Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIDAK ada yang berubah di gedung Bank Syariah Mandiri, Jalan M.H. Thamrin Nomor 5, Jakarta Pusat. Para teller terlihat sibuk melayani nasabah yang keluar-masuk di bank anak perusahaan PT Bank Mandiri Tbk ini pada Selasa dua pekan lalu. Padahal, sejak 2012, bangunan ini berstatus sita eksekusi.
Perintah penyitaan itu dijatuhkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat setelah manajemen Bank Mandiri menolak membayar deposito milik Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI). "Bangunan itu seharusnya tidak bisa digunakan lagi. Kami sudah mengajukan untuk segera dilelang," kata pengacara Asosiasi Pengusaha Hutan, Christofel Butarbutar, kepada Tempo.
Sengketa ini bermula pada 2002 saat APHI membeli 10 lembar sertifikat deposito yang bisa dinegosiasikan (negotiable certificate deposit/NCD) senilai Rp 50 miliar di Bank Mandiri cabang Panglima Polim, Jakarta Selatan. Tingkat suku bunganya 16,75 persen setahun.
Pada 7 Februari 2004, lima hari sebelum jatuh tempo, Ketua Umum APHI saat itu, Adiwarsita Adinegoro, ingin mencairkan sertifikat deposito tersebut. Tapi, hingga masa jatuh tempo lewat, uang itu tak pernah masuk ke rekening APHI. Belakangan, diketahui ternyata NCD itu diagunkan sebagai jaminan kredit ke pihak lain.
Tidak kunjung cair, APHI melaporkan kasus ini ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Dalam proses penyelidikan ditemukan bahwa tanda tangan Adiwarsita dan Zain Mashyur—Bendahara APHI saat itu—pada surat gadai yang dijadikan dasar jaminan kredit tak identik alias palsu. Pada 2004, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutus Gatot Cahyanto, Kepala Bank Mandiri Panglima Polim, bersalah dan menjatuhkan hukuman penjara selama dua tahun.
Christofel mengatakan pihaknya sudah bertemu dengan Agus Martowardojo, ketika masih menjadi Direktur Utama Bank Mandiri, untuk membahas pencairan deposito tersebut. Saat itu, manajemen Bank Mandiri bersedia mencairkan, tapi harus ada "payung hukum". "Karena itu, kami menggugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan," ujarnya.
Nyatanya, setelah putusan pengadilan negeri yang memerintahkan pencairan NCD sebesar Rp 50 miliar ditambah bunga Rp 39 miliar keluar, Bank Mandiri tetap menolak membayar, bahkan mengajukan permohonan banding. Hingga proses kasasi, upaya hukum itu tetap ditolak.
Terakhir majelis peninjauan kembali pada 3 Juni 2009 menguatkan putusan kasasi yang memerintahkan Bank Mandiri membayar kembali NCD tersebut. Semestinya Bank Mandiri mencairkan NCD itu pada 2010. Namun hingga kini Bank Mandiri tak mau melaksanakan putusan tersebut. Kemudian APHI meminta penetapan eksekusi gedung lewat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Setelah menolak mencairkan, Bank Mandiri justru menggugat Gatot Cahyanto serta empat debitor yang mendapatkan dana dari NCD, yakni ahli waris dari Yulianus Indrayana, Ismail P. Syaifuddin, Rahadian Tarekat, dan Kuncoro Haryomukti, untuk mengembalikan dana APHI itu. Namun di pengadilan diputus ne bis in idem alias tidak bisa dilanjutkan karena pihak-pihak dan obyek gugatan sama dengan perkara yang lama.
Pengacara Bank Mandiri, Sentot Panca Wardana, mengatakan sejak awal kliennya tak berniat menunda pembayaran. Namun Bank Mandiri tidak mau melunasi sendiri dan meminta pembagian kewajiban dibagi lima dengan empat orang lainnya. "Sebab, mereka yang menikmati dana hasil kejahatan itu," katanya.
Menurut Sentot, nilai gedung Bank Syariah Mandiri di Thamrin itu lebih besar daripada nilai NCD. Dia juga menganggap kerugian Bank Mandiri dan APHI akan lebih ringan bila penyidik menyita uang hasil pemalsuan pada saat kasus ini pertama kali mengemuka. "Enggak mungkin uang Rp 50 miliar habis dalam setahun. Tapi, yang mengherankan, penyidik tidak pernah menyita," ujar Sentot.
Christofel menilai alasan Bank Mandiri mengada-ada. "Kami menyimpan uang di Bank Mandiri, bukan di orang-orang yang digugat itu," katanya.
Amandra Mustika Megarani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo