Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEMBAGA Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) bukanlah institusi kepolisian. Kendati demikian struktur lembaga ini bisa dibilang- mirip kepolisian. Pemimpinnya seorang jenderal polisi aktif. Lalu ada sejumlah orang membidangi beberapa jenis antikejahatan, misalnya kejahatan umum, transnasional, kejahatan ekonomi, dan keamanan negara.
Berkantor di gedung Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) di Jalan Jenderal Sudirman, di sinilah hampir setiap hari Jenderal Da’i Bachtiar berkantor. Mantan Kepala Polri di era Presi-den Megawati ini adalah Ketua LCKI. Di gedung itu Da’i menempati sebuah -ru-angan di lantai 16 berukuran 200 meter persegi.
Saat ini Da’i boleh jadi bisa berkantor dengan lega hati. Perkara suap dalam kasus korupsi dana BNI Rp 1, 2 triliun yang menerpanya beberapa waktu lalu sudah ada yang menangkalnya. Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri Komisaris Jenderal Makbul Padmanagara yang dua pekan silam menyatakan tak akan mengusut Da’i.
Nama Da’i dikaitkan dalam kuitansi di berkas perkara Komisaris Besar Ir-man Santosa, polisi penyelidik perkara- BNI yang didakwa menerima suap. Kuitansi ini ada dua. Satu Rp 8,5 miliar tertanggal 20 Desember 2003 dan satu lagi Rp 7 miliar tertanggal 6 Maret 2004. Ar-tinya, uang ini mengalir saat kasus BNI sedang dalam tahap penyidikan di Mabes Polri.
Dalam kuitansi dari PT Brocollin International ini disebutkan uang itu untuk biaya administrasi di kepolisian. Te-tapi saat Irman Santosa disidang, April lalu, terungkap cerita versi lain soal kuitansi ini. Salah seorang pegawai- PT Brocollin, Agus Julianto, menya-takan melihat dalam pembukuan PT Brocollin uang Rp 15,5 miliar itu ditujukan untuk Truno-joyo I dan Bareskrim.
Cerita Trunojoyo I ini semakin jelas saat Komisaris Polisi Siti Kumalasari, salah seorang penyidik di Mabes Polri-, bersaksi pada awal April lalu. Waktu itu Irman bertanya kepada bekas anak buahnya tentang isi kuitansi yang dike-tahuinya. ”Tulisannya untuk biaya administrasi Trunojoyo I, jumlahnya Rp 8,5 miliar dan untuk biaya adminis-trasi Ba-reskrim Rp 7 miliar,” jawab Ku-malasa-ri. Sebulan setelah bersaksi, status Kumalasari bukan lagi penyidik. Ia dimutasi ke bagian administrasi.
Soal siapa Trunojoyo I ini, Dicky Iskandar Dinata, Direktur Utama PT Brocollin International, juga pernah me-ne-rangkannya kepada hakim. Dicky terkait dalam kasus ini karena perusa-haannya menikmati kucuran uang haram dari BNI itu. ”Trunojoyo adalah orang di dalam Mabes Polri,” katanya.
Uang itu, menurut Dicky, diambil oleh Adrian Waworuntu selaku komisaris Bro-collin. Adrian sendiri setahun lalu sudah divonis hukuman seumur hidup karena kasus pembobolan duit BNI ini. Cerita yang berkembang selanjutnya adalah soal Trunojoyo I, sebab sandi ini diidentikkan dengan Kepala Polri. Ada pun orang nomor satu di kepolisian saat kasus BNI terjadi ya Da’i Bachtiar.
Da’i membantah dirinya menerima- uang dalam kasus BNI ini. Kuasa hu-kum- Da’i, Warsito Sanyoto, mengaku -di-ri-nya sudah membicarakan masalah ini dengan Da’i dari hati ke hati. ”Beliau men-jawab, Lillahi ta’ala saya tak makan suap dari perkara BNI itu,” kata Warsito mengutip Da’i.
Inilah masalahnya. Proses hukum di- ting-kat kepolisian terkesan memihak Da’i. Makbul menyatakan tak ada fak-ta- hukum yang membuat pihaknya harus memeriksa Da’i. ”Kalau tak ada kaitan, jika hanya igauan, untuk apa di-selidiki?”- kata Makbul. Kesaksian Siti Kumalasari dan Irman Santosa dianggap Makbul belum cukup untuk memerik-sa Da’i. ”Tak boleh menghakimi, ini proses hukum.”
Makbul mengatakan telah menelusu-ri tuduhan itu. Uang senilai Rp 15,5 mi-liar itu semula diambil oleh Adrian Wawo-runtu, kemudian diberikan kepada Is-hak, konsultan bisnis Adrian. Warsito mengaku mengenal Ishak. ”Dia Ketua Jetski Indonesia, profesinya makelar kasus.” Menurut Makbul, bisa jadi uang itu masuk ke kantong Ishak.
Pernyataan Makbul ini berbeda de-ngan ucapan Kepala Polri Jenderal Sutanto saat rapat kerja dengan Komisi- Hukum DPR, awal Mei lalu. Waktu itu, anggota Dewan mencecar Sutanto de-ngan kasus ”Trunojoyo I” itu. ”Sutanto memang harus menjawab kasus ini lewat jalur hukum. Ini demi menjaga nama institusi kepolisian. Apa pun hasilnya, apa-kah Da’i terlibat atau tidak, itu tak jadi soal,” kata Ketua Komisi Hukum Tri-medya Panjaitan, Rabu pekan lalu.
Di hadapan wakil rakyat, Sutanto- me-negaskan penyidik masih menelu-suri- kasus itu. Belakangan, Makbul men-jelaskan sebaliknya. ”Maksud Kapolri,- kalau ada informasi baru tentunya di-selidiki. Tapi, menyangkut kuitansi itu sudah selesai, kalau ada yang baru, ya kami selidiki,” katanya.
Banyak yang menduga, Makbul melindungi Da’i lantaran ia berhutang bu-di kepada Da’i. Makbul adalah salah se-orang perwira angkatan 1974 yang berkibar di masa Da’i menjabat sebagai Kapolri. Hubungan erat mereka sudah terbina sejak 1998. Waktu itu Da’i adalah Komandan Korps Reserse Mabes Polri dan Makbul Direktur Reserse Umum.
Kala Da’i menjadi Kapolri pada 2001, ka-rier Makbul juga naik. Pada tahun yang sama ia menjadi Kepala Polda Me-tro Jaya. Di masa Da’i pula, bintang di bahu Makbul bertambah satu, dia dipromosikan sebagai Kepala Pelaksana Ha-rian Badan Narkotika Nasional. Lembaga ini adalah tempat persinggahan Da’i sebelum dilantik menjadi Kepala Polri. Karena itu, santer disebut Da’i mempersiapkan Makbul sebagai penggantinya. Sesuatu yang tidak terjadi karena Presi-den Susilo Bambang Yudhoyono memi-lih Jenderal Sutanto.
Jadi, benarkah Makbul melindungi- Da’i karena berutang budi? Makbul menggelengkan kepala. ”Tidak. Ini ha-rus- diluruskan. Saya membela kebenar-an,” katanya.
Nurlis E. Meuko, Arif A. Kuswardono, Badriah, dan Evi Flamboyan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo