Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Salemba, Sebentar Saja

Ratusan eksamplar koran salemba disita Laksusda Jaya. Alasannya ? koran yang terbit dengan sit itu sudah beredar dan diperjual belikan di luar kampus. Karikaturnya, bukan skop koran kampus lagi.

30 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMASUKI "minggu tenang", banyak pemimpin redaksi belum tentu merasa tenang. Dalam pemilu 1971, di minggu yang dilarang ribut itu koran Harian Kami dan Duta Masjarakat tak boleh terbit karena dianggap "melanggar" ketentuan "minggu tenang" itu. Tahun ini bagaimana? Entahlah. Yang jelas "korban" terjadi jauh sebelum "minggu tenang". Itu pun tidak keliwat seram. Pertengahan April ini, 700 eksemplar koran Salemba yang diterbitkan mahasiswa UI disita oleh Laksusda Jaya. Alasan? Pertama, karena surat-kabar kampus itu beredar di Lapangan Banteng. Kedua, karena ada karikatur yang begini: Dua jari teracung ke atas membentuk huruf V (atau berarti: 2). Di antara kedua jari itu terletak topi baja berbintang dan sepucuk pistol. Di bawahnya tertera kalimat: "Jangan Lupa Tgl. 2 Mei". Letkol Anas Malik, Kepala Penerangan Kodam V/Laksusda Jaya mengatakan kepada TEMPO: "Salemba bukan untuk dijual di luar kampus" Ini tentu ada kaitannya dengan izin untuk melahirkan koran itu, sebagaimana yang berlaku bagi setiap penerbitan. Adapun Salemba tidak mempunyai SIT (Surat Izin Terbit). Yang ada hanya Surat Tanda Terdaftar, yakni STT No. 06/SK Dirjen PPG/STT/1975 yang dikeluarkan oleh Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika, 3 Desember 1975. Anas memberi contoh penerbitan serupa, seperti majalah Astra yang diterbitkan perusahaan Astra. Penerbitan seperti itu hanya diuntukkan bagi kalanan sendiri. Tidak dimaksudkan untuk diperdagangkan di pasaran bebas. Tentang karikatur, Anas menilai bahwa hal seperti itu "bukan scope Salemba lagi". Sebagai koran kampus, Salemba harus bisa menjiwai SK 028. "Ingat, SK tersebut baru dicabut 1 Juli", Anas mengingatkan, sambil menegaskan bahwa persoalannya bukan menyLnggung ABRI atau bukan. Mungkin karena ada yang mengira bahwa karikatur itu melukiskan ABRI sebagai "deking" kontestan pemilu. Tapi menurut pemimpin redaksinya, Antony Zeidra, "koran itu belum sempat dijual". Dan pasal karikatur, kata Tony itu bukan kesengajaan. Apalagi dari dulu katanya mereka selalu bersikap hati-hati. Dibanding dengan koran mahasiswa lainnya, Salemba pada hematnya belumlah keras. Segera setelah panggilan itu Tony mengatakan mereka samasekali tak punya maksud mau mendiskreditkan ABRI. Karikatur itu kata Tony dimaksudkan sebagai lambang perdamaian. Untuk menjaga perdamaian diperlukan kekuatan untuk mengawalnya. Adapun tulisan "Jangan lupa tgl. 2 Mei" pada karikatur itu dimaknakan sebagai penentang bagi mereka yang tak mempergunakan haknya dalam pemilu yang akan datang. "Yang benar aja, masak V yang sering diacungkan Churchill untuk melambangkan kemenangan Sekutu, dibilang perdamaian. Perdamaian kan lambangnya burung merpati?" gerutu Anas, menanggapi keterangan Tony atau Antony. Dijualnya koran kampus di pasaran bebas tampak menarik juga. Di samping alasan tri dharma perguruan tinggi, seperti dikatakan Tony, alasan ekonomi memang mendesak juga. Dengan membantah koran mereka sudah menjadi koran komersiil, Tony dan Buyung Syamsuddin, Pemimpin Usaha, bercerita tentang kerugian yang harus mereka tutup terus. Sekarang mereka menerbitkan 7 ribu eksemplar padahal subsidi dari UI cuma untuk 5 ribu. Dari yang 7 ribu itu, 2.250 mereka lempar ke pasar. Mereka mengakui ini melebihi kwota yang dibenarkan rektor, yaknianya 10% dari jumlah oplah. Uang yang mereka dapat dari penjualan samasekali jauh dari memberikan keuntungan. Di samping untuk membayar biaya cetak, mereka juga harus memikirkan honorarium bagi pengasuh dan penulis luar. Penyasuh seperti Tony tiap bulan mendapat Rp 10 ribu sedang anggota staf redaksi yang seluruhnya berjimlah 15, masing-masing Rp 5 ribu. Dengan begitu biaya produksi per lembar jadi Rp 40. Padahal agen hanya membayar Rp 32-35 untuk setiap Salemba. Dan lapangan Banteng menurut Tony adalah benteng utama, sebab sebulan bisa menyumbang hampir Rp 100 ribu. Dana Bang Ali Ada soal lain lagi mengapa mereka terpaksa mengedarkan koran mereka ke luar. "Kalau Salemba dibagi-bagikan, itu tak mendidik mutu keredaksian. Semangat bersaing tak ada lagi. Berita asal jadi", kata Tony. Lebih jauh lagi, "kalau tak dijual, itu tak melatih mahasiswa mengendalikan sebuah perusahaan pers. Mahasiswa Ekonomi, nyatanya oisa praktek di sini. Itu Buyung dari Ekonomi", kata Tony menunjuk rekannya. Tapi ada juga hasil dari peristiwa Salemba itu. Anas Malik, betapapun, adalah orang yang tetap menginginkan agar koran itu tetap bernafas. "Kita ini masih ngemong sama mahasiswa", kata Anas yang antara 1968-72 jadi Komandan Wajib Latih Mahasiswa (Walawa) UI itu. Dan pertengahan April ini juga Tony dan Buyung datang menemui Anas untuk kedua kalinya. Bukan untuk dinasihati karena kenakalan, tapi nasihat bagaimana mencari duit. Anas rupanya sedang mencarikan jalan agar Salemba bisa mendapat subsidi dari Bang Ali. Kalau sudah dapat subsidi penuh, bagaimana? Salemba akan lunak? "Kita masih punya idealisme", kata Tony. Syukurlah. LBH pun mendapat subsidi dari Gubernur DKI, tapi kadang-kadang dia "nakal" juga pada pemberi dana. Lagipula uang dana itu toh uang rakyat. Lalu soal peredaran keluar? "Kita masih punya langganan per pos yang bisa dilayani langsung dari Jalan Salemba 4", sahut Buyung Syamsuddin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus