Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKILAS sapi-sapi di kandang kelompok ternak Bina Ternak di Desa Campursari, Kecamatan Sidorejo, Magetan, Jawa Timur, itu terlihat sebaya. Tempo, yang berkunjung ke sana pada Rabu pekan lalu, melihat tinggi dan besar ternak tersebut praktis sama. Tapi siapa sangka sapi berkulit cokelat gelap itu telah berumur satu setengah tahun, sedangkan yang berkulit putih kecokelatan baru lima bulan.
Sumarsih, bendahara kelompok ternak tersebut, mengatakan sapi berkulit cokelat gelap adalah keturunan Brahman Cross alias BX. Peternak memperoleh sapi BX bunting melalui program kredit usaha pembibitan sapi (KUPS) Kementerian Pertanian pada 2009. Adapun pedet berkulit putih kecokelatan adalah anak sapi Brahman—peternak menyebutnya sapi lokal.
Muladno, guru besar pemuliaan dan genetika ternak Institut Pertanian Bogor, menjelaskan bahwa BX merupakan hasil perkawinan sapi jenis Brahman dengan Boss Taurus. Sapi Brahman merupakan keturunan Boss Indiscuss dari India kemudian masuk dan berkembang pesat di Amerika Serikat. Di Amerika, Brahman dikembangkan, diseleksi, dan ditingkatkan mutu genetiknya. Lantas diekspor ke berbagai negara, termasuk Australia dan akhirnya masuk ke Indonesia pada 1974.
Berbeda dengan Boss Indiscuss yang karakternya pas untuk hidup di daerah tropis, Boss Taurus berasal dari kawasan subtropis. Meski demikian, Muladno menambahkan, tidak ada masalah dengan genetik BX. "Dia bisa tumbuh dan bereproduksi dengan baik bila pemeliharaannya benar."
Di Magetan, program pembibitan sapi BX kelompok Bina Ternak gagal total. Sebagian besar sapi yang diterima peternak dalam kondisi bunting itu cuma melahirkan sekali. Setelah itu, sulit bunting meski dipancing dengan inseminasi buatan (IB) berkali-kali. Beberapa ekor sukses bunting, tapi pedet yang dihasilkan kerdil. "Pedet berumur satu setengah tahun lebih kurus ketimbang anak sapi lokal berusia lima bulan," kata Haryono, ketua kelompok ternak.
Prabowo Purwono Putro, pakar reproduksi sapi dari Bagian Reproduksi dan Kebidanan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, menjelaskan. semua sapi BX yang masuk ke Indonesia berasal dari Australia. Di Negeri Kanguru, sapi jenis ini biasa dilepas di padang rumput nan luas. Rumput savana yang berlimpah itu mengandung protein tinggi.
Si bongsor BX memang membutuhkan asupan banyak, yakni 10 persen dari berat badan. Bayangkan, bobot sapi gembrot ini bisa mencapai 400 kilogram—bandingkan dengan sapi lokal yang hanya 300 kilogram. Artinya, si bongsor perlu 40 kilogram makanan per hari. Itu pun harus rumput berkualitas.
BX, yang gemar bergerak bebas, menuntut tempat pemeliharaan yang lapang supaya tidak mudah stres. Savana adalah habitat yang paling pas. Di Indonesia, BX sukses dikembangbiakkan di Sidomulyo dan Jabung, Provinsi Lampung. Di sana BX dibiarkan bebas di tanah lapang. "Kuantitas dan kualitas nutrisi harus cukup. Idealnya, setiap hektare lahan digunakan untuk memelihara 5-10 ekor BX," ujar Prabowo.
Sapi BX, Prabowo menambahkan, baik untuk program penggemukan ataupun pembibitan. Masalahnya, lahan di Jawa terbatas. Makanan pun seadanya, meliputi konsentrat, jerami, dan rumput biasa yang proteinnya minim. Pemeliharaan di kandang yang sempit dan diikat membuat kualitas pertumbuhan badan dan reproduksinya merosot drastis.
Sumatera dan Kalimantan dinilai lebih pas untuk mengembangbiakkan BX, terutama karena banyak perkebunan sawit. Praktek pemeliharaan sapi terpadu dengan perkebunan sawit sangat cocok untuk jenis BX. Sapi bisa bergerak bebas di perkebunan sekaligus mendapatkan suplai makanan berlimpah dari limbah pelepah sawit.
Sapi BX juga tak bisa dipelihara di kawasan pegunungan. Suhu dingin membuat sapi mudah stres. "Kalau dipaksa, hasilnya seperti selama ini, sulit bunting. Kalaupun bisa, anaknya cebol sekaligus kurus," kata Prabowo.
Pemberian makanan tambahan yang mengandung urea, Prabowo menambahkan, tidak bisa sembarangan. Nitrogen non-alami urea bisa merusak indung telur jika diberikan dalam jumlah banyak. "Memang bisa membantu penggemukan, tapi jumlahnya harus seminim mungkin." Muladno menambahkan, urea dengan proporsi tertentu bisa digunakan sebagai campuran pakan untuk meningkatkan kadar protein.
Alhasil, Muladno menyimpulkan, sapi yang paling pas dikembangbiakkan di Indonesia adalah sapi lokal, peranakan Ongole alias PO. Peternak biasa menyebutnya sapi Jawa atau sapi putih yang karakternya sesuai dengan alam Indonesia. Sapi jenis ini tahan penyakit tropis karena secara genetis memiliki mekanisme untuk bertahan, dan bisa hidup dengan pakan seadanya seperti jerami. Kuncinya seleksi dan pemuliaan. "Pilih bibit yang paling top untuk induk."
Retno Sulistyowati, Ukky Primartantyo (Magetan), Addi Mawahibun Idhom (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo