Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ruangan itu tersembunyi. Ngumpet di antara bangunan-bangunan kompleks Gereja Katedral, sehingga kebisingan yang berpusat di Jalan Pattimura, Ambon, hanya sayup terdengar. Tapi inilah satu-satunya ruangan berpapan nama di situpapan nama yang bertulisan "Perpustakaan Rumphius".
Dalam ruang berukuran 11 x 11 meter itu, Suster Magdalena, berbaju dan berkerudung putih, duduk menghadapi sebuah buku tamu dan pena. Masih di ruangan yang sama, Monsinyur Andreas Petrus Cornelis Sol, sibuk di depan dua meja lainnya. Usianya 90 tahun, tapi langkahnya gesit, hilir-mudik di antara ruangan ini dan ruangan dalam, sebuah ruangan yang menampung tiga buah rak besar, dua lemari besar, dan dua lemari sedang.
Nama Rumphius diambil sebagai tanda penghargaan bagi biolog Jerman, Georg Everhard Rumphius (1627-1702), sosok yang juga pernah banyak menulis artikel ilmiah tentang tetumbuhan dan binatang di kawasan Maluku paruh kedua abad ke-17demikian Monsinyur Sol menjelaskan berdirinya perpustakaan itu. Ia memang menerjemahkan dan menerbitkan biografi singkat Rumphius beserta salah satu laporannya tentang peristiwa gempa dahsyat di kawasan Ambon pada 1674.
Rumphius menulis laporan itu pada 1675. Ia tak bisa mengumpulkan data tentang jumlah korban, namun laporannya memerinci berbagai indikasi awal gempa, keadaan saat gempa terjadi, dan kerusakan yang terjadi setelah gempa. Buku Rumphius yang menyentuh soal gempa dahsyat di Amboina dan sekitarnya itu diterbitkan kembali oleh Sol dalam empat bahasa (Jerman, Belanda, Inggris, dan Indonesia).
Sol mendirikan perpustakaan ini sekitar dua dasawarsa silam. Ia mulai mengumpulkan berbagai literatur mengenai Maluku, terutama tentang kesenian di Maluku Tenggara, Tanimbar, dan Kei. Hasilnya kemudian adalah sebuah buku berjudul Forgotten Island yang ditulis Nico de Jonge dan Toos van DijkSol memberikan kontribusi besar untuk bahan penulisan buku tersebut.
Kita tahu, di wilayah itu perpustakaan sering menjadi korban konflik. Hingga 1940-an, keuskupan Ambon sebenarnya telah memiliki perpustakaan kecil. Namun, Jepang mendarat dan perpustakaan itu pun dibakar. Nasib yang sama juga menimpa perpustakaan itu saat Perang Kemerdekaan dan saat bentrok pasukan RI dengan pasukan Republik Maluku Selatan (RMS).
Kini, Perpustakaan Rumphius jadi semakin berarti setelah terbakarnya perpustakaan Universitas Pattimura dan Universitas Kristen Ambon. Untuk mengamankan buku-buku koleksinya, didirikan pintu besi yang memisahkan ruang depan dan ruang dalam. Koleksi perpustakaan ini memang berharga. Pada sebuah rak berkaca transparan, Perpustakaan Rumphius memperlihatkan sebuah buku berusia 250 tahun lebih. Buku karya Francois Valentyn berjudul Beschryving van Groot Daja, of the Java, cetakan 1721. Buku berukuran sekitar 20 x 30 cm ini memiliki mutu cetak yang kuat, semua isinya terawat baik, huruf-hurufnya jelas. Juga, tentang kisah perjalanan Santo Franciscus Xaverius yang ditulis oleh Institut Sejarah milik Ordo Yesuit di Roma. Ia hidup cukup lama di Ambon.
Masuk ke ruangan dalam, kita disambut oleh lemari besar dengan deretan majalah National Geographic, koleksi yang tak pernah putus sejak 1916 hingga sekarang. Punggung majalah ini yang berwarna kuning berderet rapi, di samping sebuah buku indeks dari National Geographic dari 1888 hingga 1988. Jadi, dari 117 tahun usia majalah itu, perpustakaan ini hanya absen edisi 28 tahun pertamanya.
Kini, di masa tuanya, Monsinyur Sol bekerja di Perpustakaan Rumphius, merawat buku-buku koleksinya, membuat katalog, dan melayani pengunjung yang membutuhkan bantuan. Semua ia lakukan dari pukul 8 pagi hingga 12 siang. Pada pukul 11.30 akan ada sebuah mobil yang menjemput Monsinyur untuk mengantarkan kembali ke kediamannya di daerah Batu Gantung, Ambon.
Sol sadar betul kekayaan yang dimilikinya. Perpustakaan ini juga memiliki karya-karya tulis etnografi Ambon dalam bahasa Jerman, Prancis, dan Inggris. Dengan bahan sejarah yang demikian melimpah, Sol pernah mengoreksi pendapat Pemda Maluku tentang hari lahir kota Ambon. Pemda berpendapat kota Ambon didirikan pada tanggal 7 September 1605, bersamaan dengan pendirian benteng Victoria. Tetapi Sol punya data kuat yang menunjukkan bahwa kota Ambon telah ada 30 tahun sebelumnya, saat Benteng Victoria pertama kali didirikan oleh Portugis.
Ignatius Haryanto, Ambon
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo