Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEBERAPA minggu terakhir, para petinggi Pertamina di Jakarta seperti dihinggapi "sindrom Ginandjar". Mereka bersikap ekstrahati-hati bila menandatangani kontrak karena jika salah langkah, bui Kejaksaan Agung sudah menunggu. Bencana itulah yang kini menimpa mantan Mentamben Ginandjar Kartasasmita, karena dituduh merugikan negara lantaran menyetujui kontrak minyak untuk PT Ustraindo Petrogas.
Bicara tentang sindrom, sikap ekstrahati-hati memang terlihat dua pekan lalu, ketika dengan tiba-tiba Direktur Utama Pertamina Baihaki Hakim menyatakan pemberian kontrak bantuan teknis (TAC) lapangan minyak Cepu bermasalah. Bahkan Baihaki menyebutnya hostile take-over. Itu disusul penegasan yang berbunyi, "Pertamina harus mendapatkan kembali miliknya."
Pernyataan Baihaki ini memang mengejutkan. Ucapan itu bernuansa antiklimaks karena beberapa pekan sebelumnya, Mobil Cepu Ltd.anak perusahaan ExxonMobil Indonesia (EMOI)menemukan cadangan minyak 250 juta barel di Blok Cepu. Saat itu dengan gembira EMOI menyebarkan pernyataan bahwa mereka akan segera berproduksi pada tahun 2003 dengan kapasitas 4.280 barel per hari dari sumur Banyu Urip-3.
Ternyata jalan tak selalu lempang buat perusahaan minyak berpenghasilan terbesar di jagat raya itu. Hasil penelusuran Pertamina menemukan beberapa kejanggalan dalam kontrak TAC Blok Cepu yang awalnya diberikan kepada Humpuss Patragas (HPG). Dan hal itulah agaknya yang menyebabkan Pertamina bersuara lain dan ekstrahati-hati.
Tersebut kisah, sekitar tahun 1990, Pertamina memang mengobral lapangan minyak, terutama kepada Keluarga Cendana. Kisah yang dituturkan pengamat minyak Kurtubi ini sekaligus menjelaskan bagaimana perusahaan HPG milik Tommy Soeharto mendapat jatah di Cepu, Jawa Tengah. Soal ini juga dibenarkan Presiden Direktur Grup Humpuss, Abdul Wahab. "Kami ditawari Blok Cepu oleh Pertamina dengan kontrak TAC, seperti yang lain, bukan meminta dengan paksa," katanya kepada TEMPO, untuk membantah pernyataan Baihaki.
Sebagai operator, HPG akan mendapatkan penggantian ongkos produksi 35 persen setelah berproduksi. Dan jika ada kelebihan minyak dari yang disepakati, akan dibagi (shareable oil) di antara Pertamina dan kontraktor dengan ketentuan 65 persen untuk Pertamina. Ternyata di kawasan seluas 1.670 kilometer persegi itu, kata Baihaki, HPG mendapatkan daerah yang baru sama sekali, sehingga bunyi kontrak seharusnya juga berbeda. Lagi pula, sesuai dengan aturan, setiap ladang minyak baru harus diatur lewat kontrak bagi hasil (PSC), sedangkan kontrak bantuan teknis hanya diberikan untuk ladang minyak milik Pertamina yang sudah pernah digarap dan produksinya menurun.
Memang ada beberapa kawasan sumur tua yang produksinya jeblok (stripper field) di Cepu, seperti Nglobo dan Kawengan, tapi sudah dikeluarkan dari kontrak dan tetap dikelola Pertamina. Akibatnya, Blok Cepu dikelola oleh sedikitnya dua operator, yakni Pertamina dengan sumur tuanya dan HPG dengan kawasan barunya. Lazimnya, cuma boleh ada satu penguasa dalam satu blok minyak. Di Pertamina, lapangan ini juga punya dua bos, yakni manajemen kontrak production sharing (KPS), karena kontraktornya asing, dan direktur hulu, karena ladang itu milik Pertamina.
Kejanggalan kedua terjadi ketika HPG meminta amandemen kontrak kepada Pertamina pada tahun 1997 (lihat: Kronologi). Ketika itu, Dirut Pertamina Faisal Abda'oe dan Menteri Pertambangan dan Energi I.B. Sudjana menyetujui amandeman yang mengizinkan perusahaan Tommy itu mengalihkan sebagian atau seluruh penyertaan modalnya (working interest) kepada pihak asing.
Belakangan, Baihaki menilai adanya izin itu merugikan Pertamina dua kali: pertama saat pengalihan ladang baru Cepu, dan kedua ketika ladang itu malah dikelola kontraktor asing. Apalagi hasil investigasi Pertamina yang didapat TEMPO menyebut HPG banyak mendapatkan surat sakti (side letter) yang meringankan kewajibannya, misalnya jumlah pembayaran pajaknya yang lebih kecil.
Alhasil, akibat amandemen itu, masuklah Ampolex Pte Ltd., yang menguasai 49 persen interest. Dan belakangan, setelah diakuisisi oleh Mobil dan Exxon, masuklah Mobil Cepu Ltd. sebagai kontraktor tunggal di Cepu. Lalu, tinggallah Pertamina yang kini gigit jari.
Di tengah masa kontrak, HPG kesulitan uang. Dan akibat timbunan utangnya, BPPN pun segera masuk. Karena tak bisa memenuhi kewajiban keuangannya (cash calling), pada Maret 1999 Mentamben dan Pertamina mengizinkan HPG menjual seluruh saham mereka kepada Mobil Oildalam upaya melunasi utang Grup Humpuss. Setelah menjual dengan hargamenurut hitungan TEMPOsekitar US$ 90 juta dolar, Juli tahun lalu HPG resmi keluar dari Blok Cepu, dan operator lapangan itu beralih 100 persen ke Mobil.
Ternyata Mobil lebih beruntung karena tak sampai lewat semusim hujan, minyak menyembur. Kendati penemuan itu ditengarai sebagai hasil kerja keras tim HPG selama 8 tahun (TEMPO Edisi 5-11 Maret), yang memetik panen tentulah Mobil, yang sudah mengeluarkan US$ 90 juta sebagai ganti rugi ke Humpuss. Tapi, dengan rencana produksi awal tahun 2003 dan kontrak habis 2010, Mobil cuma akan menikmati minyak tujuh tahun saja.
Nah, untuk mengakali hal itu, EMOI mengusulkan ke Pertamina untuk mengubah kontrak menjadi PSC. Dengan kontrak ini, Mobil akan mendapat bagi hasil cuma 15 persen, tapi semua ongkos produksinya diganti Pertamina, dengan masa kontrak yang jauh lebih panjang dan amat sulit diutak-atik karena kedudukannya setingkat undang-undang, plus ladang itu sepenuhnya dikuasakan kepada Mobil.
Direktur Manajemen KPS, Iin Arifin Tachyan, kepada TEMPO beberapa waktu lalu mengakui adanya permintaan itu. Namun, Pertamina tak bisa gegabah karena saat ini 159 kasus KKN yang pernah dilaporkan terjadi di Pertamina sedang ditelisik satu-satu oleh tim Kejaksaan Agung, termasuk kontrak TAC Blok Cepu itu. Bahkan, menurut seorang pejabat Pertamina, tim Kejaksaan Agung sudah memanggil beberapa staf Pertamina yang diduga tahu dan terlibat kasus ini.
EMOI, saat dikonfirmasi soal ini, menjawab sekadarnya saja seperti biasa. Mereka cuma menyatakan bahwa eksplorasi di sumur Banyu Urip-3 sudah seizin Pertamina sejak November 2000. Artinya, Mobil Cepu melakukan semua kegiatan sepengetahuan otoritas perminyakan, sedangkan Pertamina baru menyadari kemujuran Mobil setelah gemerincing emas hitam nyaring terdengar.
ExxonMobil bukannya tak tahu perkembangan kasus itu. Tapi sebagai kontraktor, mereka memilih diam. Sedangkan Pertamina tentu saja punya tujuan dengan gugatannya. Lewat pernyataan tentang adanya kejanggalan dalam kontrak, setidaknya, seperti diinginkan Baihaki, mereka bisa menegosiasikan kontrak dengan EMOI. Caranya antara lain meminta kenaikan participation interest melebihi 10 persen, atau mengubah persentase bagi hasil jika keduanya sepakat dengan PSC.
Tampaknya, yang bisa dilakukan Pertamina saat ini adalah tetap menghormati kontrak TAC Cepu hingga berakhir. Tapi sampai di situ saja. Selanjutnya, Pertamina harus berani bilang stop sekalian memanfaatkan peluang untuk membuktikan bahwa BUMN ini bisa juga menjadi operator minyak kelas dunia dan tidak kalah dari Petronas di Malaysia.
I G.G. Maha Adi
Kronologi 'Technical Assistant Contract' (TAC) Blok Cepu 1990:
1997:
1999:
2000:
|