Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis pekan lalu, seakan menjadi antiklimaks dari kericuhan pekan sebelumnya. Sidang paripurna terakhir yang menutup masa persidangan periode ketiga tahun ini laksana sayur tanpa garam. Aroma ketegangan pada pekan-pekan sebelumnya seperti menguap.
Kendati formulir absensi anggota nyaris penuh, ruangan justru tampak hampir kosong melompong. Hanya beberapa meja yang terisi. Beberapa anggota yang telah hadir lebih dulu satu per satu beranjak keluar dan tak kembali lagi. Masa reses selama lima minggu agaknya menyebabkan mereka bergegas meninggalkan ruang sidang.
Padahal, ada agenda besar sedang menanti. Pemerintah Rabu pekan lalu menyetorkan rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2005. Bak memberikan pekerjaan rumah untuk anak didiknya, ketika menyerahkan naskah APBN Perubahan dan surat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno, Menteri Keuangan Yusuf Anwar mengatakan, "Silakan DPR mempelajari dulu selama masa reses."
Surat singkat Presiden—yang menjelaskan apa saja bahan yang diserahkan pemerintah—kemudian dibacakan da-lam sidang paripurna. Tak ada reaksi setelah pembacaan surat itu. Suasananya hambar dan menjemukan.
Perubahan itu adalah buntut dari kebijakan pemerintah yang menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 1 Maret silam. Kebijakan itu kemudian memicu keributan antar-anggota DPR. Pada mulanya, enam fraksi menolak kebijakan tersebut, dua fraksi mendukung, dan dua fraksi mengambang. Tapi, dalam sidang paripurna yang berlangsung pekan lalu, melalui pemungutan suara, DPR menetapkan akan meninjau kembali kebijakan tersebut lewat mekanisme perubahan anggaran.
Materi perubahan itu sebenarnya tak terlalu jauh dari yang pernah disampaikan pemerintah sebelumnya. Dari rancangan yang diperoleh Tempo, selain mengurangi subsidi BBM, dan menambah alokasi pemberian kompensasi, pemerintah juga memperhitungkan dampak penundaan pembayaran bunga utang luar negeri—hasil keputusan Paris Club—serta beban rekonstruksi dan pemulihan di Nanggroe Aceh Darussalam pasca-bencana tsunami 26 Desember lalu, plus kebutuhan dana untuk penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.
Selain itu, pemerintah juga mengubah asumsi makro yang menjadi dasar penyusunan anggaran. Harga minyak mentah Indonesia (ICP), misalnya, dinaikkan dari US$ 24 per barel menjadi US$ 35, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika diprediksi melemah pada kisaran rata-rata Rp 8.900, serta rata-rata tingkat suku bunga sertifikat Bank Indonesia berjangka tiga bulan diperkirakan naik menjadi delapan persen (lihat tabel).
Dalam penjelasan pemerintah, perubahan ini dilakukan untuk mendekatkan asumsi dengan realitas yang ada. Seperti diketahui, harga minyak mentah di pasar dunia jauh di atas patokan yang lama US$ 24 per barel. Namun, perubahan ini ternyata justru menaikkan beban subsidi BBM menjadi Rp 39,8 triliun. Ini tentu saja belum memperhitungkan dampak kenaikan harga minyak mentah jika terus di atas US$ 35 per barel. Dalam tiga bulan ini, harga minyak mentah dunia bisa dibilang tak pernah berada di bawah US$ 40 per barel.
Di luar itu, perubahan asumsi ini juga menyebabkan bunga utang dalam negeri naik 6,6 persen menjadi Rp 41,6 triliun. Untunglah, Paris Club memberikan perpanjangan masa pembayaran utang Indonesia senilai US$ 2,6 miliar. Walhasil, beban pembayaran bunga utang secara keseluruhan "terlihat" lebih rendah tujuh persen dari yang direncanakan sebelumnya.
Namun, bukan berarti segala asumsi dan argumen itu akan diterima dengan mulus di DPR. Ketua Panitia Anggaran, Emir Moeis, tidak menutup kemungkinan bahwa pembahasan APBN Perubahan akan berujung penolakan. Tapi, anggota Fraksi PDIP ini yakin, fraksinya tidak akan memboikot pembahasan APBN Perubahan atau menarik anggotanya dari Panitia Anggaran kendati tetap menolak kebijakan kenaikan harga BBM.
Selain itu, kata Rama Pratama dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, pembahasan di Panitia Anggaran mau tak mau akan mengulang perdebatan lama. Fraksinya akan tetap menyorot pemberian kompensasi, yang berfokus pada bidang pendidikan dan kesehatan. "Kami ingin tidak ada program ala sinterklas, seperti beasiswa," katanya. Dia menambahkan, "Lebih baik pendidikan dan kesehatan itu gratis tanpa terkecuali, sehingga kontrolnya lebih mudah."
Melihat hasil sidang paripurna Senin pekan lalu, tampaknya pembahasan APBN Perubahan tak akan berjalan mulus. Paling tidak, dua fraksi, PDIP dan Kebangkitan Bangsa, akan terus mempersoalkan kebijakan pemerintah itu. Bukan tidak mungkin pembahasannya akan berlarut-larut. Akibatnya, pemerintah akan kesulitan menerapkan berbagai kebijakan yang landasannya APBN Perubahan, termasuk pengucuran dana kompensasi. Untuk sampai ke sana pun, rakyat mesti menunggu wakil rakyat reses lebih dari sebulan.
Dara Meutia Uning
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo