Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi mencabut izin usaha PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Pencabutan izin usaha tersebut tertuang dalam surat Keputusan Anggota Dewan Komisioner OJK Nomor KEP 9/D.05/2025 per tanggal 16 Januari 2025 dan diumumkan di laman resmi OJK pada Rabu, 20 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam surat keputusan itu disebutkan bahwa OJK mencabut izin usaha Jiwasraya dalam rangka melindungi kepentingan pemegang polis dan/atau tertanggung perusahaan yang beralamat di Jalan Ir. H. Juanda Nomor 34, Jakarta Pusat tersebut. Lantas, seperti apa sejarah Jiwasraya hingga akhirnya kini dilarang beroperasi?
Sejarah Jiwasraya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melansir laman resminya, Jiwasraya didirikan pada 31 Desember 1859 oleh pemerintah Hindia Belanda, dengan nama Nederlandsch Indische Levensverzekering en Lijfrente Maatschappij van 1859 (NILLMIJ). Pendiriannya tercantum dalam Akta Notaris William Hendry Herklots Nomor 185.
Kemudian, sejalan dengan program nasionalisasi perekonomian Indonesia pada 1957, kepemilikan NILLMIJ 1859 diambil alih Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 1958. Sejak 17 Desember 1959, NILLMIJ 1859 berganti nama menjadi PT Perusahaan Pertanggungan Djiwa Sedjahtera.
Dengan diterbitkannya PP Nomor 214 Tahun 1951, sembilan perusahaan asuransi jiwa milik Belanda, dengan NILLMIJ 1859 sebagai intinya, dilebur menjadi Perusahaan Negara Asuransi Djiwa Eka Sedjahtera. Lalu, berdasarkan Keputusan Menteri PPP Nomor BAPN 1-3-24, nama Perusahaan Negara Asuransi Djiwa Eka Sedjahtera kembali direvisi, sehingga menjadi Perusahaan Negara Asuransi Djiwa Djasa Sedjahtera pada 1 Januari 1965.
Nama baru bagi Perusahaan Negara Asuransi Djiwa Djasa Sedjahtera kembali diberikan. Melalui PP Nomor 40 Tahun 1965, perusahaan negara yang baru, yaitu Perusahaan Negara Asuransi Djiwasraya didirikan, yang berasal dari peleburan Perusahaan Negara Asuransi Djiwa Djasa Sedjahtera.
Pada 1 Januari 1966, Menteri Urusan Perasuransian mengeluarkan surat keputusan (SK) Nomor 2/SK/66, yang menyatakan PT Pertanggungan Djiwa Dharma Nasional dikuasai pemerintah dan diintegrasikan ke dalam Perusahaan Negara Asuransi Djiwasraya.
Dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, yang dicatatkan dalam Akta Notaris Imas Fatimah dengan Nomor 10 pada 12 Mei 1998, Akta Perbaikan Nomor 19 pada 8 September 1998, dan Tambahan Berita Negara Nomor 1671 pada 16 Maret 2000, serta Akta Perubahan Notaris Sri Rahayu dan Prasetyo Nomor 3 pada 14 Juli 2003, Perusahaan Negara Asuransi Djiwasraya resmi diubah menjadi PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
Perjalanan Kasus Jiwasraya
Pada September 2019, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bidang asuransi jiwa, Jiwasraya menghadapi tekanan likuiditas, sehingga ekuitas tercatat negatif. Selain itu, perseroan membutuhkan dana sebesar Rp 32,89 triliun agar bisa kembali sehat.
Jika dirunut, maka permasalahan Jiwasraya sudah terjadi sejak 2000-an. Berikut kronologinya:
Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dilantik pada 20 Oktober 2004. Dua tahun setelahnya, Jiwasraya menderita masalah keuangan berupa defisit hingga lebih dari Rp 3 triliun. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan menolak memberi pendapat atau opini disclaimer atas laporan keuangan Jiwasraya.
Pada 2009, Menteri BUMN kala itu, Sofyan Djalil mengusulkan penyertaan modal negara (PMN) untuk Jiwasraya. Usulan disampaikan ke Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, tetapi Bendahara Negara meminta agar Jiwasraya diaudit terlebih dahulu.
Usulan PMN itu juga ditulis di laman resmi Jiwasraya dengan judul artikel Utang Lenyap dalam Operasi Senyap. Mantan Direktur Utama Jiwasraya, Hendrisman Rahim bercerita dalam artikel bahwa perusahaan juga memiliki utang Rp 6,7 triliun pada 2008, sehingga diajukan PMN, tetapi gagal. “Kami sudah mengajukan PMN, tapi baru sebatas draf saja sudah ditolak,” kata Hendrisman.
Pada 2010, Kepala Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), Fuad Rahmany menilai bailout hanya akan berdampak pada kelayakan dan rencana penyehatan Jiwasraya, sehingga pada akhirnya tidak pernah diberikan. Pada 2012, Kementerian BUMN di bawah Dahlan Iskan sepakat menambah modal untuk Jiwasraya.
Namun, melalui situs miliknya, Disway.id, pada Minggu, 29 Desember 2019, Dahlan Iskan menyatakan dirinya tidak setuju memberikan PMN kala itu. Dia juga menceritakan jawaban dari rekannya yang memahami kasus Jiwasraya. “Waktu itu memang ada usulan dari staf, agar disuntik modal. Tapi Pak Menteri (Dahlan Iskan) menolak usulan itu,” tulis Dahlan menirukan jawaban rekannya.
Di tahun yang sama, Jiwasraya menerbitkan produk asuransi JS Saving Plan. Produk tersebut diluncurkan sebelum OJK resmi beroperasi menggantikan Bapepam-LK pada akhir 2013. Produk itu pula yang menjadi cikal bakal default Rp 12,4 triliun di Jiwasraya.
Pada 2014-2015, BPK menerbitkan laporan yang berisi banyak temuan soal kinerja Jiwasraya, salah satunya pengelolaan investasi yang tidak sesuai ketentuan. Pada 2016, BPK memberi peringatan default atas pembelian surat utang jangka menengah milik PT Hanson International Tbk. OJK di bawah Muliaman Hadad pun sudah mengawasi Jiwasraya.
Sejak 2018-2019, OJK meminta Jiwasraya melakukan penyehatan. Jiwasraya memberikan opsi roll over polis dengan skema pembayaran di muka sebesar 7 persen netto, serta opsi pemberian bungan pengembangan efektif sebesar 5,75 persen netto.
Bersamaan dengan itu, Jiwasraya kembali mengajukan PMN sebesar Rp 32 triliun. Selain untuk menutupi dana nasabah yang gagal dibayar, uang tersebut juga dipakai untuk memperbaiki kondisi keuangan perusahaan.
Kemudian, pada 2020, enam orang terdakwa perkara dugaan korupsi pengelolaan dana dan penggunaan dana investasi di Jiwasraya didakwa memperkaya diri sendiri atau orang lain, sehingga merugikan negara sebesar Rp 16,807 triliun.
Adapun terdakwa meliputi Dirut Jiwasraya 2008-2019 Hendrisman Rahim, Direktur Keuangan Jiwasraya 2013-2018 Hary Prasetyo, Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya Syahmirwan 2008-2014, Dirut PT Hanson International Tbk Benny Tjokrosaputro, Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk Heru Hidayat, serta Direktur PT Maxima Integra Joko Hartomo Tirto.
Fajar Febrianto berkontribusi dalam penulisan artikel ini.