MEMASUKI "minggu tenang", banyak pemimpin redaksi belum tentu
merasa tenang. Dalam pemilu 1971, di minggu yang dilarang ribut
itu koran Harian Kami dan Duta Masjarakat tak boleh terbit
karena dianggap "melanggar" ketentuan "minggu tenang" itu.
Tahun ini bagaimana? Entahlah. Yang jelas "korban" terjadi jauh
sebelum "minggu tenang". Itu pun tidak keliwat seram.
Pertengahan April ini, 700 eksemplar koran Salemba yang
diterbitkan mahasiswa UI disita oleh Laksusda Jaya. Alasan?
Pertama, karena surat-kabar kampus itu beredar di Lapangan
Banteng. Kedua, karena ada karikatur yang begini: Dua jari
teracung ke atas membentuk huruf V (atau berarti: 2). Di antara
kedua jari itu terletak topi baja berbintang dan sepucuk pistol.
Di bawahnya tertera kalimat: "Jangan Lupa Tgl. 2 Mei".
Letkol Anas Malik, Kepala Penerangan Kodam V/Laksusda Jaya
mengatakan kepada TEMPO: "Salemba bukan untuk dijual di luar
kampus" Ini tentu ada kaitannya dengan izin untuk melahirkan
koran itu, sebagaimana yang berlaku bagi setiap penerbitan.
Adapun Salemba tidak mempunyai SIT (Surat Izin Terbit). Yang ada
hanya Surat Tanda Terdaftar, yakni STT No. 06/SK Dirjen
PPG/STT/1975 yang dikeluarkan oleh Dirjen Pembinaan Pers dan
Grafika, 3 Desember 1975. Anas memberi contoh penerbitan serupa,
seperti majalah Astra yang diterbitkan perusahaan Astra.
Penerbitan seperti itu hanya diuntukkan bagi kalanan sendiri.
Tidak dimaksudkan untuk diperdagangkan di pasaran bebas.
Tentang karikatur, Anas menilai bahwa hal seperti itu "bukan
scope Salemba lagi". Sebagai koran kampus, Salemba harus bisa
menjiwai SK 028. "Ingat, SK tersebut baru dicabut 1 Juli", Anas
mengingatkan, sambil menegaskan bahwa persoalannya bukan
menyLnggung ABRI atau bukan. Mungkin karena ada yang mengira
bahwa karikatur itu melukiskan ABRI sebagai "deking" kontestan
pemilu.
Tapi menurut pemimpin redaksinya, Antony Zeidra, "koran itu
belum sempat dijual". Dan pasal karikatur, kata Tony itu bukan
kesengajaan. Apalagi dari dulu katanya mereka selalu bersikap
hati-hati. Dibanding dengan koran mahasiswa lainnya, Salemba
pada hematnya belumlah keras. Segera setelah panggilan itu Tony
mengatakan mereka samasekali tak punya maksud mau
mendiskreditkan ABRI. Karikatur itu kata Tony dimaksudkan
sebagai lambang perdamaian. Untuk menjaga perdamaian diperlukan
kekuatan untuk mengawalnya. Adapun tulisan "Jangan lupa tgl. 2
Mei" pada karikatur itu dimaknakan sebagai penentang bagi mereka
yang tak mempergunakan haknya dalam pemilu yang akan datang.
"Yang benar aja, masak V yang sering diacungkan Churchill untuk
melambangkan kemenangan Sekutu, dibilang perdamaian. Perdamaian
kan lambangnya burung merpati?" gerutu Anas, menanggapi
keterangan Tony atau Antony.
Dijualnya koran kampus di pasaran bebas tampak menarik juga. Di
samping alasan tri dharma perguruan tinggi, seperti dikatakan
Tony, alasan ekonomi memang mendesak juga. Dengan membantah
koran mereka sudah menjadi koran komersiil, Tony dan Buyung
Syamsuddin, Pemimpin Usaha, bercerita tentang kerugian yang
harus mereka tutup terus. Sekarang mereka menerbitkan 7 ribu
eksemplar padahal subsidi dari UI cuma untuk 5 ribu. Dari yang 7
ribu itu, 2.250 mereka lempar ke pasar. Mereka mengakui ini
melebihi kwota yang dibenarkan rektor, yaknianya 10% dari
jumlah oplah.
Uang yang mereka dapat dari penjualan samasekali jauh dari
memberikan keuntungan. Di samping untuk membayar biaya cetak,
mereka juga harus memikirkan honorarium bagi pengasuh dan
penulis luar. Penyasuh seperti Tony tiap bulan mendapat Rp 10
ribu sedang anggota staf redaksi yang seluruhnya berjimlah 15,
masing-masing Rp 5 ribu. Dengan begitu biaya produksi per lembar
jadi Rp 40. Padahal agen hanya membayar Rp 32-35 untuk setiap
Salemba. Dan lapangan Banteng menurut Tony adalah benteng utama,
sebab sebulan bisa menyumbang hampir Rp 100 ribu.
Dana Bang Ali
Ada soal lain lagi mengapa mereka terpaksa mengedarkan koran
mereka ke luar. "Kalau Salemba dibagi-bagikan, itu tak mendidik
mutu keredaksian. Semangat bersaing tak ada lagi. Berita asal
jadi", kata Tony. Lebih jauh lagi, "kalau tak dijual, itu tak
melatih mahasiswa mengendalikan sebuah perusahaan pers.
Mahasiswa Ekonomi, nyatanya oisa praktek di sini. Itu Buyung
dari Ekonomi", kata Tony menunjuk rekannya.
Tapi ada juga hasil dari peristiwa Salemba itu. Anas Malik,
betapapun, adalah orang yang tetap menginginkan agar koran itu
tetap bernafas. "Kita ini masih ngemong sama mahasiswa", kata
Anas yang antara 1968-72 jadi Komandan Wajib Latih Mahasiswa
(Walawa) UI itu. Dan pertengahan April ini juga Tony dan Buyung
datang menemui Anas untuk kedua kalinya. Bukan untuk dinasihati
karena kenakalan, tapi nasihat bagaimana mencari duit. Anas
rupanya sedang mencarikan jalan agar Salemba bisa mendapat
subsidi dari Bang Ali.
Kalau sudah dapat subsidi penuh, bagaimana? Salemba akan lunak?
"Kita masih punya idealisme", kata Tony. Syukurlah. LBH pun
mendapat subsidi dari Gubernur DKI, tapi kadang-kadang dia
"nakal" juga pada pemberi dana. Lagipula uang dana itu toh uang
rakyat. Lalu soal peredaran keluar? "Kita masih punya langganan
per pos yang bisa dilayani langsung dari Jalan Salemba 4", sahut
Buyung Syamsuddin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini