Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KANDANG seluas satu setengah kali lapangan bulu tangkis itu tak lagi berisi sapi. Hanya beberapa tumpukan jerami teronggok di dalam kandang milik Haryono di Desa Campursari, Kecamatan Sidorejo, Magetan, Jawa Timur, itu. Sebagian bahkan berubah fungsi menjadi tempat penyimpanan telur ayam milik peternak itu.
Sebanyak 60 ekor sapi Brahman Cross alias BX bunting pernah berumah di kandang tersebut pada akhir 2010. Sembilan bulan mengandung, 50 ekor berhasil beranak, sisanya mati. Namun sebagian besar bobotnya kurang dari 28 kilogram. Bandingkan dengan bobot pedet lokal jenis peranakan Ongole (PO) yang mencapai 35-42 kilogram.
Tak puas dengan generasi baru sapi BX miliknya, Haryono memberikan inseminasi buatan (IB) atau kawin suntik agar bunting lagi. Proses IB berulang-ulang 5-10 kali. Namun sapi asal Australia itu tak kunjung bunting. Ketua kelompok tani Bina Ternak itu pun menyerah. "Saya jual induk sapi beserta pedet yang jelek itu," ujar pria 56 tahun tersebut, Rabu pekan lalu.
Menyadari usaha pembibitan sapinya di tepi jurang, Haryono menjual semua induk beserta 38 anaknya Rp 5-6 juta per ekor pada Juni 2012. Ia merugi karena sapi itu ia beli Rp 12 juta per ekor. "Itu pinjam dari bank," katanya.
Hasil penjualan digunakan untuk ongkos pakan pedet sapi BX yang tersisa 12 ekor yang dinilai masih bagus. Pedet itu diternakkan di kandang berukuran lebih kecil di sebelah kandang kosong bekas induknya itu.
Sapi BX terkenal rakus karena jumlah pakannya mencapai 10 persen dari bobotnya. Jika tidak cukup kenyang, sapi BX sulit dikawinkan. Sapi impor BX dibeli Haryono setelah mendapatkan kredit usaha pembibitan sapi (KUPS) dari PT Bank Jatim Rp 1,8 miliar pada akhir 2010.
Menteri Pertanian Suswono mengatakan KUPS merupakan program kementeriannya untuk menambah populasi sapi 1 juta ekor dalam lima tahun atau 200 ribu ekor per tahun. Program yang berjalan sejak September 2009 itu bertujuan mencapai swasembada daging sapi pada 2014.
Untuk mencapai swasembada sapi, pemerintah memilih kebijakan, antara lain, pembatasan impor daging beku dan sapi bakalan, penyelamatan betina produktif, serta menambah populasi sapi. Pembatasan impor dilakukan dengan memberlakukan sistem kuota. Adapun skema penyelamatan adalah memberikan insentif kepada peternak yang memelihara betina produktif. Realisasi anggaran program ini mencapai Rp 1,3 triliun selama tiga tahun terakhir.
Sedangkan penambahan populasi dengan cara merangsang peternak, kelompok peternak, dan perusahaan mengembangkan usaha pembibitan sapi dengan bantuan kredit perbankan berbunga rendah, yakni 5 persen. Inilah yang disebut program KUPS.
Bunga rendah KUPS berasal dari subsidi bunga 6,5 persen yang dibayar negara. Semestinya bunga normal adalah 11,5 persen. Plafon maksimal KUPS sebesar Rp 66,315 miliar. Kementerian Keuangan, yang ikut mengatur skema pembiayaan, berhasil meneken kerja sama dengan 11 bank yang bersedia menyiapkan anggaran Rp 3,96 triliun.
Bank pelaksana KUPS antara lain Bank BRI, Bank BNI, Bank Mandiri, Bank BPD Jateng, Bank BPD Jatim, Bank BPD Bali, dan Bank BPD NTB. Hingga Februari lalu, realisasinya baru mencapai Rp 509,1 miliar kepada 300 kelompok peternak, 14 koperasi, dan 10 perusahaan. "Realisasinya di bawah target," kata Syukur Iwantoro, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Selasa pekan lalu. Dengan realisasi sebesar itu, bunga yang dibayar negara mencapai Rp 33,1 miliar.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 40 Tahun 2009, peternak yang mendapat pinjaman kredit pembibitan harus membeli sapi impor, peranakan impor, atau sapi lokal. Mengacu pada aturan itu, seharusnya peternak diberi kelonggaran memilih jenis sapi.
Namun praktek di lapangan, seperti dialami Haryono, ibarat bumi dan langit. Haryono disodori persyaratan harus membeli sapi BX dari PT Lembu Jantan Perkasa, perusahaan penggemukan dan pembibitan sekaligus importir sapi Australia. Tidak ada pilihan lain untuk Haryono. "Bahkan saya diantar pegawai Bank Jatim mengambil sapi di kandang importir di Cianjur, Jawa Barat," ujarnya.
Nasib serupa dialami Ahmad Ali, ketua kelompok ternak Palagan Rojokoyo, Desa Mbluri, Kecamatan Selokaro, Lamongan, juga di Jawa Timur. Pria 61 tahun itu mendapat pinjaman KUPS Rp 1,5 miliar dari Bank Jatim untuk membeli 100 ekor sapi setelah dirayu pegawai Dinas Peternakan Jawa Timur. "Pegawainya mendatangi saya," katanya.
Ali menjaminkan beberapa aset tanah. Ia juga meneken syarat yang diajukan, yaitu wajib membeli sapi BX di PT Widodo Makmur Perkasa dan PT Lembu Jantan Perkasa. Hal serupa dialami Setiohadi, ketua kelompok Lembu Subur di Desa Tanjungsari, Pacitan, yang mendapatkan kredit Rp 815 juta dari Bank Jatim Cabang Madiun untuk membeli 47 ekor sapi BX dari PT Lembu Jantan.
Belakangan Ali dan Setiohadi mengalami kerugian yang sama seperti Haryono. Sapi bunting yang dibelinya Rp 12-14 juta per ekor itu gagal melahirkan. Mereka terpaksa menjual sapi BX itu sangat murah, yakni di bawah Rp 4 juta per ekor, dan menanggung kredit perbankan. "Saya khawatir agunan saya disita."
Pengucuran kredit juga meruapkan aroma kongkalikong antara pihak perbankan, Kementerian Pertanian, dan importir. Pasalnya, baik Haryono maupun Ali tidak pernah menerima bahkan sekadar melihat dana pinjamannya. Semua ongkos pembelian sapi langsung ditransfer bank kepada PT Widodo Makmur dan PT Lembu Jantan.
Menurut Ali, peternak tidak bisa menolak perintah Tjeppy Daradjatun Soedjana, Direktur Jenderal Peternakan, kala itu, untuk membeli sapi BX dari Widodo Makmur dan Lembu Jantan. Ali juga kecewa kepada kedua importir karena ongkos pengiriman sapi dari kandang importir di Cianjur dan Serang, Banten, sebesar Rp 650 ribu per ekor, dibebankan ke peternak. "Ini di luar kredit yang mengucur. Kejanggalan lain adalah peternak tidak pernah menerima polis asuransi yang telah dibayar sebesar Rp 756 ribu per ekor."
Sumber Tempo di Kementerian Pertanian mengatakan, saat KUPS digulirkan, Widodo Makmur dan Lembu Jantan termasuk perusahaan yang banyak mengimpor sapi BX. Melimpahnya sapi impor BX terkait dengan kebijakan Menteri Pertanian Anton Apriantono saat itu untuk membuka keran impor sapi sebebas-bebasnya pada 2009. "Membuat sapi impor melimpah dan harga jatuh."
Maskur, Kepala Dinas Peternakan Jawa Timur, membantah mewajibkan peternak membeli sapi BX. "Yang mengarahkan pemerintah pusat, kami hanya fasilitator," ujarnya. Djoko Lesmono, Direktur Bisnis Menengah dan Korporasi PT Bank Jatim, membantah jika pihaknya disebut mentransfer dana ke importir. "Kami mengirimkan kepada debitor langsung, bukan importir."
Tjeppy, yang kini menjabat di Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, menyangkal tuduhan itu. "Kami tidak pernah merekomendasikan," katanya. Toni Wibowo, Direktur Lembu Jantan, menjawab senada. "Kami hanya menjual putus," ujarnya. Adapun Giono dari manajemen Widodo Makmur memilih tak berkomentar. "Saya tidak tahu."
Pengucuran KUPS juga berlumur korupsi. Sumber Tempo di Kementerian Pertanian mengatakan beberapa politikus daerah menggalang peternak untuk membentuk badan usaha dan mengajukan kredit. Politikus broker ini mengurus kredit hingga pembelian sapi di importir tertentu. "Peternak tahu-tahu sudah mendapatkan sapi bibit dan membayar cicilan," katanya.
Para broker ini diduga kuat mengambil keuntungan dengan menjual sapi lebih mahal kepada peternak. Dayan Antoni menguatkan modus korupsi broker-peternak ini. Koordinator Dewan Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia ini mengakui pernah dipanggil polisi yang tengah mengusut kasus korupsi pengadaan sapi bibit di Sumatera Selatan. Menurut dia, sang broker menggelembungkan harga sapi bibit BX yang dibeli dari perusahaannya, PT Santoso Agrindo (Santori). "Modusnya memalsukan kuitansi."
Muladno, guru besar pemuliaan dan genetika ternak Institut Pertanian Bogor, mengatakan karut-marut program KUPS karena kegagalan membibitkan sapi BX. Budi daya sapi BX harus dilepas di ladang tanpa diikat, sehingga dibutuhkan lahan yang luas. "Lebih cocok untuk peternakan besar, kelas industri."
Adapun budi daya pembibitan sapi BX oleh peternak lokal dilakukan di kandang dan diikat. Hasilnya, sapi dilanda stres berat. Ini diperparah oleh suplai pakan dan nutrisi yang buruk. Sapi yang kurus dan stres akan kesulitan mencapai berahi, sehingga tidak bisa dikawinkan, baik secara alami maupun kawin suntik. "Alat reproduksi yang semula bagus menjadi mandul," kata Muladno. Kesulitan berahi dan fertilitas rendah inilah yang dialami sapi BX milik Haryono, Ali, dan Setiohadi.
Dayan mengatakan kegagalan KUPS karena banyak diberikan ke peternak lokal yang tidak mengetahui cara beternak sapi BX. Dayan, yang mengatakan berhasil membibitkan 5.000 ekor sapi BX, menilai kesalahan Kementerian Pertanian adalah tidak memberikan pelatihan cara beternak sapi BX. "Peternak lokal tidak biasa dengan sapi BX."
Kendati mengakui KUPS gagal, Menteri Suswono enggan merevisi target swasembada daging. "Kita masih akan mendorong investasi," ujarnya. Dayan menilai swasembada daging tahun depan sulit dicapai dengan kebijakan yang sporadis. "Swasembada itu butuh puluhan tahun, bukan kebijakan instan lima tahun."
Di lapangan, karut-marut kebijakan swasembada sapi membuat Haryono, Ali, Setiohadi, dan peternak kecil lain harus menanggung kredit macet miliaran rupiah. "Saya sudah tidak punya uang. Mau dipenjara juga silakan," kata Setiohadi.
Akbar Tri Kurniawan, Retno Sulistyowati, Ukky Primartantyo (Magetan), Diananta P. Sumedi (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo