkuhan, tak usah khawatir, Dirjen Salamun tak menjamin tak akan ada petugasnya datang menggebrak-gebrak "pajak meja". Karena, kata Salamun, "sekarang tidak ada lagi raja-raja kecil." Kenyataan sedap itu juga bisa disimak dari hasil pengumpulan pendapat umum oleh TEMPO (Lihat Salamun dan Bebannya: Target Citra). Sebagian besar menyatakan bahwa citra petugas pajak dinilai baik. Mereka juga percaya bahwa setoran pajaknya memang merupakan sumbangan bagi pembangunan. Yang menuduh petugas pajak doyan suap, sedikit jumlahnya. Sebaliknya, Salamun sendiri yang makin kehilangan sabar, karena masih banyak orang yang masih enggan "turut membangun negara" melalui cara membayar pajak. Kini Salamun menebar ratusan petugas berbrevet profesional. Diam-diam, "detektif pajak" kini pasang mata dan telinga di sekitar Anda: menghitung jumlah telepon di rumah, mobil yang dipakai anak-anak, seringnya perjalanan ke luar negeri, dan masih banyak lagi yang ingin mereka dengar dan ketahui. "Tapi pengusaha yang sudah jelas patuh dan memakai jasa akuntan publik jangan diutik-utik terus, dong," kata Aburizal Bakrie, dari kelompok Bakrie & Brothers. Karena, jangankan diburu tukang pajak, mengisi formulir pajak saja sudah membuat orang susah tidur, ya 'kan, Bos? Praginanto, Laporan Biro-biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus