Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ibu muda dari bocah berusia satu setengah tahun itu memang tak sempat mengecap pendidikan tinggi. Sebagai buruh jahit di pabrik PT Great River International Tbk. yang terletak di Purwakarta, Jawa Barat, sulit baginya memahami apa yang tengah terjadi dengan perusahaannya, yang sejak awal tahun lalu jadi bahan perbincangan hangat di koran dan televisi. Tapi toh kecemasan itu mampir juga di benaknya: perusahaan tempatnya mencari nafkah terancam gulung tikar.
Tanda-tanda kesuraman perusahaan garmen itu bukannya tak terasa. Munaroh?sebut saja perempuan 28 tahun itu demikian?bahkan sudah menanggungnya sejak Lebaran, November tahun lalu. Sejak itu pembayaran gaji Munaroh dan 600-an rekannya yang berstatus karyawan tetap maupun kontrak harian mulai tak ajek. "Bayaran selalu tidak tepat waktu," tutur warga Kampung Campaka Sari, Purwakarta, yang sudah sembilan tahun bekerja di Great River itu. Upah bulan ini mereka terima 30 persen di muka. "Sisanya dicicil," katanya.
Sudah lama pula Munaroh tak bisa berharap ada uang tambahan selain gajinya yang Rp 320 ribu tiap dua minggu itu. Jangankan lembur, dari 19 line yang terpasang di pabriknya, kini tiap hari paling banter cuma tiga di antaranya yang beroperasi. Seluruh produksi untuk memenuhi pasar lokal sudah dihentikan, dan hanya menyisakan pekerjaan berdasarkan pesanan ekspor. "Di antara kami beredar kabar bahwa Juni nanti akan ada pemutusan hubungan kerja massal," katanya kepada Tempo, yang menemuinya Jumat petang lalu di rumahnya.
Jelas tak hanya Munaroh yang resah. Selain di Purwakarta, perusahaan yang dirintis oleh Sukanta Tanudjaja sejak 1976 itu juga memiliki pabrik di Cibinong dan Cikarang, dengan total karyawan tak kurang dari 12 ribu orang. Selalu tampil dengan laporan kinclong setiap kali paparan publik dilakukan para pengelolanya, kini perusahaan dengan kode GRIV di lantai Bursa Jakarta ini benar-benar terancam tinggal cerita (lihat tabel).
Baru pertengahan Oktober lalu Sunjoto Tanudjaja, putra Sukanta yang meneruskan memimpin Great River, menyatakan optimismenya. Ia tetap bersemangat, meski banyak orang melihat industri tekstil akan meredup dengan dihapuskannya kuota ekspor ke Amerika Serikat yang mulai berlaku Januari tahun ini. Bulan itu juga, setelah melalui serangkaian lobi sejak September, akhirnya Bank Mandiri mencairkan dua per tiga bagian dari Rp 300 miliar kredit yang dijanjikan. Sampai di situ langit Great River masih cerah.
Pelan tapi pasti, riak-riak mulai menggoyahkan aliran Great River?terjemahan dari nama asli Sukanta, Chen Da Jhiang (da berarti "besar" dalam bahasa Mandarin, dan jhiang berarti "sungai")?ketika berita pemeriksaan terhadap dugaan perdagangan semu saham GRIV mencuat ramai di media massa pada Desember. Transaksi yang dimaksud terjadi sejak Februari hingga Mei 2004, dan sebenarnya sudah dilaporkan Bursa Efek Jakarta (BEJ) kepada Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) sebulan ke-mudian.
Otoritas pasar modal menduga transaksi yang melambungkan harga saham GRIV dari Rp 300 menjadi Rp 600 per lembarnya ini terkait dengan pemegang saham pengendali di perusahaan. Kebetulan, pada Februari itu juga Great River baru saja mendapat kucuran pinjaman dari PT Asuransi Jiwasraya sebagai modal kerja, Rp 87,5 miliar.
Namun, kesimpulan penyelidikan itu belum ada hingga kini, meskipun sudah lebih dari 20 orang diperiksa Bapepam. "Prosesnya baru 50 persen berjalan," kata Kepala Biro Pemeriksaan dan Penyidikan Bapepam, Abraham Bastari. Tapi, bagi GRIV, sejak Desember itulah efek bola salju dari berita ini seperti tak terbendung menghajar mereka.
Great River makin tak berkutik ketika bulan itu juga tiba-tiba Bank Mandiri menunda komitmen mereka untuk mengucurkan Rp 100 miliar kredit yang tersisa. Dan yang terjadi kemudian adalah serangkaian bencana. Pada 13 Januari, BEJ menghentikan perdagangan saham perusahaan ini, menyusul kegagalan Great River membayar bunga obligasi kelima sebesar Rp 11 miliar yang jatuh tempo.
Selain bunga obligasi yang diterbitkan pada 2003 senilai total Rp 300 miliar itu, ternyata arus kas perusahaan ini masih pula dibebani dengan obligasi anak perusahaan, PT Inti Fasindo Internasional, senilai Rp 100 miliar yang juga bermasalah. Inti Fasindo tak mampu membayar dana penyisihan untuk pelunasan obligasi atau sinking fund senilai Rp 17 miliar, yang jatuh tempo pada 6 Januari 2005.
Situasi memojokkan ini seperti memaksa Sunjoto hengkang dari perusahaan warisan ayahnya. Pada 16 Februari, bersama Bank Mandiri sebagai kreditor utama dan Nikko Securities sebagai penjamin emisi obligasi, ia menunjuk kuasa direksi, masing-masing Wakil Presiden Direktur PT Plaza Indonesia Realty Boyke Gozali, Presiden Komisaris PT Indonesian Paradise Property Tbk. Todo Sihombing, dan konsultan asal Singapura Tan Bin Keat.
Jika pemegang saham setuju, para caretaker ini pun menyatakan kemungkinan mereka akan menjadi investor baru. Tapi, itu tak berlangsung lama. Sepekan kemudian, Boyke dan Todo mundur. Boyke tak pernah memberi keterangan gamblang soal ini. Namun, menurut Direktur Utama Bank Mandiri, E.C.W. Neloe, keponakan istri konglomerat Sjamsul Nursalim itu memilih mundur karena Sunjoto masih berusaha melakukan intervensi.
Sejak itu praktis Sunjoto tinggal di Singapura, meski KTP yang dipegang master administrasi bisnis dari Columbia University ini masih beralamat di Jalan Karang Asem Raya, Kuningan Timur, Setiabudi, Jakarta. Tempo, yang berusaha menghubunginya, pun tak pernah mendapat jawaban. "Sesekali ia menelepon, tapi nomornya tak pernah bisa saya lacak," kata salah seorang rekan bisnis Sunjoto. Nomor telepon seluler yang biasa dipakainya pun kini tak bisa dihubungi atas permintaannya.
Hanya sesekali ia datang ke Jakarta, seperti ketika pada 5 Maret lalu ia menandatangani penunjukan kuasa direksi baru yang terdiri dari Kristanto Setyadi, D. Swantopo, Hasanuddin Rachman, dan Doddy Soepardi. Nama Kristanto dibawa oleh Nikko karena pengalamannya sebagai pengusaha garmen. "Jadi, mereka tidak bisa menipu soal seluk-beluk bisnis ini," kata sumber yang terlibat dalam proses itu. Swantopo direkomendasikan Bank Mandiri untuk mengurusi keuangan karena latar belakangnya mengepalai kantor Bank Exim di Surabaya.
Dua nama lain berasal dari manajemen lama Great River. Hasanuddin diharapkan mampu mengendalikan sumber daya manusia yang mulai resah di perusahaan itu. Sedangkan Doddy, mantan direktur jenderal di Departemen Perindustrian dan Perdagangan, adalah orang kepercayaan Tanudjaja. Sukanta sendiri hari itu turut hadir dalam kapasitasnya sebagai honorary chairman di Great River. Keempatnya diberi hak penuh mengelola perusahaan, mulai dari merencanakan bisnis hingga menjalankannya, termasuk mengambil keputusan dalam rapat umum pemegang obligasi.
Di atas kertas, Sunjoto Tanudjaja, yang sebelumnya menguasai 51 persen saham GRIV, praktis sudah kehilangan andilnya. Dalam berbagai kesempatan, Neloe mengatakan pihaknya sudah menerima pengalihan 30 persen saham dari Sunjoto sebagai jaminan atas kredit dan obligasi yang mereka pegang. Saham dengan besaran sama dikuasai Nikko, dan selebihnya tercecer di banyak pihak, termasuk tujuh persen yang ada di Renaissance Capital, sebuah perusahaan yang diduga terkait dengan Sunjoto.
Melalui pertemuan di kantor Bapepam pada 9 Maret lalu, sehari sebelum Sunjoto merayakan ulang tahunnya yang ke-52, Sukanta kembali membuktikan sayangnya pada anak dan perusahaan yang didirikannya itu. Ia bersedia ikut urunan Rp 2 miliar sebagai bagian dari dana jangka pendek Rp 10 miliar yang dibutuhkan untuk mengoperasikan Great River. Maklum, gaji karyawan harus dibayar dan tagihan listrik yang sempat menunggak Rp 1,2 miliar harus dilunasi agar kantor pusat mereka di Kuningan tak gelap-gulita. Kebutuhan selebihnya dibagi dua, masing-masing Rp 4 miliar dari Mandiri dan Nikko.
Tapi bisnis adalah bisnis. Karena itu, meski keduanya mengatakan kesediaan itu merupakan tanggung jawab mereka atas nasib 12 ribu karyawan seperti Munaroh, tindakan itu dilakukan bukan tanpa perhitungan. Mandiri memasukkan talangan yang dicairkan pada 16 Maret itu sebagai bagian dari komitmen kreditnya yang belum cair. Nikko sendiri sampai sekarang masih belum keluar uang karena menunggu kepastian pengalihan lima persen saham tambahan dari pemilik lama kepada mereka direalisasi.
Tak banyak yang tahu apa sebenarnya yang tengah dirancang Sunjoto untuk mencegah kebuntuan kisah dominasinya di Great River. Tapi, teman dan sahabat keluarganya menyayangkan Sunjoto yang tinggal di Singapura. "Mestinya dia di sini, atau orang akan langsung menuduh memang dialah biang kehancuran perusahaannya sendiri," kata seorang pengusaha besar yang dekat dengan Sukanta. "Bapaknya sedih melihatnya jadi begini," tuturnya.
Pendapat lain dikemukakan berbagai pihak, salah satunya seorang pengusaha yang sudah belasan tahun membantu Sunjoto. Kondisi Great River sendiri memang cukup parah di tangan Sunjoto. Tapi, melihat begitu sistematisnya perusahaan sebesar ini remuk hanya dalam hitungan bulan, ia yakin yang tengah terjadi sebenarnya ialah upaya akuisisi dari satu kelompok usaha melalui kerja sama begitu rapi bersama sejumlah pihak. "Ada 26 merek dan jaringan distribusi mapan yang akan bisa ditangguk dengan harga sangat murah kalau Great River bangkrut," katanya. Cuma, tak mudah membuktikannya.
Y. Tomi Aryanto, Nanang Sutisna (Purwakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo