Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Semarang - Dalam kunjungannya ke Semarang, calon wakil presiden Sandiaga Uno menyoroti tunggakan atau utang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan atau BPJS Kesehatan kepada lebih dari 30 rumah sakit milik Muhammadiyah di Jawa Tengah yang mencapai Rp 300 miliar. Akibat tunggakan BPJS itu,membuat gaji karyawan rumah sakit milik Muhammadiyah di Jawa Tengah sempat tertunda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lebih jauh Sandiaga menilai semestinya pemerintah memiliki sistem ekonomi yang kuat sehingga pelayanan kesehatan tidak menjadi polemik baru bagi masyarakat. Dengan kondisi seperti sekarang, ia menilai rumah sakit malah jadi seperti bank karena meminjamkan dana kepada pemerintah.
"Ada sistem yang harus diperbaiki, jangan sampai biaya kesehatan membebani masyarakat dan rumah sakit," ucap Sandiaga saat mengunjungi kantor Pengurus Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah di Jalan Singosari Raya Semarang, Senin 24 September 2018. "Jangan sampai dana tunai rumah sakit tidak bisa membeli obat dan membayar gaji pekerjanya."
Dalam kampanye hari kedua ini, Sandiaga berujar Muhammadiyah merupakan mitra kerjanya bersama Prabowo Subianto dalam membangun Indonesia. Ia didampingi para kader PAN Jawa Tengah, Anggota Komisi X DPR I, Yayuk basuki, dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan.
Kritik terhadap tunggakan BPJS Kesehatan pada rumah sakit juga disampaikan Zulkifli Hasan. Ia mengatakan, kabar terakhir Pemerintahan sudah menyediakan alokasi dana Rp 5 triliun untuk BPJS Kesehatan. "Kemarin sudah disetujui, hanya Rp 5 triliun. Cukup atau tidak kita tidak tahu," katanya.
Zulkifli menyebutkan penyelesaian defisit BPJS Kesehatan ini harus segera dilakukan. "Ini mendesak, penting. Kalau tidak, nanti rumah sakit bisa kolaps. Ini menyangkut keselamatan manusia. Yang diperbaiki ya soal anggaran," kata Zulkifli Hasan.
BPJS Kesehatan sebelumnya mencatat salah satu pemicu defisit keuangan di instansi itu adalah kenaikan jumlah pengidap penyakit kronis dari waktu ke waktu. Berdasarkan kajian Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau BPKP, defisit keuangan lembaga itu mencapai Rp 10,98 triliun.
Angka itu lebih rendah dari arus kas Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT) BPJS Kesehatan 2018 yang mencatat defisit sebesar Rp 16,5 triliun. Hingga Agustus 2018, pengeluaran BPJS Kesehatan untuk membiayai penyakit katastropik atau penyakit yang memerlukan biaya tinggi, komplikasi dan membahayakan jiwa, mencapai Rp 12 triliun.
Adapun pengeluaran sebesar Rp 12 triliun itu setara dengan 21,07 persen dari total biaya pelayanan kesehatan. Padahal berbagai penyakit katastropik tersebut bisa dicegah melalui penerapan pola hidup sehat. Sementara sepanjang 2017, biaya penyakit katastropik yang dibiayai BPJS Kesehatan mencapai Rp 18,4 triliun.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris sebelumnya mengatakan defisit keuangan yang dialami badan yang dipimpinnya itu belum mencapai puncaknya. Ia memperkirakan defisit masih akan meningkat karena tingkat pemanfaatan program rawat jalan dan rawat inap tingkat lanjutan belum mengalami maturitas sebagaimana program-program yang sudah berjalan lama.
"Ini juga harus diperhatikan sungguh-sungguh dalam jangka panjang. Kami yakin di dalam buku putih ini juga sudah dicatat, bahwa defisit belum mencapai puncaknya," kata bos BPJS Kesehatan itu di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Senin, 17 September 2018.